Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kemarin, 138 tahun silam merupakan hari kelahiran pendiri organisasi Muhammadiyah, yakni KH Ahmad Dahlan. Dia juga merupakan salah satu tokoh yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional menurut Surat Keprres No. 657 Tahun 1961.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sosok yang bernama asli Muhammad Darwis ini merupakan putra seorang ulama dan khatib utama di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta, KH. Abu Bakar. Dia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Kakek dari ibunya merupakan pejabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat kala itu. KH Ahmad Dahlan juga merupakan keturunan kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Darwis dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil, dan sekaligus menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Saat usianya baru menginjak 8 tahun, Ahmad Dahlan sudah mampu membaca Alquran sesuai dengan kaidah ilmu tajwid. Ahmad Dahlan juga menuntut ilmu agama pada ulama lain, sehingga pengetahuannya terus bertambah dan makin luas.
Pada 1883, di usianya yang baru 15 tahun, Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji dan kemudian tinggal di Mekah, Arab Saudi selama lima tahun untuk mengenyam pendidikan Islam dan Bahasa Arab.
Selama mengenyam pendidikan di Mekah, Muhammad Darwis berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah, yang memberikan pengaruh bagi Muhammad Darwis di kemudian hari untuk mendirikan organisasi yang bercorak pembaharuan pemahaman keagamaan Islam.
KH Ahmad Dahlan merupakan pelopor kebangkitan umat Islam untuk terus belajar dan berjuang serta menyadarkan umat tentang nasibnya sebagai bangsa terjajah. Organisasi Muhammadiyah yang didirikannya telah memberikan kontribusi terhadap ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran tersebut di antaranya menuntut kemajuan, kecerdasan, beramal bagi masyarakat dan umat dengan dasar keimanan dan keislaman.
Muhammadiyah juga telah memelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam. Selain itu, dengan organisasinya Aisyiyah, Muhammadiyah bagian wanita, KH Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berkarir di bidang sosial setingkat dengan kaum pria. Atas jasa-jasanya tersebut, Pemerintah RI menetapkan KH Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional.
Pemahaman agama Islam di tanah air saat itu masih sangat kolot atau ortodoks. Pandangan ortodoks ini menimbulkan kebekuan ajaran Islam dan menyebabkan kemunduran umat Islam di Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang kolot ini harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an dan hadis.
Pada 1888, setelah mengenyam pendidikan selama lima tahun di Mekah, Muhammad Darwis kembali ke tanah air dengan nama baru Haji Ahmad Dahlan. Pemberian nama baru ini merupakan suatu kebiasaan dari masyarakat Islam Indonesia yang pulang haji, selalu mendapat nama Islam sebagai pengganti nama lahir. Sepulangnya dari Mekah, KH Ahmad Dahlan kemudian diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Keraton Kesultanan Yogyakarta.
Pada tahun 1902 hingga 1904, KH. Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Ia melanjutkan memperdalam ilmu agama dengan beberapa guru di Mekah. Sepulang dari Mekah, ia menikah dengan sepupunya, Siti Walidah yang merupakan anak Kiai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, yang juga dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah. Selain itu, Ahmad Dahlan juga pernah menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia pernah pula menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH Ahmad Dahlan juga pernah menikah dengan Nyai Aisyah adik Ajengan Penghulu Cianjur dan dikaruniai seorang putra Dandanah. Selain itu, ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin di Pakualaman Yogyakarta.
Kemudian Pada 1912, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Organisasi keagamaan ini kemudian berkembang pesat dengan anggota sekitar 30 juta orang yang tersebar di berbagai wilayah. KH Ahmad Dahlan meninggal pada 23 Februari 1923 di usianya yang ke-53 tahun. Jasadnya dimakamkan di pemakaman Karang Kajen, Yogyakarta.
HATTA MUARABAGJA | HENDRIK KHOIRUL MUHID
Pilihan editor: Persahabatan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari, Pendiri Muhammadiyah dan NU Satu Guru