Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DILEMPAR dari kegelapan, bom itu tak meledak begitu jatuh ke tanah di dekat Stadion Mandala, Karang Panjang, Ambon, Senin malam pekan lalu. Tanpa aba-aba, sekelompok pemuda yang sekilas melihat si pelempar bom lantas mengejarnya. Tak lama, mereka kehilangan jejak. "Dong hilang kayak setan sa," ujar Wempi, warga Karang Panjang, menceritakan peristiwa itu pada Jumat pekan lalu.
Di Ambon, Senin malam itu, teror tak berhenti di situ. Di daerah Amantelu, sebuah bom ditemukan di selokan kering beberapa saat setelah pelemparan bom di Karang Panjang. Menurut warga, bom dilemparkan dua penunggang sepeda motor yang melintasi kawasan permukiman itu. Seperti bom pertama, bom ini tak meletus, hanya mengeluarkan asap dan percikan api.
Dua malam sebelumnya, pada Sabtu dua pekan lalu, sebuah bom meledak di Terminal Mardika. Peristiwa itu tak memakan korban jiwa, tapi membikin warga Ambon cemas. Kecemasan bertambah-tambah pada Senin pagi dua hari kemudian, ketika sebuah bom ditemukan di depan Gereja Maranatha. Warga enggan peristiwa kelam saat konflik berdarah terulang. "Bom itu provokasi," kata Wempi.
Meski belum menangkap pelakunya, Kepala Kepolisian Daerah Maluku Brigadir Jenderal Syarif Gunawan menduga pelaku pengeboman adalah kelompok yang sama. Tiga bom yang tak meledak awal pekan lalu itu identik satu sama lain. "Salah satu cirinya, sumbunya pendek," kata Syarif.
Jauh dari Ambon, di Solo, Ahad dua pekan lalu, sebuah bom meletus di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton. Menewaskan pelakunya, Ahmad Yosepa alias Hayat alias Pino Damayanto alias Ahmad Abu Daud alias Raharjo, bom juga melukai belasan anggota jemaat gereja. Dua jam setelah ledakan, menurut sumber Tempo, polisi langsung mengenali jaringan Hayat.
Hayat adalah orang yang mengantarkan Muhammad Syarif mengebom Masjid Az-Zikra di Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon pada April lalu. Ketika anggota jaringan Tim Hisbah Brigade Mujahidin Tauhid Wal Jihad ditangkapi satu per satu, Hayat bersama Yadi al-Hasan alias Abu Fatih, Beni Asri, Heru Komaruddin, dan Nanang Irawan alias Nang Dut alias Gendut kabur membawa tujuh bom aktif racikan kelompok ini.
Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar, bom yang meledak di Solo salah satu dari bom tersebut. Meski sama-sama dikemas di dalam pipa, jeroan bom Cirebon dan Solo ini berbeda dengan bom Ambon. Bom Solo dirancang untuk diledakkan secara manual—buat bom bunuh diri. Sedangkan bom Ambon dinyalakan dengan sumbu, sehingga bisa dilempar. Dilihat dari bomnya, kata Boy, "Pelaku bom Solo dan Ambon berasal dari kelompok yang berbeda."
SKENARIO "membakar" Indonesia itu dikatakan Umar Patek setelah tiba dari Pakistan. Di hadapan polisi, Umar berkata ada kesepakatan di antara kelompok-kelompok teroris internasional untuk menjadikan kota-kota di Nusantara sebagai medan pertumpahan darah selepas 11 September lalu. "Ia adalah salah satu ‘panitia’-nya," kata pemerhati intelijen Dynno Chressbon, menirukan pengakuan Umar dalam berita acara pemeriksaan polisi.
Entah berhubungan entah tidak, kata Dynno, pada 11 September lalu, ada 18 situs—kini sudah diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika—yang kerap mempromosikan teror, mendadak membicarakan Ambon. Kebetulan hari itu seorang tukang ojek tewas di sana. Kabar yang simpang-siur sempat memantik bentrokan warga. Situs-situs itu segera memelintirnya menjadi bentrokan agama. "Situs itu mewakili 18 kelompok garis keras," katanya.
Unggahan-unggahan tulisan di situs-situs tersebut, kata Dynno, merupakan pesan terbuka bagi kelompok-kelompok yang selama ini bergerak di bawah tanah untuk berangkat ke Ambon atau setidaknya "beraksi" di daerahnya. "Tapi ada juga komunikasi lewat telepon dan e-mail," katanya. Dynno mendengar soal ini dari koleganya di kepolisian.
Pesan itu ditangkap kelompok-kelompok di daerah. Sehari kemudian, pada 12 September, sekitar pukul 22.00 waktu setempat, Gereja Pantekosta di Poso dilempari bom molotov. "Itu ulah kelompok lokal," ujar Dynno.
Dari koleganya juga Dynno mendengar ada kelompok yang sudah menembus Ambon. "Mereka intruder yang bertugas memprovokasi," katanya. Di Ambon, kelompok ini kembali menjalin kontak dengan veteran konflik 1999-2002 yang tak pulang ke Jawa. Di luar itu, kelompok-kelompok lain bersiap menyeberang ke Ambon dari delapan pelabuhan: Semarang, Jakarta, Surabaya, Makassar, Buton, Bakauheni, Lombok, dan Seram.
Menurut Dynno, bom Solo merupakan bagian dari skenario "membakar" kota-kota di Indonesia oleh kelompok-kelompok lokal yang tak berencana berangkat ke Ambon. Tapi, menurut sumber Tempo yang lain yang dekat dengan kelompok garis keras di Solo, Gereja Kepunton dijadikan target lantaran kelompok Hayat kesulitan menembus Ambon. "Akhirnya dicari target lokal," ujarnya.
Siapa saja kelompok yang bermain? "Masih dalam pengejaran," kata Boy Rafly. Ia memastikan polisi tak tinggal diam. Dynno juga enggan membocorkan informasi yang didengarnya. Tapi, kata dia, mereka adalah sel-sel baru yang masih punya kaitan dengan jaringan lama, yang akhirnya membentuk cluster besar, mirip jaringan Aceh di kamp Jantho. "Misalnya, cluster Cirebon bergabung dengan cluster Solo kemudian menjadi super-cluster."
Intelijen mengaku sudah mengetahui rencana pengeboman di Solo empat hari sebelumnya. Di depan Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Kepala Badan Intelijen Sutanto mengatakan informasi itu sudah diperoleh, tapi sulit disampaikan ke kepolisian lantaran takut bocor.
Anton Septian (Jakarta), Ahmad Rafiq (Solo), Ivansyah (Cirebon), Mochtar Touwe (Ambon)
Dari Cirebon hingga Solo
Pascakonflik Ambon dan Poso, sebagian kombatan kembali ke Jawa. Dari kampung halaman masing-masing, di Solo dan Cirebon, mereka bergerak: bersekutu, merekrut anggota baru, dan membidik target. Menamakan diri Tim Hisbah Brigade Mujahidin Tauhid Wal Jihad, kelompok Cirebon dan Solo makin rekat. Apalagi pengikut kedua kelompok sama-sama anggota Jamaah Ansharut Tauhid pimpinan Abu Bakar Ba’asyir. Jamaah sudah membantah keanggotaan mereka.
Kelompok Cirebon:
Kelompok Solo:
Jeroan Bom
Kemasan: pipa paralon
Panjang: 10 sentimeter
Diameter: 4 sentimeter
Material: potasium nitrat, sulfur, aluminium klorat + gotri
Sumber arus: baterai
Rangkaian: sakelar + filamen bola lampu sebagai pemicu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo