Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saban dua hari sekali Supriyantoro dan Jumhar berboncengan dari kampungnya di Desa Srono, Kabupaten Banyuwangi, menuju tempat kerjanya di Kabupaten Bondowoso. Untuk mempersingkat waktu, kedua penyepuh emas itu memilih jalur alternatif yang jaraknya 42 kilometer. Ini bukan jalur datar. Keduanya harus melalui tanjakan Erek-erek di kaki Gunung Ijen.
Sebelum 2012, Erek-erek bak neraka. Ini tanjakan paling tinggi di kaki Gunung Ijen, yakni 30 meter dengan kemiringan 70 derajat. Kelokannya tajam seperti huruf S. Hanya kendaraan off-road yang mampu melalui tanjakan ini dengan mulus. "Kalau sepeda motor, harus didorong sampai tiga kilometer," kata Supriyantoro, 49 tahun, Selasa pekan lalu.
Saat ini tanjakan Erek-erek memang masih berkelok, tapi sudah jauh lebih ramah. Ketinggian dan kemiringannya dipangkas. Walhasil, kini Supri dan Jumhar hanya perlu dua jam ke tempat kerja, dari sebelumnya tiga jam.
Berkurangnya "kebrutalan" tanjakan Erek-erek tak lepas dari campur tangan pemerintah Banyuwangi. Dengan anggaran Rp 7 miliar, pada 2012 mereka menurunkan ketinggian tanjakan menjadi 15 meter, sedangkan kemiringannya dikurangi sehingga tinggal 15 derajat. Bukan hanya itu, kiri-kanan tebing juga diperkuat, plus jalannya diaspal mulus. Sekarang tak hanya mobil biasa yang melintas, sepeda motor, bahkan sepeda, bisa melampaui jalur ini.
Akses menuju Gunung Ijen itu dipoles sedemikian rupa untuk menyambut turnamen balap sepeda internasional, Tour de Ijen, yang digelar sejak 2012. Hajatan itu dilanjutkan pada 2-5 November lalu. Kali ini 20 tim peserta luar dan dalam negeri mengikuti turnamen dengan empat etape dan jarak tempuh 620 kilometer itu.
Komisaris Internasional Persatuan Balap Sepeda Dunia (United Cycleste Internationale, UCI) Jamaluddin Mahmood memuji Banyuwangi yang sukses menggelar turnamen yang disebutnya berkelas internasional itu. "Semoga ini bisa menular ke kabupaten lain," ujarnya Selasa dua pekan lalu. Sehabis melontarkan pujian, ia meminta pemerintah Banyuwangi menambah panjang lintasan menjadi lima etape pada 2014.
Pujian Mahmood tentu saja membuat senang Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Maklum, tujuan utama Banyuwangi menggelar turnamen itu sebenarnya bukan semata-mata demi balap sepeda, melainkan kata Kepala Bagian Pemerintahan Anacleto Da Silva, Senin pekan lalu, "Kami ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Gunung Ijen adalah milik Banyuwangi."
Ijen, gunung setinggi 2.368 meter, memang masih menjadi rebutan antara Banyuwangi dan Bondowoso. Sengketa tapal batas yang muncul sejak 2006 tak kunjung mencapai titik temu hingga kini ditangani Kementerian Dalam Negeri.
Untuk menguatkan argumen kepemilikan, kedua petinggi kabupaten adu dokumen dan peta. Banyuwangi mengajukan enam peta era kolonial Belanda yang memasukkan Ijen sebagai bagian dari Banyuwangi. Peta itu adalah Besoeki Afdeling 1895, Idjen Hooglan 1920, Java Madura 1942, Java Resn Besoeki 1924, Java Resn Besoeki 1924 Blad XCIII C, dan Java Resn BesoeÂki 1925. Sedangkan pemerintah Bondowoso mendasarkan klaimnya pada peta Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), yang terbit pada 2000. Dalam peta ini kawah Gunung Ijen dibagi dua, masing-masing menjadi milik Banyuwangi dan Bondowoso.
Anacleto bercerita, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kementerian Dalam Negeri menggelar tiga pertemuan pada 2011-2013 untuk menengahi dua kabupaten itu. Tapi pihak Bondowoso tak pernah hadir. "Akhirnya masalah jadi berlarut-larut."
Banyuwangi dan Bondowoso ngotot berebut karena potensi Ijen tidak kecil. Tiap tahun gunung dengan kawah terluas di Asia Tenggara ini didatangi ribuan turis asing dan domestik. Penambangan belerang secara tradisional di gunung ini juga menjadi satu-satunya di Indonesia.
Potensi lain adalah panas bumi, yang sedang dieksplorasi PT Medco Geothermal Indonesia, anak perusahaan PT Medco Energi Internasional Tbk. Medco memegang kuasa eksplorasi seluas 62.620 hektare. Potensi panas bumi diperkirakan menghasilkan energi listrik 270 megawatt, yang bakal dijual ke PT PLN.
Untuk merebut semua potensi itu, Banyuwangi tidak hanya mati-matian menggelar Tour de Ijen. Tahun ini Banyuwangi menganggarkan Rp 6,3 miliar untuk memperbaiki fasilitas obyek wisata. Anggaran itu, menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Banyuwangi Mujiono, antara lain digunakan untuk pengadaan air bersih Rp 4 miliar. "Air bersih di Ijen terbatas. Kami mencari sumber air baru lalu mengalirkannya dengan pipa," katanya.
Seakan-akan tak pernah lelah, Banyuwangi juga mendandani Ijen dengan bermacam fasilitas. Misalnya membangun shelter di kilometer 10, membangun gedung informasi dan suvenir, serta memasang paving block di area parkir Paltuding. Mereka juga memelihara jalan dan membangun plengsengan Erek-erek, mendirikan sarana promosi dan tempat istirahat. Untuk semua keperluan itu, anggarannya sekitar Rp 2,4 miliar.
Usaha itu dikatakan telah berhasil meningkatkan kunjungan turis. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Muhammad Yanuarto Bramuda menyatakan angka wisatawan hingga November 2013 ke Ijen mencapai 14 ribu orang. Pada periode yang sama 2012 hanya ada 8.000 turis.
Peningkatan jumlah wisatawan itu, kata Bramuda, memang belum menaikkan angka pendapatan asli daerah. Namun dia memastikan efeknya dirasakan langsung oleh masyarakat, seperti pemilik warung dan penambang belerang, yang juga menjadi pemandu wisata.
Khomsiyah, 58 tahun, pemilik warung di Dusun Jambu atau 10 kilometer dari Gunung Ijen, mengakui jumlah pembelinya lebih banyak dalam setahun terakhir. "Hampir tiap hari ramai. Apalagi kalau musim liburan," katanya. Kini Khomsiyah, yang sudah 15 tahun berdagang, bisa mengantongi Rp 500 ribu-1 juta per hari dari pelancong. Mereka biasanya membeli bensin, minuman, dan madu.
Bramuda mengakui wisatawan ke Ijen selama ini lebih banyak melewati Bondowoso, yang terangkai dengan paket wisata Gunung Bromo. Demi merebut turis, kini Banyuwangi sedang merancang kerja sama dengan biro travel untuk paket wisata dengan rute Borobudur, Bromo, Banyuwangi, dan Bali.
Dimintai tanggapannya, Bupati Bondowoso Amin Said Husni mengaku tak risau terhadap klaim Banyuwangi. Menurut dia, Bondowoso punya sejarah panjang dalam pengelolaan Ijen. Sejak masa kolonial Belanda, akses menuju Ijen hanya melalui Bondowoso. "Banyuwangi kan baru beberapa tahun ini menggarap Ijen," katanya Rabu pekan lalu. Bondowoso memasukkan Ijen sebagai kawasan wisata melalui Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah.
Sejak 2009, Bondowoso memperbaiki jalan ke puncak Ijen. Kini perbaikan jalan menuju Kawah Ijen dari Bondowoso sudah rampung. Jalan dari Desa Garduatak menuju Desa Sukosari dan dari Sukosari menuju Desa Sempol dan Paltuding sepanjang 45 kilometer sudah beraspal mulus. "Itu sangat mendukung kegiatan masyarakat sekitar dan mempermudah akses wisatawan menuju Kawah Ijen," kata Amin.
Adu klaim dan promosi itu dikritik anggota DPRD Banyuwangi, Nasiroh. Seharusnya, menurut dia, Banyuwangi menempuh cara legal-formal dan memperbanyak komunikasi dengan Bondowoso. "Kalau akhirnya Bondowoso menang, anggaran sebegitu banyak akan sia-sia," ujarnya.
Besarnya promosi untuk Ijen juga dinilai tidak sebanding dengan potensi lain di Banyuwangi yang masih bisa dikembangkan, seperti pertanian dan perikanan. Nasiroh yakin dampak penyelenggaraan Tour de Ijen hanya dinikmati masyarakat kelas menengah atas, seperti pemilik restoran dan hotel. "Dampak langsung ke masyarakat menengah bawah tidak ada," katanya.
Endri Kurniawati, Ika Ningtyas, Mahbub Djunaidy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo