Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Soekarno, dari Sudut Pandang yang Lain

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

4 Agustus 1965. Presiden Soekarno secara khusus memanggil Komandan Resimen Cakrabirawa—pasukan pengawal presiden—Brigadir Jenderal Sabur dan Komandan Batalion Letnan Kolonel Untung Samsuri ke Istana Negara. Saking khususnya pertemuan, pembicaraan dilakukan di kamar tidur sang Presiden.

Ketika itu Bung Karno bertanya kepada tamunya, apakah mereka bersedia menerima perintah yang akan mencakup tindakan terhadap para jenderal yang tidak loyal. Untung langsung menyatakan kesediaannya, ”Jika Bapak membiarkan kita menindak terhadap para jenderal, saya akan melaksanakan perintah apa pun dari Pemimpin Besar.”

Dialog antara Soekarno, Untung, dan Sabur menjadi penting, setidaknya buat mengurai peristiwa Gerakan 30 September 1965. Terutama peran Soekarno dalam peristiwa berdarah, pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama TNI. Demikian tulis Antonie C.A. Dake dalam bukunya Soekarno File, Kronologi Suatu Keruntuhan, terbitan Aksara Karunia, 2005.

Buku yang diluncurkan pekan silam ini memang langsung menyeret perhatian publik. Karena dari puluhan buku soal G30S, buku Dake sedikit berbeda. Inilah buku yang secara tegas menuding Soekarno sebagai pihak yang bukan hanya mengetahui, tapi dalang atas aksi pembuhanan tersebut.

Hampir seluruh data yang dipakai meracik buku Dake ini adalah kumpulan berita acara pemeriksaan tim pemeriksa pusat Kopkamtib terhadap Kolonel KKO Bambang S. Widjanarko—bekas ajudan Presiden Soekarno pada 1970. Di samping itu, ada pula metode wawancara sejumlah narasumber terkait.

Sebenarnya, kumpulan berkas pemeriksaan ini sudah pernah ia bukukan. Tertuang dalam buku The Devious Dalang Soekarno and the Socalled Untung Putsch (1974). Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko. Senada dengan buku terbarunya, buku ini juga memberikan tafsiran keterlibatan Soekarno.

Lahir di Amsterdam, Belanda, Dake adalah sarjana hukum lulusan Universitas Amsterdam pada 1951, kemudian meraih master dari Fletcher School of Law and Diplomacy di Massachusetts, Amerika Serikat, pada 1955. Lewat disertasinya, yang juga dibukukan berjudul In The Spirit of The Red Banteng: Indonesian Communism between Moscow and Peking, Dake meraih doktor dengan predikat cum laude pada 1973.

Dalam buku terbarunya ini, Dake menunjukkan sejumlah argumen—juga berdasarkan berkas Widjanarko—yang memperlihatkan keterlibatan Soekarno. Misalnya saat dia menerima surat dari Untung sehari menjelang peristiwa G30S. Ini ditafsirkan sebagai ”laporan” bahwa G30S siap bergerak.

Atau sehari setelah tragedi, saat Bung Karno bertemu dengan Brigadir Jenderal Suparjo—Pelaksana utama G30S—bekas Panglima Komando Tempur II/Kolega, Soekarno terlihat puas (tevreden). Sambil menepuk bahu Suparjo, ia berkata ”Je hebt goed gedaan (Anda lakukan dengan baik). Kenapa Nasution lolos?”

Selain menuding Soekarno sebagai dalang, dalam bukunya ini Dake sekaligus membersihkan nama Soeharto dari cipratan darah G30S. Padahal kala itu Mayor Jenderal Soeharto adalah salah satu pucuk pimpinan TNI AD—Panglima Kostrad—dan sejumlah tokoh sentralnya pernah menjadi anak buah Soeharto. Sebut saja Sjam Kamaruzzaman, yang bekas anak buah dan kawan Soeharto di kelompok Pathok, Yogyakarta, pada masa perang.

Begitu juga Komandan Brigif I/Jayasakti Kolenel Latif serta Letkol Untung. Keduanya anak buah Soeharto pada masa perang kemerdekaan. Bahkan Soeharto hadir di pernikahan Untung.

Sementara itu, dua hari sebelum G30S, Latief dan istrinya berkunjung ke rumah Soeharto dan dilanjutkan pada 30 September malam. Kala itu Latief menemui Soeharto di RSPAD saat ia menunggui Tommy, anak bungsunya yang dirawat karena tersiram sup panas. Bahkan ia sempat melapor ke Soeharto bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965, G30S akan melancarkan operasi.

Tapi, Dake menulis, laporan Latief tidak pernah konsisten dan tanpa bukti jelas. Semua orang bisa melihat kalau Latief benar-benar mempunyai bukti keterlibatan Soeharto, maka pada awal kekuasaannya Soeharto mudah melenyapkan Latief.

Soal keterlibatan Central Intelligence Agency (CIA), Dake juga menepis. Menurut dia, tidak mungkin CIA terlibat lantaran pada saat yang sama Kedutaan Besar AS di Jakarta akan disusutkan. Tidak mungkin mereka mempunyai tugas besar jika organisasinya susut.

Hal ini berbeda dengan peneliti Peter Dale Scott dari Universitas California, Barkeley, Amerika Serikat. Dalam monogramnya, The United States and the Overthrow of Soekarno 1965-1967 yang dimuat di Pacific Affairs (1985), ia justru menguraikan peran CIA dalam menggerakkan TNI AD, termasuk keterlibatan Soeharto.

Hingga kini silang teori seputar peristiwa ini memang terus bergulir. Tapi setidaknya, buku Dake ini memberikan peluang untuk melihat sejarah dari sudut pandang yang berbeda.

Cahyo Junaedy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus