Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

<font face=arial size=2 color=#FF9900>Inspektur Jenderal Amin Saleh:</font><br />Sekarang Tidak Ada Lagi Kekerasan

3 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARU empat bulan menjadi Gubernur Akademi Kepolisian, Inspektur Jenderal Amin Saleh, 56 tahun, sudah dihadang masalah pelik. Meninggalkan posisi Wakil Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Mabes Polri pada Mei lalu, Amin bisa jadi tak mengira jabatan baru itu membuat dia kini jadi sorotan.

Keputusannya memberhentikan 11 taruna Akademi Kepolisian akhir Juli lalu kini berbuntut panjang. Sebagian dari mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang. Para taruna itu menuding keputusan Amin tidak adil dan menyalahi aturan. Apalagi, belakangan, terungkap ada sejumlah taruna yang diberhentikan karena cedera berat selama menjalani pendidikan kepolisian. Usut punya usut, cedera itu berasal dari berbagai tindak kekerasan yang mereka alami di sana.

Senin dua pekan lalu, kepada Rofiuddin dari Tempo, Amin Saleh menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di Akademi Kepolisian. Dia mengaku berusaha menyelidiki siapa pelaku penganiayaan terhadap taruna-taruna belia di lembaga itu.

Sejumlah taruna menjadi korban penganiayaan di Akpol….

Saya juga menerima laporan yang sama. Saya dengar ada kegiatan senior yang menjurus pada tindakan kriminal, yakni penganiayaan. Masalahnya, kami harus bisa membuktikan bentuk penganiayaan itu sebelum memutuskan mengambil tindakan. Sejak saya bertugas di sini, baru satu kasus yang kami temukan jelas faktanya: penganiayaan ringan.

Apa yang terjadi?

Seorang taruna senior memukul kaki adik kelasnya dengan besi cantolan baju. Sidang Akademik sudah menyelidiki dan menjatuhkan hukuman penurunan tingkat kepada pelakunya. Keputusan Sidang Akademik adalah keputusan tertinggi di sini.

Mengapa hukumannya hanya penurunan tingkat?

Kalau terbukti tindakan pemukulan taruna senior itu menyebabkan korbannya sakit saraf, saya akan menjatuhkan sanksi dengan senang hati. Tapi yang terbukti hanya itu: penganiayaan ringan. Sekarang kami sudah membentuk tim pencari fakta untuk mengumpulkan semua kasus kekerasan yang terjadi. Pendeknya, kami tidak ingin kasus seperti ini berulang. Saya tidak diam saja.

Tapi sudah jatuh korban: 13 taruna Akpol yang sarafnya....

Untuk itulah saya membentuk tim pencari fakta. Tapi, sejauh ini, tidak ada laporan dari mereka soal penganiayaan. Ada kemungkinan mereka sakit setelah mengikuti sejumlah kegiatan berat, seperti latihan marching band. Di sana, misalnya, taruna diminta bisa kayang. Itu wajib. Sekarang saya sudah minta kegiatan yang rentan membuat taruna cedera ditiadakan saja.

Taruna junior tidak berani mengadukan kekerasan yang mereka alami?

Saya sudah minta tim pencari fakta menemui taruna junior secara langsung agar terungkap apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi taruna tidak boleh berbohong. Tapi kami kesulitan. Misalnya, ada taruna mengatakan, "Saya dipukul." Siapa yang memukul? Dia menjawab, "Tidak tahu." Sebagian pemukulan memang terjadi malam hari. Ada lagi taruna senior yang dituduh memukul, tapi dia ternyata punya alibi kuat: dia tak berada di lokasi ketika insiden kekerasan terjadi. Jadi memang sulit sekali membuktikan dugaan-dugaan ini.

Apa yang dilakukan Akpol untuk membantu para korban?

Selama dia masih berstatus taruna, kami pasti memfasilitasi semua kebutuhannya dalam proses penyembuhan. Tapi, begitu sudah bukan taruna, ya kami tidak bisa. Kemampuan keuangan Akpol ada batasnya.

Apa benar kekerasan terjadi karena pengawasan diambil alih para senior?

Tidak. Yang berperan dominan dalam pengasuhan taruna seharusnya tetap para pengasuh (para perwira yang bertugas sebagai guru dan pengawas taruna). Taruna senior seharusnya hanya membantu pengasuh melakukan pembinaan dan pembentukan karakter juniornya. Tapi saya sadar jumlah pengasuh perlu ditambah. Sekarang tiga pengasuh bertanggung jawab mendampingi 30 taruna. Itu jelas kurang.

Apa dilakukan untuk mencegah berulangnya kasus penganiayaan?

Saya sudah menambah jumlah provos untuk berpatroli ke flat taruna tiap malam. Dulu hanya ada lima, sekarang 21 provos. Para pengasuh taruna saya minta bermalam di asrama. Saya juga tegaskan taruna senior dilarang memanggil adik kelasnya, baik sebelum maupun sesudah tidur. Alhamdulillah, sekarang tidak ada lagi kekerasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus