Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak Mau Jauh dari Kekuasaan

Patai Golkar memutuskan kembali menjadi partai pendukung pemerintah. Ide koalisi permanen tak laku.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Acara Sabtu pagi pekan lalu di hotel berbintang kawasan Kuningan, Jakarta, mirip konferensi tingkat menteri se-Asean. Lihatlah, para tamu dengan pantalon resmi berbaris memasuki ruangan, yang di kanan-kirinya berderet warna-warni bendera dari 15 negara mitra ASEAN.

Tak hanya itu, dengan pengamanan sangat ketat, di setiap lorong menuju ruang pertemuan terpasang pendeteksi metal. Mereka yang wira-wiri diperiksa.

Di depan podium, Jusuf Kalla selalu mengumbar senyum. Dia sibuk melayani tetamu. Para pemimpin partai politik pemenang pemilu di 15 negara Asean dan negara mitra Asean itu sengaja diundang menghadiri ulang tahun Partai Golkar, yang tahun ini genap ke-41.

Beberapa partai yang hadir antara lain UMNO (Malaysia), Partai Komunis (Cina), Liberal Democratic Party (Jepang), juga People Action Party (Singapura). Dan inilah acara penutup perayaan ulang tahun Partai Golkar dengan biaya Rp 20 miliar. ”Sah sudah Golkar menjadi ruling party,” kata Syamsul Muarif, Ketua DPP Partai Golkar.

Maklum, sehari sebelumnya, rapat pimpinan partai ini memutuskan mereposisi dirinya menjadi partai pendukung pemerintah. Menurut Ketua DPP Burhanuddin Napitupulu, keputusan reposisi itu tak bisa dielakkan lagi, mengingat posisi bos Golkar sekarang ini adalah wakil presiden. ”Jadi, tak mungkin lagi bersikap abu-abu,” katanya.

Sebelumnya, dalam musyawarah nasional di Bali, Desember tahun lalu, yang mengukuhkan Jusuf Kalla sebagai ketua umum Partai, Golkar menyebut dirinya sebagai partai penyeimbang pemerintah. Keputusan itu diambil ketika Golkar masih dipimpin Akbar Tandjung. Namun, dalam prakteknya, sikap kritis dan menjadi penyeimbang lebih mengarahkan Golkar bersikap oposisi. ”Dan itu tak mungkin. Bos kami itu sekarang wakil presiden,” ujarnya.

Namun agaknya tekad Partai menyokong pemerintah itu tak bulat benar. Tak semua daerah sepakat dengan kebijakan itu. Dalam rapat tertutup yang membahas pemandangan umum 32 provinsi, setidaknya 7 daerah menolak menyokong opsi ini, karena tak ada kejelasan soal komitmen pemerintah terhadap Partai.

Ketua Golkar DIY, Gandung Pardiman, mengatakan jika partai ini menyokong pemerintah, seharusnya ada komitmen, Golkar berperan optimal mengendalikan pemerintah. Jika tidak, hanya akan menjadi bumper. ”Tak ada makan siang yang gratis,” kata salah satu petinggi Partai, menyitir pepatah.

Jawa Tengah pun bersikap serupa. Bambang Sadono, Ketua Golkar Jawa Tengah, meminta kejelasan perihal format peran Partai penyokong pemerintah. Suara lebih jelas datang dari Sulawesi Selatan, yang meminta tambahan kursi kabinet bagi kader Golkar di pemerintahan.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Priyo Budi Santosa, mengakui ada usul dari daerah agar Partai meminta kursi di kabinet sebagai kompensasi atas pilihan reposisi Partai Golkar. Namun sikap akhir Partai tak akan membicarakan masalah reshuffle. ”Itu fatsun politik kami,” kata Priyo.

Urungnya membicarakan urusan reshuffle ini memang permintaan Jusuf Kalla. Awalnya, kata sumber Tempo, kalkulasi politik kursi di kabinet dan reposisi menjadi satu paket dalam dokumen pernyataan sikap akhir Partai yang dibacakan dalam penutupan rapat. Tapi Kalla minta soal reshuffle dicoret saja. ”Itu hak prerogatif presiden,” kata sumber itu menirukan Kalla.

Tak dibahasnya jatah kursi Partai Golkar di kabinet menjadi satu penyebab mengapa akhirnya rapat ini memutuskan sikap Golkar menjadi partai penyokong pemerintah. Padahal awalnya Golkar ngebet menawarkan koalisi permanen kepada sejumlah partai penyokong pemerintahan SBY-Kalla. Format koalisi ini dianggap jalan aman bagi pemerintahan SBY-JK dalam empat tahun mendatang.

Selain koalisi permanen, skenario yang ditawarkan dalam rapat pimpinan ini adalah menjadi partai penyokong atau mitra politik pemerintah yang kritis, obyektif, dan proporsional. Dalam skenario kedua ini juga dijalin koalisi dengan partai lain. ”Tapi akan dievaluasi per tahun,” kata politisi itu.

Rupanya, ide koalisi permanen bukan saja tak laku dijual ke sejumlah partai yang sejak awal menyokong SBY-JK. Tapi juga ke daerah. ”Karena peta politik daerah tak sama,” kata Agung Laksono, Wakil Ketua Umum.

Widiarsi Agustina, Yophiandi Kurniawan, Sunariah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus