Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=2 color=#FF9900>PARTAI KEADILAN SEJAHTERA</font><br />Terbuka Setengah Hati

Partai Keadilan Sejahtera mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka. Sejumlah kader inti membangkang.

28 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENYADARI perolehan suaranya tak banyak beranjak dalam dua pemilihan umum, Partai Keadilan Sejahtera membuka pintu bagi nonmuslim. Disebut-sebut nonmuslim tak cuma bisa menjadi anggota atau calon legislator, tapi juga dapat menduduki posisi puncak, seperti pengurus Majelis Syura. ”Sifat terbuka kepada nonmuslim juga ajaran Islam,” kata Mustafa Kamal, Ketua Departemen Politik, Pemerintahan, Hukum, dan Keamanan. Deklarasi keterbukaan partai berlambang bulan sabit dan padi ini dilakukan dalam Musyawarah Nasional yang berakhir Ahad pekan lalu di Hotel Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta. Hajatan lima tahunan itu memakan biaya sekitar Rp 10 miliar.

Dipilihnya Ritz-Carlton, hotel yang berpusat di Amerika Serikat, dan diundangnya duta besar Negeri Abang Sam, Cameron R. Hume, menandai niat ”keterbukaan” itu. Sebelumnya PKS dikenal sebagai partai yang gencar mengkritik Amerika karena dianggap memusuhi umat Islam. Tak cuma dengan Amerika, ”Kami bahkan berkomunikasi dengan Partai Komunis Cina,” kata Ketua Majelis Syura Hilmi Aminuddin.

Sesungguhnya yang jadi soal adalah perolehan suara. Dalam Pemilu 2009 PKS adalah pemenang keempat dengan suara 7,89 persen. Posisinya di bawah Partai Demokrat, Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dibanding Pemilu 2004, persentase suara PKS cuma merambat 0,55 persen, tapi dari total suara malah turun dari 8,33 juta suara menjadi 8,21 juta. Di DKI Jakarta suaranya anjlok: pada Pemilu 2004 PKS mendapat 22 persen, tahun lalu hanya 18 persen.

Dua belas tahun lalu, tak pernah terbayangkan Partai Keadilan, nama awal PKS, menyatakan diri sebagai ”partai terbuka”. Dideklarasikan di aula Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan, Juli 1998, organisasi ini bertekad menjadi partai dakwah dengan cita-cita menegakkan syariat Islam. Pada Pemilu 1999, Partai Keadilan hanya mendapat tujuh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Karena tidak memenuhi syarat ambang terbawah suara dua persen, Partai Keadilan berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera.

Disebut-sebut aktor di balik ”keterbukaan” itu adalah Ketua Majelis Syura Hilmi Aminuddin. Posisi Hilmi amat sentral dalam mengambil keputusan partai. Ia adalah pemimpin tertinggi yang bisa menganulir keputusan presiden partai. Soal ini Mustafa Kamal membenarkan. ”Ya, peran Ustad Hilmi besar,” katanya. ”Beliau guru dan ideolog kami.”

Keinginan Hilmi menjadikan PKS partai ”terbuka” mulai terbaca menjelang Musyawarah Kerja Nasional di Hotel Inna Grand Bali Beach, Januari dua tahun lalu. Ketika itu menjelang masa pengajuan calon legislator dan banyak calon nonmuslim yang mendaftar. Menjelang musyawarah partai, Hilmi bertemu dengan sejumlah pemuka Hindu dan menyatakan partainya terbuka buat penganut selain Islam.

Meski didengung-dengungkan terbuka, anggaran dasar PKS tak terang-terangan menyebutkan istilah nonmuslim. Dalam konstitusi barunya, PKS membagi keanggotaan menjadi dua kategori: kader dan anggota. Kader adalah anggota yang terikat penuh dengan konstitusi partai dengan sistem kaderisasi yang berbasis keislaman. Anggota adalah semua warga negara Indonesia yang terikat penuh dengan organisasi.

Konstitusi partai lima tahun lalu menyebutkan yang dimaksud anggota adalah mereka yang harus terikat penuh dengan konstitusi partai serta mengikuti kaderisasi yang berbasis keislaman. Tidak dicantumkannya ketentuan mengikuti kaderisasi berbasis keislaman inilah yang membuka ruang bagi nonmuslim untuk berkiprah. Anggota nonmuslim bisa masuk, ”Asal lulus kurikulum partai,” kata Sekretaris Jenderal Anis Matta. Kurikulum itu tengah digodok dan diharapkan selesai tahun depan. ”Isinya seputar pendidikan kewarganegaraan,” ujar Anis melanjutkan.

Menjadi partai terbuka—meski dalam tanda kutip—segera saja mencuatkan polemik. Sejumlah kader senior bersuara keras. Mereka mengkritik elite PKS telah melenceng dari garis perjuangan. Majelis Syura yang mengambil keputusan dianggap telah diisi oleh kader dari faksi Hilmi Aminuddin. ”Kalaupun ada yang tak setuju, mereka tak berani mengemukakannya. Mereka takut disingkirkan,” kata Syamsul Balda, kader senior penentang Hilmi. ”Dari awal PKS adalah partai dakwah. Yang ada dalam pikiran kami menegakkan syariat Islam,” Syamsul melanjutkan.

Pengkritik lainnya adalah penceramah senior Daud Rasyid dan bekas anggota DPR, Mashadi. Selain itu, ada pengurus PKS, Habibullah dan Abu Ridlo, kini anggota Dewan Perwakilan Daerah.

Beberapa hari menjelang musyawarah Bali 2008, sempat beredar mosi tidak percaya terhadap pemimpin partai. Penggagas mosi ini adalah Mashadi. Kelompok ini menuding pemimpin partai tidak punya sense of crisis dengan hidup mewah, sedangkan kader di bawah terus didoktrin untuk berjuang ikhlas demi dakwah. Mashadi juga mengkritik besarnya peran Hilmi Aminuddin dalam menentukan arah partai. ”Semua kebijakan partai di tangan dia,” katanya. Akibat mosi itu, Mashadi ”diadili” oleh Badan Penegak Disiplin Organisasi dan diberi peringatan keras karena dianggap merongrong wibawa partai.

Menentang elite PKS, Habibullah memotori lahirnya Forum Kader Peduli. Forum ini setiap Ahad ketiga tiap bulan menggelar diskusi yang menjadi ajang menguliti kebijakan partai yang mereka anggap menyeleweng. ”Prinsip kami adalah amar makruf nahi munkar, mengingatkan untuk kebaikan,” kata Habibullah.

Salah satu yang dikritik para kader adalah aksi petinggi PKS mendekat ke Keluarga Cendana menjelang Pemilu 2009. Saat itu partai memasang iklan Hari Pahlawan di media massa dengan menampilkan Soeharto sebagai guru bangsa. Partai juga mengadakan pertemuan putra-putri ahli waris pemimpin Indonesia di Jakarta Convention Center, Jakarta, pada November dua tahun lalu. Salah seorang yang diundang dan hadir adalah Siti Hediyati, putri Soeharto. Santer terdengar acara itu digelar sebagai bagian dari pengumpulan dana pemilu.

Hilmi tak bisa dikontak untuk dimintai konfirmasi. ”Beliau sedang umrah,” kata seseorang bernama Saeful yang menjaga rumah Hilmi di Lembang, Jawa Barat, Kamis pekan lalu. Anggota DPR dari PKS, Fahri Hamzah, menyatakan ”perlawanan” kelompok yang tak setuju dengan kebijakan partai sudah selesai. ”Partai sudah menjelaskan seusai musyawarah kerja di Bali,” kata Fahri. ”Mereka tidak melakukannya dengan berani. Mereka main belakang,” katanya lagi.

Sunudyantoro, Sandy Indra Pratama (Jakarta), Alwan Ridha (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus