Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

26 Tahun Pembredelan, Pendiri Tempo Bicara Pers Dulu dan Sekarang

Peristiwa 26 tahun lalu itu masih segar dalam ingatan Harjoko Trisnadi, pendiri Tempo.

22 Juni 2020 | 20.03 WIB

WS Rendra pada protes pembredelan TEMPO, EDITOR dan DETIK di depan Deppen, Jakarta, 1994. Dok.TEMPO/Robin Ong
Perbesar
WS Rendra pada protes pembredelan TEMPO, EDITOR dan DETIK di depan Deppen, Jakarta, 1994. Dok.TEMPO/Robin Ong

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta- Pada 21 Juni 1994, pemerintahan Presiden Soeharto menutup Majalah Tempo, Majalah Editor dan Tabloid DeTIK. Peristiwa 26 tahun lalu itu masih segar dalam ingatan Harjoko Trisnadi, pendiri Tempo.

Harjokolah yang menerima surat keputusan dari Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko. “Tanggal itu saya tidak bisa melupakan,” katanya saat dihubungi Tempo, Senin, 22 Juni 2020.

Harjoko berkisah, media massa di era Orde Baru memang wajib mengantongi surat izin terbit yang berbentuk SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan). Di dalam surat harus tertera nama pemimpin umum, pemimpin redaksi, dan pemimpin perusahaan. Nama-nama itu harus disahkan di Departemen Penerangan.

Karena harus punya izin, konsekuensinya setiap saat izin media massa itu bisa dicabut, seperti yang pernah dialami Tempo pada 1982. Saat itu, izin terbit Tempo juga dicabut selama tiga bulan. “Tapi yang kedua kalinya (21 Juni 1994) final. Enggak bisa terbit lagi,” ujarnya.

Tempo menolak keputusan pembredelan dengan menggugat pemerintah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ketika itu, tanpa diduga, hakim Benyamin Mangkoedilaga memenangkan Tempo.

Menurut Harjoko, situasi kebebasan pers di era Orde Baru sangat jauh berbeda dengan zaman sekarang. “Sekarang tidak perlu takut ada pembredelan lagi,” katanya.

Kebebasan pers mulai dirasakan setelah kejatuhan Soeharto. Aturan izin terbit sudah dihapus. Bahkan, Departemen Penerangan dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Meski begitu, Harjoko menilai kebebasan pers saat ini sudah kebablasan, terutama di media sosial. “Euphorianya sudah kebablasan.”

Ia mengaku hingga kini hanya membaca berita dari media mainstream ketimbang yang beredar di media sosial. Ia pun berharap media massa semakin akurat dalam menyajikan informasi.

FRISKI RIANA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus