Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAU cat menyebar di ruang tunggu kantor Komisi Kepolisian Nasional, Rabu pekan lalu. Sebagian ruangan di Jalan Tirtayasa VII, Kebayoran Baru, Jakarta, itu sedang direnovasi. Hawa pengap. Para anggota staf duduk di kursi mereka, memelototi layar komputer dengan dahi berkerut.
Menjelang petang, Sekretaris Komisi Adnan Pandupradja masuk ruangannya. ”Pekan ini hari terasa begitu berat,” katanya. ”Draf peraturan presiden misterius itu membuat udara makin pengap.” Cerita tentang ”draf” ini beredar sejak dua pekan lalu.
Terbetik kabar, Markas Besar Kepolisian RI mengirimkan draf peraturan presiden kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rancangan itu berisi pasal-pasal pengangkatan dan pemberhentian Kepala Kepolisian. Nah, ada klausul yang dinilai menisbikan peran Komisi Kepolisian dan Dewan Perwakilan Rakyat, dan terkesan mendikte Yudhoyono.
Pasal 5 ayat 1 draf itu berbunyi: Kapolri menetapkan calon-calon Kapolri. Ayat 2 menyebutkan, calon-calon yang memenuhi persyaratan diajukan Kapolri kepada presiden disertai alasan-alasannya, dan tembusannya disampaikan ke Komisi Kepolisian Nasional.
Sejak Komisi Kepolisian berdiri, lembaga inilah yang mengajukan kandidat Kepala Kepolisian kepada presiden. ”Draf peraturan presiden ini memotong peran kami,” kata Adnan Pandupradja. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, hak mengajukan calon Kepala Kepolisian berada di tangan presiden, dengan meminta saran dan pertimbangan Komisi Kepolisian.
Kepala Kepolisian hanya berhak mengirim daftar riwayat hidup calon yang memenuhi syarat. Komisi Kepolisianlah yang kemudian mengusulkan calon kepada presiden. ”Jika Kepala Kepolisian yang memilih dan menetapkan calon yang akan diusulkan kepada presiden, itu melanggar Undang-Undang Kepolisian,” Adnan menambahkan.
Dalam membantu presiden menemukan figur Kepala Kepolisian, menurut Adnan, peran Komisi signifikan. Lembaga ini meliputi sembilan anggota, masing-masing tiga dari unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat.
Diketuai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, wakilnya dijabat Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar bersama tujuh orang lainnya duduk sebagai anggota. Adnan Pandupradja, unsur tokoh masyarakat, menjabat sekretaris. ”Komisi dibentuk sebagai mahar ketika terjadi pemisahan Kepolisian dari TNI,” kata Adnan. ”Jadi tak bisa diabaikan.”
Menurut dia, sebelum draf disampaikan kepada presiden, Markas Besar Kepolisian seyogianya meminta pertimbangan Komisi, sehingga bisa dihindari unsur kolusi dan klik-klikan antara Kepala Kepolisian dan calon yang diajukan. Kini yang jadi pertanyaan: siapa konseptor dan pengirim draf itu ke Istana?
Adnan menerima draf itu lewat faksimile di kantornya, dua pekan lalu. Dia langsung menelepon orang dekat Presiden. Kabar itu kemudian diteruskan ke sejumlah menteri, yang kemudian memutuskan menariknya dari meja Presiden. ”Jadi draf itu kandas karena dinilai tidak prosedural,” kata Adnan.
Ia menduga draf itu dibuat para petinggi Kepolisian yang merasa tak masuk kriteria kandidat, tapi punya ambisi. ”Biasalah, di semua lembaga ada kompetisi yang kadang tak sehat sampai tak masuk akal begitu.”
Sumber Tempo di Istana menyatakan draf itu memang sempat singgah di meja Presiden. Tapi ia tak tahu apakah Presiden sempat membacanya atau tidak. ”Kalau toh Presiden membaca, beliau pasti akan memanggil staf yang membidangi hukum,” katanya. ”Presiden kan bukan orang yang mudah didikte?”
Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri tak bisa dimintai konfirmasi. Permohonan wawancara yang dikirim Tempo kepadanya belum berbalas. Penasihat Kepala Polri, Kastorius Sinaga, menyatakan tak tahu-menahu. ”Saya sedang di Eropa, tak mengikuti soal itu, maaf,” katanya, Jumat malam pekan lalu. Kepala Divisi Humas Kepolisian Inspektur Jenderal Edward Aritonang juga enggan berkomentar. ”Itu Kapolri yang lebih tahu,” katanya.
Ketika polemik merebak, ada wacana dari pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Bambang Widodo Umar, untuk tak melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat. ”Saya tak setuju DPR mengintervensi, karena pasti ada permainan kepentingan partai politik,” katanya dalam diskusi di Imparsial, Jakarta.
Menurut dia, perlu sistem yang mengatur peran lembaga yang berwenang dalam pemilihan Kepala Kepolisian. Lembaga yang punya kewenangan selama ini adalah kepolisian, presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Komisi Kepolisian.
Kepolisian telah mengajukan konsep peraturan presiden, dengan calon Kepala Kepolisian dipilih oleh Kepala Kepolisian yang masih menjabat, tanpa melibatkan Komisi Kepolisian. Sistem pembagian peran harus jelas. ”Harus diatur dengan peraturan presiden,” katanya. ”Memalukan jika ada perebutan kewenangan.”
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan tak tahu persoalan draf misterius itu. ”Saya, kok, tidak terima drafnya ya, Mas?” kata Djoko lewat pesan pendek kepada Tempo. ”Jadi belum bisa komentar.” Ia kemudian menambahkan, ”Sampai saat ini, sepengetahuan saya, belum ada perubahan.”
Keterangan Djoko sama dengan Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Benny K. Harman: tak ada perubahan mekanisme pemilihan Kepala Kepolisian. Tapi, Benny menyatakan, ”Saya pernah melihat draf itu, dan terkesan mendikte presiden.” Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane justru heran draf itu dipersoalkan. Menurut dia, draf itu satu paket dengan draf usulan struktur baru kepolisian. ”Saya kira, kok, tidak ada persoalan,” katanya.
Menurut Neta, selama ini kandidat Kepala Kepolisian diusulkan ke Dewan Kebijakan Jabatan dan Kepangkatan, yang diketuai Wakil Kepala Kepolisian. Anggotanya meliputi Inspektur Pengawasan Umum, Kepala Direktorat Profesi Pengamanan, dan Deputi Sumber Daya Manusia.
Setelah menyimak rekam jejak, Dewan mengirim lima nama kepada Kepala Kepolisian, yang kemudian memilih tiga nama untuk diusulkan kepada presiden. ”Presiden menyerahkan tiga nama itu kepada DPR,” kata Neta. Ia malah mengatakan, ”Saya kira Komisi Kepolisian cari sensasi saja.”
Dwidjo U. Maksum, Nalia Rifika, Puti Noviyanda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo