Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA motor bebek Cina terpajang manis di panggung kampanye Partai Golkar di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, 24 Maret lalu. Di lapangan, sekitar 2.000 pendukung partai Beringin itu berkerumun di bawah mentari.
Motor-motor itu terlihat jelas oleh massa. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Yogyakarta Gandung Pardiman siang itu menyerahkan ketiganya secara simbolis. ”Sisanya, 20 buah, akan dibagikan setelah pemilihan umum,” kata seorang anggota tim sukses Gandung yang enggan disebut namanya.
Partai yang berjaya pada zaman Orde Baru itu rupanya tahu benar hadiah adalah magnet yang mampu memikat massa. Tak cuma menghadiahkan motor, hari itu Golkar juga membagi-bagikan 10 telepon seluler, 10 televisi, mesin diesel, peralatan membuat keramik, dan uang tunai.
Jumlah uang yang dibagikan berbeda-beda, tergantung proposal yang disampaikan penerima hadiah kepada calon legislator. ”Kami berikan antara Rp 1 juta dan Rp 10 juta,” kata seorang pembawa acara di atas panggung. Massa pun bersorak: ”Golkar menang!”
Kelompok yang memperoleh bantuan itu antara lain Ikatan Pedagang Serangan, kelompok penjual es di sekolah, dan Kaum Rais Kota Yogyakarta. Golkar juga menyediakan asuransi kecelakaan untuk pondok pesantren di Wonolelo serta akan memberangkatkan beberapa rais untuk umrah pada tahun ini. ”Di setiap kabupaten, akan kami berangkatkan dua rais untuk berumrah,” kata Gandung.
Pesta hadiah dari Golkar ini kontan membuat Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Yogyakarta Agus Triyatno mencak-mencak. ”Bagi-bagi motor itu ada indikasi politik uang. Itu melanggar pemilu,” kata Agus, yang mengaku menyaksikan sendiri acara tersebut.
Endang Wihdatiningtyas, anggota Panitia Pengawas di sana, menilai pembagian hadiah melanggar karena ada unsur menjanjikan atau memberikan uang atau materi kepada peserta kampanye demi kepentingan peserta pemilu. Aksi ini menabrak Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008. ”Bila terbukti melanggar, sanksinya denda Rp 3 juta dan kurungan tiga bulan,” katanya.
Golkar berkilah bahwa pembagian hadiah ini sudah mendapat persetujuan Panitia Pengawas melalui telepon. ”Jawaban mereka, door prize tidak apa-apa. Kami tak berani kalau tak seizin Panwaslu,” kata Deddy Suwadi, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Yogyakarta. Agus membenarkan bahwa Deddy meneleponnya. ”Tapi mereka enggak bilang kalau yang dibagikan motor,” katanya.
Kepada Panitia Pengawas pada Sabtu pekan lalu, Deddy menyatakan pemberi hadiah bukan Partai Golkar, melainkan Gandung Pardiman Center—tim sukses Gandung yang bermarkas di Jalan Janti. Menurut Undang-Undang Pemilu, politik uang terlarang bagi pelaksana kampanye: juru kampanye, pengurus partai, calon legislator, dan panitia penyelenggara. Menurut Agus, Gandung Pardiman Center bukan bagian dari empat kategori itu. ”Kami sulit menjeratnya.”
Selain itu, bila kasus dugaan pelanggaran ini hendak diajukan ke polisi, Panitia Pengawas harus membuktikan bahwa penerima hadiah diminta mencontreng partai itu. ”Ini kan sangat sulit karena tak ada kader partai yang mau memberikan kesaksian,” kata Agus.
POLITIK uang adalah kasus yang penanganannya diutamakan oleh Badan Pengawas Pemilu. Kasus lain adalah penyalahgunaan jabatan dan pemakaian fasilitas pemerintah. Pelaku pelanggaran diancam penjara tiga bulan.
Menurut anggota Badan Pengawas, Wirdyaningsih, menjerat pelanggar tidaklah mudah. Wirdyaningsih mencontohkan kasus Irianto M.S. Syafiuddin, Bupati Indramayu. Irianto mengkampanyekan Partai Golkar saat berpidato dalam sebuah pertemuan dengan pegawai negeri sipil di kabupaten tersebut pada Februari lalu. ”Menyampaikan visi dan misi dalam sebuah pertemuan yang dihadiri pegawai negeri itu kan jelas pelanggaran,” kata Wirdyaningsih.
Sayangnya, Panitia Pengawas menerima laporan dan bukti rekaman video acara hampir sepekan setelah kejadian. Padahal, menurut aturan, laporan mesti diterima paling lambat tiga hari setelah peristiwa. Ketika dibawa ke kepolisian, kasus ini dianggap kedaluwarsa. ”Dari 100 lebih dugaan kasus pidana yang kami catat, baru empat kasus yang sampai divonis pengadilan. Sisanya kurang bukti untuk dinyatakan sebagai kasus pidana,” kata Ketua Panitia Pengawas Pemilu Jawa Barat Mahi M. Hikmat.
Hingga saat ini, Badan Pengawas sudah menerima laporan 236 kasus dugaan tindak pidana pemilu dari seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 144 sudah ditangani polisi, tapi hanya 33 yang akhirnya diadili. Sebanyak 23 kasus sudah divonis pengadilan.
Menurut Ketua Panitia Pengawas Pemilu DKI Jakarta Ramdansyah, jenis pelanggaran yang paling umum terjadi dalam kampanye adalah pelibatan anak-anak, selain pelanggaran jadwal kampanye dan penggunaan fasilitas negara. ”Biasanya yang sering melakukan adalah partai besar,” katanya.
Soal pelibatan anak-anak dalam kampanye, Panitia Pengawas sudah mengantongi bukti antara lain nama anak, pernyataan orang tua yang memperbolehkan anak mereka ikut kampanye, serta video yang menunjukkan para bocah beraksi. Kasus itu kini sedang ditangani Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Ada yang lolos, ada pula yang terjerat. Siti Mahmuda (Partai Persatuan Pembangunan) dan Ahmad Anwar (Partai Golkar), misalnya, kedapatan menggunakan mobil dinas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Malang untuk berkampanye.
Kepala Reserse Kriminal Kepolisian Resor Malang Ajun Komisaris Radiant mengatakan, dalam pemeriksaan, kedua politikus mengakui perbuatannya. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Malang Suhadi menyesalkan aksi para calon legislator itu. ”Mobil dinas ya hanya digunakan saat menjalankan tugas,” kata Suhadi.
Awal Februari lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Blora bahkan telah menjatuhkan vonis tiga bulan penjara dan denda Rp 3 juta subsider satu bulan penjara kepada Sujud, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Blora dari Partai Keadilan Sejahtera, karena berkampanye di luar jadwal. ”Kasus Sujud merupakan kasus pelanggaran pemilu yang pertama kali sampai ke persidangan,” kata Rahmulyo Adiwibowo, anggota Panitia Pengawas Pemilu Jawa Tengah.
Rahmulyo juga mengakui pelanggaran yang paling susah diseret ke pengadilan adalah politik uang. Salah satu penyebabnya, masyarakat yang menerima pemberian uang itu tidak bersedia memberikan kesaksian. ”Mungkin karena mereka pekewuh dengan yang memberinya,” katanya.
Endang Wihdatiningtyas mengumpamakan institusi pengawas sekarang tak ubahnya singa bergigi ompong. ”Dari luar terlihat seram, tapi pas nyokot tidak ada rasa sakitnya. Cuma geli.”
Kurniawan, Ismi Wahid (Jakarta), Bernada Rurit (Yogyakarta), Eko Widianto (Malang), Erick P. Hardi (Bandung), Nanang Sutisna (Purwakarta), Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo