Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gedung Komisi Pemilihan Umum di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, terlihat berbenah pekan lalu. Beberapa bagian bangunan tampak sedang direnovasi. Bangunan kukuh yang biasanya tak pernah sepi dari kerumunan wartawan itu seperti bersiap menyambut sesuatu.
Sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggara Pemilihan Umum memang sedang digodok di DPR. Sebuah perangkat hukum yang akan khusus mengatur para ”penghuni” gedung KPU itu. Rencananya, akhir tahun ini undang-undang tersebut sudah tuntas dibahas dan siap diundangkan.
Kabar itu pula yang membuat sekitar 300 pegawai negeri di KPU, yang bernaung di bawah Departemen Dalam Negeri, jantungnya dag-dig-dug. Undang-undang itu nantinya diharapkan mampu mengubah nasib mereka di KPU.
Menurut seorang pegawai yang tidak mau disebut namanya, selama ini para karyawan sering kesal dengan mutasi pegawai yang dilakukan departemen induk mereka. Keputusan pemindahan itu tanpa melalui restu anggota KPU, bos para pegawai itu sendiri. ”Tahu-tahu ada orang luar menjadi kepala bagian,” kata sumber itu, Kamis pekan lalu.
Kekesalan lain adalah soal gaji pegawai yang sering dicukur untuk keperluan iuran Korpri dan uang koperasi Departemen Dalam Negeri. ”Kami tidak pernah bisa memanfaatkan potongan tiap bulan itu,” kata salah satu pegawai KPU.
Kekecewaan itu menggunung. Sempat pula terlontar ide mereka untuk melakukan referendum soal status itu. Sebagian menginginkan sistem kepegawaian mereka terpisah dari departemen. Pendapat lain, mereka ingin dikembalikan sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Dalam Negeri.
Ketidakpastian itulah yang kini sedang dibahas wakil rakyat. Dalam pasal 15 ayat 3 RUU tentang KPU, dijelaskan bahwa kesekretariatan KPU mandiri, tak lagi di bawah departemen. Status itu mirip kesekretariatan lembaga negara seperti DPR.
RUU tersebut, tentu saja, tidak hanya membahas soal pegawai KPU. Menurut Ketua Komisi Pemerintahan Dalam Negeri DPR, Ferry Mursyidan Baldan, undang-undang itu dirancang untuk memperbaiki wajah penyelenggaraan pemilihan umum yang didera berbagai skandal.
Termasuk di dalamnya adalah skandal korupsi sebagian anggota dan pegawai Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan mengurangi sengketa terkait dengan pemilu di pusat sampai ke pelosok. Perangkat hukum itu dimaksudkan untuk mengeliminasi terjadinya kasus-kasus yang memalukan itu.
Menurut Ferry, penyelewengan terjadi karena tak ada penegasan wewenang dan tanggung jawab yang jelas bagi anggota Komisi. Seharusnya, anggota Komisi hanya mengurusi masalah kebijakan dan koordinasi pemilu saja. ”Bukan teknis seperti pengadaan logistik pemilu,” kata anggota Fraksi Partai Golkar itu. Aturan itu kini dicantumkan dalam rancangan undang-undang.
RUU tersebut juga memuat pembentukan Badan Pengawas Pemilu, yang posisinya sederajat dengan anggota KPU. Pasal ini akan membuat anggota Komisi tidak seperkasa dulu. Anggota Badan Pengawas dipilih dan ditetapkan sebagaimana anggota Komisi. Badan itu juga berhak merekomendasikan pemberhentian sementara anggota Komisi.
Pada masa lalu, pengawasan pemilihan umum diletakkan di pundak Panitia Pengawasan Pemilihan Umum, yang tidak lain adalah subordinat KPU. Karena itu, kemampuan panitia pengawas bak macan ompong.
Rencana ”mulia” anggota Dewan untuk segera melahirkan sebuah undang-undang tentang KPU itu ditanggapi secara beragam. Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, misalnya, mengaku pesimistis anggota DPR mampu menyelesaikan undang-undang tersebut akhir tahun ini. Pasalnya, saat ini pemerintah dan DPR masih disibukkan urusan pembahasan RUU tentang Nanggroe Aceh Darussalam dan pemilihan kepala daerah di Irian Jaya Barat.
Persoalan lain yang menghadang adalah, proses pemilihan anggota KPU 2006-2011 harus dimulai awal tahun depan. Bila anggota Dewan gagal menyelesaikan undang-undang itu, anggota periode berikutnya akan ditetapkan dan dipilih berdasarkan undang-undang yang lama.
Menurut Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri, Soedarsono Hardjosoekarto, masalah mendasar dalam pelaksanaan pemilu adalah sistem yang belum bagus. ”Itu sebabnya ada celah untuk melakukan korupsi,” kata dia.
Pemerintah sendiri, kata Soedarsono, juga menyiapkan draf undang-undang yang sama. Rancangan ini disusun berdasarkan masukan dari KPU di pusat dan daerah, Panitia Pengawas Pemilu, pemerintah daerah, dan internal Departemen Dalam Negeri. ”Kami sudah membuat evaluasi, kemudian menyusun poin-poin naskah akademik,” kata Soedarsono. Dan naskah tersebut akan dibawa dalam pembahasan RUU itu di Senayan.
Deddy Sinaga, Muhammad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo