Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bertelanjang dada, Muhammad Hasymi Munahar, 40 tahun, bersila di atas selembar tikar. Sesaat kemudian, ia menuangkan minyak kayu putih dan minyak kelapa ke telapak tangan, lalu mengurut betis Ita Purnamasari, 19 tahun. ”Sepertinya ada gangguan hormon. Suka makan bakso, ya?” ujarnya. Sang pasien mengangguk. Di belakang Ita, lima orang lain antre di teras rumah seorang warga di Magersari, Kota Mojokerto, Jawa Timur. Semua menunggu giliran diurut Hasymi.
Si tukang pijat adalah calon anggota legislatif Partai Matahari Bangsa nomor urut satu untuk kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mojokerto. Tiga belas tahun menjadi pemijat profesional, kali ini Hasymi memberikan servis gratis. Dengan aksinya ini, ia berharap dipilih warga dalam pemilihan umum 9 April. ”Pijat lebih bermanfaat untuk jangka panjang. Kalau duit, hanya sekedip bisa amblas,” katanya.
Seorang pasiennya, Kasiani, 70 tahun, mengaku ngilu di tempurung kakinya berkurang setelah dipijit Pak Caleg. Ia berjanji akan mencontreng nama Hasymi dalam pemilu nanti. Sang calon legislator lalu memberikan kalender partai kepada pasiennya seraya menunjukkan posisi namanya di sampel surat suara.
Praktek pijat gratis dilakoni Hasymi sejak akhir tahun lalu. Sebelumnya, mereka yang dipijat harus membayar Rp 35 ribu. Hasymi menargetkan meraih 1.500 orang dari kampanyenya itu.
Motivasi Hasymi mencalonkan diri adalah ingin membela para penganggur. Jika nanti sudah duduk di Dewan, ia berjanji akan meminta pemerintah menggelar program pelatihan buat mereka yang tak punya pekerjaan. ”Jika pemandian Tirta Suam dikembangkan untuk pariwisata, juga bisa menyerap tenaga kerja,” katanya.
Saat Hasymi menyatakan niat maju sebagai calon, istrinya berkeberatan. Ibu empat anak itu khawatir keluarganya akan terbengkalai jika sang suami masuk gelanggang politik. Belakangan, sang istri menyokong. Perempuan yang juga pandai memijat itu ikut mengkampanyekan sang suami kepada para pasiennya.
Sepanjang kampanye, Hasymi mengaku telah menghabiskan Rp 2 juta. Sempat terpikir olehnya untuk menjual radio transistor dan menggadaikan surat motor bebek miliknya. ”Tapi ndak jadi.” Untuk mengasapi dapur rumahnya, malam hari Hasymi membuka praktek pijat komersial.
LAIN Hasymi, lain pula Henry Kuncoroyekti. Calon legislator untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta itu kini berjuang agar bisa menjadi wakil rakyat kedua kalinya. Sebagai alat kampanye, ia menyewa Sujud ”Kendang” Sutrisno, 56 tahun, pengamen keliling. Sesuai dengan julukannya, Sujud hanya menggunakan alat musik kendang. Dalam lagunya, Sujud menyelipkan pesan agar masyarakat memilih Henry.
Henry membayar Sujud Rp 700 ribu per bulan, sesuai dengan upah minimum regional. Sujud berkeliling di daerah pemilihan Henry: Kecamatan Mergangsan, Keraton, dan Mantrijeron. Dua pekan lalu, Sujud menyambangi warga yang sedang nongkrong di pos ronda Kampung Joyonegaran. Ia membawakan lagu dengan syair kampanye. ”Maaf, untuk saat ini saya tidak menerima uang mengamen,” katanya seraya membagikan stiker dan brosur bergambar majikannya.
Menurut Henry, cara ini ditempuhnya agar mudah diingat calon pemilih, selain lebih mendidik karena ia tak menjalankan politik uang. ”Kalau mengeluarkan duit, calon akan cari jalan untuk mengembalikan modal,” katanya.
Pada hari tertentu, Henry mengayuh becak gratis. Kereta roda tiga itu ia sewa dari anggota paguyuban becak di Jalan Taman Siswa. Di organisasi itu, Henry tercatat sebagai ketua. Sambil mengayuh, Henry memperkenalkan diri seraya membagi-bagikan stiker dan buletin berjudul Contreng. ”Jadi wakil rakyat itu harus ngerti, ngrasakke, dan nglakoni,” katanya.
Di Bandung, calon anggota legislatif untuk kursi Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Bintang Reformasi, Agustin Perangin-Angin, 33 tahun, hampir tiap hari memacu motor bebeknya ke pelbagai penjuru daerah pemilihan di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat. ”Luasnya minta ampun,” kata alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung ini.
Kantongnya cekak, tapi ambisi untuk duduk di Senayan membuatnya tak sungkan bekerja keras. Apalagi pesaingnya di daerah ini lumayan berat: Taufiq Kiemas (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dan artis Derry Drajat (Partai Amanat Nasional).
Kamis pekan lalu, Agustin, yang tinggal di Cicaheum, menempuh 150 kilometer menyambangi calon pemilih di Kertasari, Bandung bagian selatan. Sesampai di lokasi, ia menemui warga yang baru saja menerima Derry Drajat dan Taufiq Kiemas. ”Ini risiko saya, perjuangan berat dengan motor,” kata Agustin.
Duit pribadi yang tak seberapa dipakainya untuk membeli bensin, kopi instan, dan gula. Dua yang terakhir adalah bekalnya dalam perjalanan. Kopi instan itu pula yang disuguhkannya kepada masyarakat saat ia cuap-cuap berkampanye. ”Saya sudah habis Rp 5 juta,” katanya. Selain mengunjungi warga pelosok, ia menggelar aksi bersih-bersih bersama warga di daerah yang kerap terkena banjir, seperti Rancaekek.
Di Madura, Siti Masripah, 42 tahun, dari Partai Kebangkitan Bangsa, menggarap pemilih warga pesantren. Semula ia dipasang di Banten. Tapi, karena dianggap paham agama, ia lalu dipindahkan ke pulau karapan sapi tersebut.
Fasih melantunkan ayat suci membuatnya gampang diterima. Di pesantren, ia kerap diminta berceramah. Siti mengaku tidak pernah secara langsung berkampanye ketika berceramah. Yang ia lakukan hanyalah menyebut namanya berulang-ulang agar diingat jemaah. ”Saya dikenal sebagai penceramah perempuan yang hafal ayat suci,” kata dosen Institut Ilmu Al-Quran di Jakarta ini. Meski demikian, pernah pula ia dibuat kelimpungan. Kepadanya, seorang kiai bertanya, agar dia dipilih dalam pemilu, ”Berapa sapi yang bisa sampean berikan ke saya?” Tentu saja ia tak menjawab karena yang dimilikinya hanya kemampuan membaca Al-Quran.
Budi Riza (Jakarta), Yekthi Hesthi Murthi, Muhammad Syaifullah, Widiarsi Agustina (Bandung), Dini Mawuntyas, Ahmad Rafiq, Ahmad Fikri, Alwan Ridha Ramdani, Ika Ningtyas, Sohirin (Jawa Timur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo