Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

KH Ahmad Dahlan dari Kampung Kauman Susah payah Mendirikan Muhammadiyah

Hari ini, 138 tahun KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Anak Kampung Kauman Yogyakarta ini menjadi ulama besar dan pahlawan nasional.

2 Agustus 2024 | 19.37 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - KH Ahmad Dahlan, lahir pada 1 Agustus 1868 dengan nama asli Muhammad Darwis, adalah tokoh penting dalam sejarah Indonesia sebagai pendiri Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di negara ini. Pada 2019, Muhammadiyah memiliki pengikut yang mencapai 60 juta orang. Selain sebagai tokoh pembaruan agama, Ahmad Dahlan juga diakui sebagai pahlawan nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, dari pasangan Kiai Haji Abu Bakar bin Haji Sulaiman dan Siti Aminah binti Kiai Haji Ibrahim. Ia adalah keturunan dari Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, salah satu Wali Songo yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Garis keturunan ini ia dapatkan dari pihak ayahnya. Dari kecil, Ahmad Dahlan dikenal sebagai anak yang cerdas dan kreatif, mampu mempelajari kitab-kitab agama secara mandiri di pesantren.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan agama Ahmad Dahlan dimulai dari keluarganya sendiri. Pada usia delapan tahun, ia sudah mampu membaca Alquran dengan baik. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya pada berbagai ulama, memperdalam pengetahuannya dalam ilmu agama. 

Pada 1883, berkat bantuan biaya dari kakak iparnya, Kiai Haji Soleh, Ahmad Dahlan berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam pengetahuan agamanya. Di Mekah, ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama seperti qiraat, tafsir, tauhid, fikih, tasawuf, ilmu falak, dan bahasa Arab.

Setelah lima tahun di Mekah, Ahmad Dahlan kembali ke tanah air dan mulai mengajar anak-anak di Kampung Kauman. Ia juga menggantikan ayahnya sebagai khatib di Masjid Gedhe Kauman. Aktivitasnya sebagai pengajar dan khatib membuatnya dikenal sebagai Kiai, sebutan untuk ulama atau orang yang ahli dalam agama Islam di lingkungan Jawa.

Pada 1889, Ahmad Dahlan menikahi Siti Walidah, putri dari Kiai Fadhil Kamaludiningrat, penghulu di Keraton Yogyakarta. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai enam anak. Selain dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan juga menikahi tiga wanita lain setelah mendirikan Muhammadiyah. Pernikahan-pernikahan ini dilakukan dengan alasan agama dan dakwah, serta untuk memperkuat hubungan dengan pihak-pihak tertentu, seperti Keraton Yogyakarta dan ulama setempat.

Pada 1903, Ahmad Dahlan kembali ke Mekah bersama anak pertamanya, Muhammad Siradj, untuk memperdalam pengetahuan agama selama dua tahun. Di sana, ia mempelajari gerakan-gerakan pembaruan Islam yang sedang berlangsung di berbagai negara. Pemikiran-pemikiran dari tokoh-tokoh seperti Jamaluddin Al-Afghani, Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha menjadi dasar bagi Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah.

Sekembalinya ke tanah air pada 1906, Ahmad Dahlan memilih menjadi pengajar di Kampung Kauman untuk mewujudkan misinya menyebarkan gerakan pembaruan Islam. Selain sebagai pengajar, ia juga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan bersilaturahmi dengan kalangan priyayi pengurus perkumpulan Boedi Oetomo. Pada 1909, ia resmi menjadi anggota Boedi Oetomo, yang memberinya pengalaman berorganisasi dan memperluas jangkauan dakwahnya.

Selanjutnya: KH Ahmad Dhlan Mendirikan Muhammadiyah

Pada 18 November 1912, Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sebagai wadah untuk menyampaikan gagasan-gagasan pembaruan Islam. Organisasi ini bertujuan mengembalikan ajaran agama sesuai dengan Alquran dan hadis, meskipun awalnya menghadapi banyak penolakan dan ancaman dari masyarakat yang masih memegang teguh takhayul, bidah, dan khurafat.

Untuk mendapatkan pengakuan resmi, pada 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan surat permohonan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda agar Muhammadiyah diakui sebagai organisasi berbadan hukum. Permohonan ini disetujui pada 22 Agustus 1914, namun izin tersebut hanya berlaku di Yogyakarta. 

Pemerintah kolonial Hindia Belanda khawatir dengan aktivitas Muhammadiyah dan membatasi kegiatannya. Menyikapi hal ini, Ahmad Dahlan menganjurkan pengurus di luar Yogyakarta untuk menggunakan nama lain, seperti Nurul Islam di Pekalongan, Almunir di Makassar, Alhidayah di Garut, dan Sidiq, Amanah, Tabligh, Fathonah di Solo.

Masjid Gedhe Kauman, yang terletak di tengah-tengah kampung, menjadi saksi bisu perjalanan Muhammadiyah. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan dakwah dan pendidikan. Banyak tokoh penting Muhammadiyah yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan masjid ini, seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH. Fachruddin, dan KH. Ahmad Badawi.

Kisah perjuangan KH Ahmad Dahlan tergambar pada Langgar Kidoel Hadji Ahmad Dahlan. Posisi bangunan ini pun dekat dengan masjid. Langgar ini didirikan sekitar 1800-an setelah KH Ahmad Dahlan menikah. Sempat dirobohkan karena belum bisa menerima ajaran KH A Dahlan, namun dibangun kembali  berkat dukungan saudara-saudaranya yang menghendaki beliau tetap tinggal di Kauman dan terus mensyiarkan agama Islam.

Khasnya permukiman penduduk Kauman dilihat dari gang dan jalan yang sempit. Lebar jalan hanya sekitar 2 meter membuat kendaraan roda 4 tidak dapat melaluinya, sementara kendaraan roda 2 pun harus dituntun. 

Bahkan ada peraturan bagi pemakai jalan, dilarang mengendarai kendaraan dan perjalanan harus dilakukan dengan jalan kaki atau menuntun sepeda motornya. Hal ini untuk menjaga dan menghormati sesama pemakai jalan juga menjaga ketenangan dalam proses belajar mengajar para murid santri di pesantren Kauman.

SUKMA KANTHI NURANI  | HENDRIK KHOIRUL MUHID

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus