Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Gas Murah ala Nguken

Penduduk di Desa Nguken, Pademangan, Bojonegoro, sejak 20 tahun lalu memanfaatkan gas alam untuk kebutuhan rumah tangga. Belum pernah diatur.

18 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suwarti, 44 tahun, seperti tak bosan-bosannya menanak jagung di dapur rumahnya di RT 1 RW 1, Desa Nguken, Kecamatan Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur. Pedagang nasi jagung itu menghabiskan sebagian besar harinya di dapur. Kegiatan memasak mulai pukul tiga dinihari dan baru ber­akhir sore, kadang berlanjut sampai malam saat banyak pesanan.

Tak terhitung berapa banyak kompor-kompornya menghabiskan bahan bakar. Tapi Suwarti tampak tak memusingkannya. Kepada Tempo, dia mengatakan tak pernah keluar uang untuk membeli bahan bakar minyak atau gas. Ternyata suplai bahan bakar itu diperolehnya secara cuma-cuma. Api di tungku kompornya yang selalu menyala biru itu berasal dari gas alam dari sumur pompa air miliknya. "Jadi memang gratis semuanya," kata Suwarti di rumahnya, Selasa pekan lalu.

Gas alam yang dia maksud adalah gas yang menyembur dari perut bumi di pekarangan tanah keluarganya. Gas menyembur bersama-sama air dari sumur pompa sedalam 8 meter tersebut. Saat mesin pompa air dihidupkan, secara otomatis gas dari dalam tanah ikut naik. Oleh suaminya, air dan gas yang tersedot itu lantas dipisahkan dengan slang. Satu slang dialirkan ke bak mandi dan satu slang lain ke tungku masak di dapur. Agar pipa yang dialiri gas tidak terus keluar, dibuatlah keran untuk mengatur besar-kecilnya gas ke tungku api. "Prosesnya sederhana sekali."

Fenomena gas alam dimanfaatkan oleh rumah tangga secara langsung bukan hal unik di desa ini. Di lingkungan RT 1 RW 1 saja sedikitnya ada lima keluarga yang beruntung sumur pompanya menyemburkan gas dan dimanfaatkan untuk memasak. Satu sumur di antaranya dimanfaatkan secara bersama-sama oleh 15 keluarga yang rumahnya berdekatan. Satu keluarga lagi di RT 4 RW 1, yakni keluarga Kusnadi, yang juga kepala desa setempat.

Yang mula-mula menemukan gas secara tidak sengaja adalah Sujadi, suami Suwarti, saat mengebor sumur pada 1992. Saat galian pipa masuk di kedalaman 8 meter, air muncrat disertai suara desisan seperti suara gas. Ternyata itu benar-benar gas alam. Sujadi lantas membuat saluran pipa sedemikian rupa untuk memanfaatkan gas itu. Hal itu lalu ditiru warga lain di kampungnya.

Meski di Desa Nguken terdapat potensi alam berlebih, warga tak serta-merta mengeksploitasinya berlebihan. Terbukti, saat gas pertama kali ditemukan, hanya puluhan keluarga yang memanfaatkan. Ketika itu, warga cenderung tertutup melakukan aktivitas "eksploitasi". Alasannya, mereka takut jika kegiatan itu dianggap ilegal. Sebagian takut risiko kebakaran bila bersentuhan dengan gas.

Gampangnya penduduk Nguken "mengeksploitasi" gas lantaran perut bumi kampung mereka memang daerah yang kaya minyak dan gas. Camat Padangan, Gunadi, mengatakan area Nguken pernah dieksploitasi oleh perusahaan migas kolonial Belanda. Salah satu bekasnya adalah pipa gas di dekat rumah Kepala Desa Nguken itu. Lahan seluas satu hektare di desa itu dimiliki Pertamina, meski belum dimanfaatkan.

Desa Nguken berjarak 1,5 kilometer dari sumur gas Lapangan Cendono. Lapangan Cendono dikelola PT Humpuss Patra Gas sejak 1998 dan kini akan diunitisasi dengan gas dari Lapangan Jambaran dan Tiung Biru. Keduanya berada di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro. Data dari Pertamina EP Cepu menyebutkan potensi gas dari unitisasi Lapangan Jambaran-Tiung Biru dan Cendono sangat besar, mencapai 1,7 triliun kaki kubik.

Lapangan ini segera dikelola oleh Mobil Cepu Ltd bersama Pertamina EP Cepu. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menargetkan paling cepat Jambaran-Tiung Biru-Cendono akan menghasilkan gas mulai 2017 dengan kapasitas produksi 180 juta kaki kubik per hari dengan masa puncak produksi 15 tahun. "Kandungan gasnya memang sangat besar," kata juru bicara Pertamina Eksplorasi dan Produksi, Agus Amperianto, Rabu pekan lalu. Gas dari Lapangan Tiung Biru-Jambaran akan digunakan untuk PT Petrokimia Gresik dan PLN.

Sebenarnya fenomena gas dan percikan api tidak hanya ada di Desa Nguken, Kecamatan Padangan. Di beberapa tempat di Kabupaten Bojonegoro juga terdapat pemandangan yang sama. Misalnya tempat dengan nama Khayangan Api atau kerap disebut Api Abadi di Desa Sendanghardjo, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro. Di lokasi pariwisata ini menyala api dan semburan gas beraroma belerang.

Pemerintah Kabupaten Bojonegoro tahun ini mencanangkan slogan Bojonegoro Lumbung Pangan dan Energi. Bupati Bojonegoro Suyoto menyebutkan energi gas dan bumi akan cepat habis jika dieksploitasi terus-menerus. Perlu ada perimbangan untuk peningkatan pendapatan daerah, di antaranya dengan mengoptimalkan lahan pertanian, terutama di sekitar Sungai Bengawan Solo. "Kami mesti memadukan program itu," ucap Suyoto.

Sebenarnya Pemerintah Kabupaten Bojonegoro pernah akan menata ulang sumur-sumur minyak dan gas bumi yang selama ini dikelola secara tradisional. Wacana itu disampaikan Dinas Pertambangan dan Energi Bojonegoro pada 2008, tapi tak ada realisasi hingga sekarang. Menurut catatan pemerintah, sedikitnya di empat kecamatan, yaitu Padangan, Kedewan, Ngasem, dan Malo, terdapat lebih dari 225 sumur minyak dan gas yang dikelola partikelir oleh warga.

Fenomena sumur air memuncratkan emas hitam juga banyak terjadi di Kabupaten Tuban. Di banyak titik di kabupaten ini, sejak puluhan tahun lalu, warga Tuban mengebor minyak secara tradisional. Dinas Pertambangan dan Energi Tuban mencatat ada 50-an lebih sumur minyak tradisional beroperasi. Lokasinya tersebar di Desa Gegunung, Kecamatan Singgahan; Desa Tawun, Desa Bate, dan Desa Sidotentrem, Kecamatan Bangi­lan; serta di Desa Wonosari, Kecamatan Senori, berbatasan dengan Bojonegoro dan Blora.

Sayangnya, seperti dituturkan Kepala Dinas Pertambangan Tuban Herry Prasetyo, sumur-sumur tradisional itu digarap secara ilegal. Sumur minyak di desa-desa itu digarap tanpa menggunakan konsep jelas. Tak ada bagi hasil untuk pemerintah daerah. Berbeda bila menggunakan aturan kontraktor kontrak kerja sama. "Jadi masih banyak yang ilegal," ujarnya tiga pekan lalu.

Agussup, Sujatmiko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus