Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT tertutup itu berakhir menjelang beduk magrib, Jumat pekan lalu. Lama berdebat alot, tim perumus Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah mencapai jalan kompromi. Selain ke kepolisian dan kejaksaan, mereka sepakat, laporan hasil analisis transaksi keuangan bisa ditembuskan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Tinggal disinkronisasi lalu dibawa ke sidang paripurna,” kata Edison Betaubun, ketua panitia kerja dari Fraksi Partai Golkar, seusai rapat.
Sebelum kompromi, pemerintah mengusulkan laporan hasil analisis transaksi bisa diberikan kepada kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Nasional Narkotika, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Bea-Cukai. Adapun sebagian anggota Dewan berkukuh, data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan alias PPATK hanya bisa diberikan ke kepolisian dan kejaksaan.
Menurut Edison, laporan hasil analisis PPATK harus diserahkan ke kepolisian dan kejaksaan. Tembusannya dikirim ke empat lembaga lain, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, Direktorat Jenderal Pajak, serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Keempat lembaga itu bisa menyidik berdasarkan asal tindak pidananya. Tapi pencucian uang tetap ditangani kepolisian dan kejaksaan. Misalnya, ada rekening mencurigakan yang terindikasi pencucian uang dan korupsi, KPK akan menyidik korupsinya. ”Tapi pencucian uangnya tetap ditangani polisi,” katanya.
Ahmad Ramli, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menjelaskan, jenis kejahatan menentukan lembaga yang diberi tembusan oleh PPATK. Berdasarkan tembusan itu, lembaga yang menerimanya akan menyidik. Menurut dia, pencucian uang bisa berkaitan dengan korupsi yang berdampak terorisme, perjudian, atau narkotik. Bisa juga berkaitan dengan penggelapan pajak. ”Jika hanya diberikan ke KPK, bisa lolos. BNN, Bea-Cukai, dan Pajak perlu juga menangani,” kata Ramli.
Rancangan undang-undang juga memberikan wewenang kepada PPATK untuk menghentikan sementara rekening yang dicurigai. Lembaga itu juga berhak minta bank menghentikan transaksi selama lima hari—dan bisa diperpanjang hingga 15 hari. Dalam hal ini, hanya transaksi keluar yang diblokir dan aliran masuk dibiarkan. ”Tujuannya, transaksi masuk bisa jadi bukti baru tindak pidana,” kata Ramli.
Ketua PPATK Yunus Husein dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra M. Hamzah menerima klausul mengenai tembusan itu. ”Meskipun hanya tembusan, KPK, BNN, Bea- Cukai, dan Pajak punya wewenang menyelidiki pencucian uang. Ini penting,” kata Chandra. Adapun Yunus mengatakan, ”Ya, lumayan masih boleh kasih tembusan ke lembaga lain.”
Selama ini, PPATK hanya menyetor hasil analisis ke kepolisian. Ribuan telah diberikan, tapi laporan itu tak pernah ditangani hingga tuntas. Di antaranya laporan hasil analisis terhadap rekening sejumlah perwira kepolisian—yang belakangan populer dengan sebutan ”rekening gendut”.
KOMPROMI menjelang beduk itu langkah mundur dari kesepakatan yang telah dicapai sebelumnya. Pada 28 Juli 2010, panitia kerja telah setuju laporan hasil analisis keuangan bisa diberikan kepada enam lembaga: kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Bea-Cukai.
Kesepakatan berantakan justru dalam pertemuan lebih kecil, yakni rapat tim perumus—acara yang lazimnya hanya untuk mengurusi hal terperinci, termasuk kesesuaian dengan undang-undang lain, dan tidak mengubah substansi. Digelar di Hotel Novotel, Bogor, Jumat dua pekan lalu, rapat itu dihadiri Andi Rahmat, Didi Irawadi, Sutjipto, Harry Witjaksono (Fraksi Demokrat), Aziz Syamsuddin, Bambang Soesatyo, Edison Betaubun (Fraksi Partai Golkar), Dolfie O.F.P., Irsal Yunus (PDI Perjuangan), Ecky Awal Mucharam (Partai Keadilan Sejahtera), Ahmad Yani (Partai Persatuan Pembangunan), Cecep Syaifuddin (Partai Kebangkitan Bangsa), Martin Hutabarat (Gerindra), Syarifuddin Sudding (Hanura), dan Andi Anzhar Cakra Wijaya (Partai Amanat Nasional).
Dari lembaga lain hadir antara lain Yunus Husein bersama tim PPATK, Chandra Hamzah, Brigadir Jenderal Panggabean dari Markas Besar Kepolisian, Ahmad Ramli, dan perwakilan Bank Indonesia. Ada pula perwakilan dari Direktorat Jenderal Bea- Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, dan ahli bahasa.
Dalam rapat itu, tim perumus terbelah menjadi dua kelompok. Fraksi Demokrat, Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional menyokong penguatan PPATK. Fraksi-fraksi itu juga setuju laporan analisis transaksi diberikan kepada lembaga penyidik di luar kepolisian dan kejaksaan. Di kelompok lain, Fraksi Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, serta Partai Hanura mendukung laporan hanya diberikan ke kepolisian dan kejaksaan. Kedua kelompok sejak awal sudah menolak pemberian kewenangan menyelidik dan menyidik kepada PPATK.
”Kami menyetujui PPATK menyerahkan laporan kepada KPK, Badan Nasional Narkotika, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Bea- Cukai agar semua penegak hukum bisa bersinergi,” kata Martin Hutabarat. ”Sayap-sayap kekuatan PPATK jangan dipatahkan.”
Bambang Soesatyo, sebaliknya, berdalih bahwa tak ada yang bisa menjamin orang-orang di PPATK seperti ”malaikat”. Laporan transaksi, menurut dia, merupakan ”barang rawan yang bisa digunakan untuk memeras”. Syarifuddin Sudding dari Hanura bahkan menuding ada kepentingan bank asing di balik usulan pemberian wewenang kepada PPATK buat menyidik rekening mencurigakan. ”Nasabah akan takut menyimpan duitnya di bank lokal,” ia mengatakan.
Ahmad Yani dari Partai Persatuan Pembangunan terang-terangan meminta laporan analisis hanya diberikan ke polisi. ”Lembaga lain tak perlu,” ujarnya.
Sumber Tempo bercerita, ada permainan di balik aborsi kesepakatan panitia kerja itu. Gerilya dilakukan agar kewenangan menyidik pencucian uang tetap hanya bisa dilakukan kepolisian dan kejaksaan. Seorang perwira tinggi kepolisian disebut-sebut menjadi operator, termasuk hadir dalam rapat tim perumus di Hotel Novotel. Para anggota ”pro-kepolisian dan kejaksaan” membantah informasi itu. ”Semua hanya isu,” kata Edison.
Rapat yang dijadwalkan berakhir Ahad dua pekan lalu itu dihentikan sehari lebih cepat. Perdebatan tentang lembaga yang berhak menerima laporan PPATK—yang sebenarnya telah selesai dalam rapat lebih besar—tak bisa diselesaikan. Sabtu menjelang waktu buka puasa, peserta rapat sepakat pertemuan tak mungkin dilanjutkan lagi.
Tim perumus hanya sepakat menentukan rapat lanjutan, yakni pada Rabu pekan lalu. Rapat itu belakangan tak jadi digelar karena sebagian besar tim perumus mangkir. ”Karena tidak mencapai kuorum, rapat dibatalkan,” kata Ecky Awal Mucharam dari Partai Keadilan Sejahtera. Rapat baru bisa dilanjutkan Jumat pekan lalu, yang berakhir dengan kompromi itu.
Dwidjo U. Maksum, Sandy Indra P., Mutia Resty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo