Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Koreksi Hingga <font color=#CC3333>Detik Terakhir</font>

Komisi Pemilihan Umum mengoper tugas verifikasi daftar pemilih tetap kepada panitia pemungutan suara di tingkat kelurahan. Semua tergantung saksi.

6 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki itu tiba di kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah Surabaya pagipagi sekali. Wajahnya gelisah. ”Saya menunggu salinan daftar pemilih tetap untuk warga di kecamatan saya,” kata Hanis Suroso, 55 tahun, Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan untuk Wilayah Kecamatan Benowo, Surabaya, Rabu pekan lalu.

Dari lima kelurahan di daerahnya, kata Hanis, baru satu yang menerima lembaran daftar pemilih tetap. Padahal Komisi Pemilihan Umum pusat meminta data itu dipasang di setiap kantor kelurahan paling lambat hari itu. ”Kalau terlambat begini, kapan mau diumumkan?” katanya khawatir.

Kegelisahan Hanis dirasakan hampir­ semua petugas pemungutan suara di tingkat kecamatan dan kelurahan di seluruh Indonesia. Merekalah kini pengawal terakhir dari seluruh proses verifikasi­ daftar pemilih yang akan dipakai pada pemilihan umum legislatif 9 April ini.

Dua pekan lalu, Komisi Pemilihan Umum meminta semua Komisi provinsi segera membagikan salinan daftar pemilih tetap kepada Komisi kabupaten­ dan kota. Dari kabupaten, daftar itu harus diteruskan kepada panitia pemungutan suara dan kelompok penyelenggara pemungutan suara di tingkat desa dan kelurahan. Data itu juga harus sampai ke tangan semua partai politik di tingkat kabupaten dan kota. Tenggatnya 1 April lalu.

Setelah diumumkan secara terbuka, diharapkan proses verifikasi daftar pe­milih berjalan lebih efektif. Warga­ atau pengurus partai politik yang menemukan kejanggalan—duplikasi nama dan identitas, nama fiktif, atau pencantum­an nama warga yang sebenarnya tak punya hak pilih—bisa langsung me­­­la­por ke­pada panitia pemilu di desa. ”Pencoretan namanama yang dobel atau fiktif pada daftar pemilih tetap bisa langsung dilakukan panitia pemungutan suara dan kelompok penyelenggara pemungutan suara di tingkat kelurahan,” kata anggota Komisi Pemilihan Umum, Andi Nurpati, pekan lalu.

Namun, Andi mewantiwanti, nama mereka yang berhak memilih tapi belum terdaftar tak sertamerta bisa langsung dimasukkan ke daftar pemi­lih tetap. ”Kalau ada yang begitu, ya, baru bisa ikut pada pemilihan presiden Juli depan,” katanya. Artinya, panitia pemungutan suara bisa mencoret nama lama, tapi tak bisa memasukkan nama baru.

Metode verifikasi ini adalah jawaban final Komisi atas tudingan sejumlah partai politik soal amburadulnya daftar pemilih tetap pada pemilu tahun ini. Akhir Maret, sejumlah pemimpin partai bahkan mengusulkan penundaan pemilu jika masalah ini tak dipecahkan. Mereka khawatir hasil pemilu akan dimainkan jika menggunakan daftar pemilih yang akurasinya diragukan.

l l l

DAFTAR pemilih tetap disusun dari Daftar Penduduk Potensial Pemilih­ Pemilu yang disiapkan Badan Pusat­ Statistik dan Departemen Dalam Negeri. Setelah dilengkapi nomor induk­ kependudukan, daftar nama warga­ itu diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum. ”Di sinilah terjadi masalah,” kata anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum, Bambang Eka Cahya Widodo. Pasalnya, kata Bambang, tidak semua warga negara Indonesia sudah memiliki nomor induk kependudukan. ”Kalau tidak pernah membuat kartu tanda penduduk, dari mana dia memperoleh nomor induk itu?” katanya.

Masalah menjadi parah karena dalam penyusunan database untuk daftar pemilih sementara, petugas Komisi Pemilihan Umum harus memasukkan nomor induk kependudukan untuk setiap kolom nama pemilih. ”Kalau nomor induknya tidak dimasukkan, nama si pemilih tidak akan keluar,” katanya. Ketika itulah, kata dia, petugas admi­nistrasi Komisi lalu ”berakrobat” dengan memasukkan nomornomor induk kependudukan secara asal saja.

Dari hasil penelusurannya, Bambang menduga Komisi hanya berhasil memindahkan sekitar 40 persen Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu ke daftar pemilih sementara. Pada saat bersamaan, Komisi didesak segera merilis daftar pemilih sementara. ”Dengan segala keterbatasannya, data itu dirilis ke publik,” katanya.

Semua kekurangan itu seharusnya terkoreksi pada proses selanjutnya: pencocokan dan penelitian. Proses pemutakhiran data yang dilakukan dari rumah ke rumah warga ini memang merupakan kesempatan emas untuk memperbaiki daftar pemilih yang kacaubalau. Apalagi pelaksananya adalah panitia pemungutan suara di tingkat kelurahan dan desa, yang tahu persis kondisi warganya. ”Sayangnya, proses updating data di lapangan ini pun ternyata tidak berjalan,” kata Bambang. Penyebabnya simpel: tidak ada dana. ”Anggarannya belum turun saat itu,” katanya.

Eko Hidayat, 30 tahun, Ketua Panitia Pemungutan Suara di Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, membenarkan cerita Bambang. Akhir tahun lalu, Eko menerima salinan daftar pemilih sementara beserta perintah dari Jakarta untuk mengecek langsung kebenaran identitas calon pemi­lih. ­Daftar itu berisi nama 11.300 orang. Namun perintah itu tak disertai fulus sepeser pun.

Tanpa bujet, Eko lalu berkeliling desa, menemui hampir seratus kepala dusun dan ketua rukun tetangga di wilayah­nya, selama sebulan penuh. ”Semula saya bermaksud mendatangi rumah warga satu per satu. Tapi itu jelas tidak mungkin,” katanya. Hasilnya, ada sekitar 50 nama pemilih yang harus dicoret. ”Saya yakin data saya ini sudah akurat,” ujarnya. Yang menyedihkan, sampai sekarang, honor Eko dan dua anggota staf panitia pemungutan suara yang membantu verifikasi itu tak kunjung cair.

l l l

KURANG dari sepekan menjelang hari pemungutan suara, proses verifikasi daftar pemilih tetap terus berlangsung. Di Timika, Papua, ribuan petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara diminta terus menyisir namanama ganda dan fiktif sampai sehari sebelum pencontrengan. ”Mereka yang akan berperan karena mereka yang tahu kondisi di tempat pemungutan suara masingmasing,” kata Michael Mote, Ketua Komisi Pemilihan Umum Mimika, pekan lalu.

Di Makassar, proses verifikasi bahkan dibantu oleh Panitia Pengawas Pemilu. Mereka berhasil menemukan 3.100 nama ganda pada daftar pemi­lih tetap. ”Selain itu, ada pemilih di bawah umur dan pemilih sudah meninggal yang namanya masih tercantum,” kata Syarifuddin Akbar, Ketua Panitia Pe­ngawas Pemilu di Kecamatan Rappocini, Makassar.

Sebenarnya, Komisi Pemilihan Umum masih punya satu senjata lagi untuk memastikan tidak ada warga yang menggunakan hak pilihnya lebih­ dari sekali: surat undangan memilih. Tanpa undangan, warga tidak bisa nye­lonong masuk ke bilik suara. ”Pemilih­ ganda, fiktif, atau sudah kehilangan hak pilih jelas tidak akan mendapat surat undangan,” kata juru bicara Komisi Pemilihan Umum Medan, Pandapotan Tamba. Namun dia tak bisa memastikan berapa ribu orang yang bakal tercoret dari daftar pemilih di Medan. ”Kita baru akan tahu setelah semua surat undangan dibagikan,” katanya.

Antisipasi serupa dilakukan di Semarang. Anggota Komisi Pemilihan Umum Jawa Tengah, Andreas Pandiangan, mengaku sudah minta surat undangan memilih dibagikan secara selektif. Kuncinya lagilagi ada di panitia pemilihan kecamatan dan panitia pemungutan suara di kelurahan. ”Mereka harus mencermati daftar pemi­lih tetap. Warga yang namanya tercatat dobel hanya boleh mendapat satu surat undangan,” kata Andreas pekan lalu.

Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung tak terlalu terkesan dengan antisipasi Komisi. ”Kami ragu semuanya bisa beres sebelum hariH,” katanya. Sampai akhir pekan lalu saja, kata Pramono, belum semua pengurus daerah PDI Perjuangan memperoleh salinan daftar pemilih tetap dari Komisi kabupaten dan kota. Di daerah yang sudah menerima daftar, kubu Banteng menemukan penggelembungan data pemilih yang membelalakkan mata. Di Jakarta saja, PDI Perjuangan menemukan 3.381 nama dalam daftar pemilih tetap yang tercatat lebih dari satu kali.

Pramono mengaku partainya sudah bersiap jika kisruh daftar pemilih benarbenar dimanfaatkan oleh pendukung partai tertentu. ”Saksisaksi kami akan benarbenar bekerja keras meng­awasi tempat pemungutan suara,” katanya. Jika laporan kecurangan muncul dari manamana, Pramono menjamin partainya tak akan ragu bersikap. ”Bukan hanya PDIP, semua partai pasti menolak hasil pemilu,” katanya.

Wahyu Dhyatmika, Agus Supriyanto (Jakarta), S. Monang Hasibuan (Medan), Anang Zakaria (Surabaya), Ika Ningtyas (Banyuwangi), Sohirin (Semarang), Irmawati (Makassar), Tjahjono Ep (Timika)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus