Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HINGGA dinihari Senin pekan lalu, Zyaher dan belasan penghuni Rumah Detensi Imigrasi Kupang, Nusa Tenggara Timur, tak kunjung tidur. Bukannya menunggu waktu imsak, mereka justru mempersiapkan rencana besar: melarikan diri. Masing-masing kebagian tugas khusus.
Zyaher dan beberapa orang menggergaji jeruji besi di kamar mandi. Yang lain memintal seprai menjadi tali. ”Untuk dipakai melompati pagar rumah detensi,” kata Zyaher. Begitu beres, satu per satu tahanan imigrasi itu keluar dan menyeberangi pagar belakang rumah tahanan setinggi lima meter.
Apa lacur, pas tinggal dua orang lagi, penjaga yang sedang membangunkan para penghuni untuk makan sahur terkejut mendapati jumlah ”anak kos” berkurang banyak. Zyaher dan 17 temannya kabur, yang dua tersisa digelandang lagi masuk rumah detensi.
Toh, rombongan Zyaher tak bisa dibilang sukses. Pria asal Afganistan itu, bersama 13 pelarian lain, ditangkap di sebuah penginapan, sekitar 20 kilometer dari Kupang. Tiga lainnya masih buron.
Kejadian seperti itu bukan yang pertama kali. Tak sampai sebulan lalu, 44 tahanan kabur dengan cara serupa: melompati pagar belakang rumah tahanan, tempat kamera pengintai tak berfungsi. Dari jumlah itu, hanya 23 yang bisa ditangkap kembali.
”Kami sangat ingin ke Australia,” kata Zyaher. Menurut beberapa penghuni, mereka jenuh tinggal di rumah tahanan imigrasi. ”Tak ada yang dapat dilakukan.” Apalagi masa penahanan para pencari suaka dan pengungsi ini memang tanpa batas waktu yang jelas.
Pengurusan suaka memang tak semudah membalik telapak tangan, dan membutuhkan waktu lama. ”Ada yang tujuh tahun tinggal di rumah tahanan,” kata Direktur Penyidikan dan Penindakan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia M. Husin Alaydrus.
Menurut catatan terakhir badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pengungsi, UNHCR, tahun ini 34 pengungsi diberangkatkan ke negara ketiga dan 130 pencari suaka dikembalikan ke negeri asalnya. Padahal total kasus di Indonesia mencapai 3.697—2.854 di antaranya pencari suaka, sisanya pengungsi. Mereka berasal dari Afganistan, Sri Lanka, Somalia, Irak, dan Burma.
Tahun lalu, 108 pengungsi diberangkatkan ke negara penerima dan 162 orang bersedia dipulangkan ke negara asal. Sistem yang digunakan berdasarkan ”first come first serve”. Ada pula penanganan khusus untuk anak-anak, perempuan tanpa pendamping, dan orang lanjut usia, difabel, atau dalam kondisi mental terpukul. ”Kasus mereka dapat dipercepat,” kata Dwi Fatan Lilyana, seorang petugas UNHCR bagian hubungan eksternal.
Di rumah detensi, di tanah seluas sekitar sepuluh hektare itu, para penghuni sulit mengusir rasa bosan. Setelah sahur—sebagian besar berpuasa—tak banyak yang bisa dilakukan. Paling-paling membersihkan sel atau menjemur kasur di lapangan. Kegiatan lain: mengitari lapangan atau mencari pojok yang teduh untuk meriung dan kongko.
Siang hari mereka rehat, petangnya berolahraga sambil menunggu waktu berbuka puasa. Menurut Nasir Rajabi, tahanan lainnya, hanya olahragalah rekreasi para penghuni rumah tahanan. Itu pun cuma sepak bola dan bola voli. ”Hanya itu yang bisa kami lakukan di sini,” katanya.
Penghuni yang berkeluarga bisa lebih bebas karena boleh beraktivitas di halaman depan rumah tahanan yang tak berpagar. Hanya beberapa petugas mengawasi mereka.
Tempat penampungan ini juga tak nyaman huni. Setiap blok, seluas 5 x 8 meter, ditempati 12-15 orang. Husin Alaydrus mengakui kondisi ini. Bahkan, menurut dia, salah satu penyebab berulangnya percobaan pelarian adalah ketimpangan daya tampung rumah detensi, yang menyebabkan ketidaknyamanan. Daya tampung rumah detensi hanya untuk 80 orang, tapi sekarang ditempati 129 orang. ”Pernah sampai 200 orang lebih,” katanya.
Tenaga penjaga sangat terbatas. Kepala Rumah Detensi Imigrasi Kupang, I Gusti Ngurah Rai, menyatakan hanya memiliki delapan petugas jaga, yang dibagi dalam dua kelompok, dan kebanyakan tenaga honorer. ”Sementara para imigran ini orang-orang nekat,” katanya.
Selain berusaha kabur, para penghuni tahanan ini kadang berbuat nekat: menjahit mulut, mogok makan, bahkan mencoba bunuh diri. Kekurangan dana juga sangat terasa. Menurut Gusti Ngurah Rai, rumah tahanan yang dia pimpin hanya mendapat Rp 175 juta per tahun untuk mengurus para pencari suaka dan pengungsi ini.
Akibatnya, mereka sangat bergantung pada Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) untuk mengurusi segala kebutuhan penghuni tahanan, dari makanan, fasilitas di rumah tahanan, hingga masalah kesehatan. Bahkan pembangunan rumah detensi ini pun dibantu IOM.
Untuk menghindari pelarian berulang, Husin mengatakan akan dibangun rumah tahanan yang lebih manusiawi. ”Mereka juga terus dibujuk agar bersedia pulang ke negeri asalnya.”
Purwani Diyah Prabandari, Yohanes Seo (Kupang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo