Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok penyandang disabilitas sensorik rungu meminta pemerintah kembali memperhatikan penggunaan bahasa isyarat dalam acara resmi kenegaraan. Pemerintah masih menggunakan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia atau SIBI ketimbang Bahasa Isyarat Indonesia atau Bisindo. Salah satunya penerjemahan bahasa isyarat dalam upacara HUT RI ke-75 di Istana Negara secara virtual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Insan tuli menyampaikan permintaan penggunaan Bisindo secara formal oleh pemerintah. Musababnya, Bisindo memiliki akar kata yang berasal dari Bahasa Indonesia. Sedangkan SIBI atau yang biasa digunakan dalam situasi formal sebelum Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau UNCRPD diratifikasi pada 2008, berasal dari bahasa isyarat Amerika atau American Sign Language.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat atau PLJB, Juniati Effendi mengatakan Bisindo adalah bahasa isyarat yang selalu dipakai oleh komunitas disabilitas sensorik rungu atau tuli ketika mereka melakukan kegiatan terkait pendidikan, bahkan saat berkegiatan di luar negeri. "Kami berharap pemerintah segera menggunakan bahasa isyarat yang berasal dari Bahasa Indonesia, bukan bahasa isyarat Amerika," ujar Juniati Effendi kepada Tempo.
Permintaan agar pemerintah menerapkan Bisindo, menruut dia, sudah disampaikan komunitas penyandang disabilitas sensorik rungu atau tuli sejak tahun 1975. Permintaan ini terus disuarakan karena dengan menggunakan Bisindo, maka insan tuli dapat lebih mudah berkomunikasi, terutama dalam menyampaikan aspirasi mereka kepada non-difabel tuli dan rungu.
Bisindo berasal dari bahasa ibu, yaitu Bahasa Indonesia yang dipakai sehari-hari. Dalam Bisindo, satu gerakan dapat mewakili kata yang juga banyak diketahui kalangan non-difabel rungu. Sementara SIBI memiliki gerakan isyarat berdasarkan tata bahasa orang mendengar. Tata bahasa dalam gerakan SIBI dapat menimbulkan multitafsir dan tidak menggambarkan ekspresi universal dari apa yang ingin disampaikan insan tuli.
Koordinator Juru Bahasa Isyarat dari Indonesian Sign Language Interpreters atau INASLI, Frans Soesanto mengatakan susunan subjek predikat objek dan keterangan dalam tata bahasa penyandang disabilitas sensorik rungu atau tuli berbeda dengan SPOK di dunia mendengar. "Bila mengikuti kaidah tata bahasa orang mendengar dilambangkan ke bahasa isyarat, jadi terlihat agak rancu," ujar Frans Soesanto yang dapat menggunakan dan memahami bahasa isyarat SIBI maupun Bisindo.
Frans Soesanto mencontohkan kata 'menganggur'. Dalam bahasa isyarat Bisindo, kata menganggur digrambarkan dengan gerakan kedua tangan menopang dagu, seperti orang yang sedang melamun. Sementara dalam bahasa isyarat SIBI, kata 'menganggur' digambarkan dengan gerakan membuat huruf me- (huruf m dan huruf e) kemudian diikuti bentuk isyarat 'anggur' (buah anggur).
Hingga kini, pemerintah masih menerapkan bahasa isyarat SIBI dalam kondisi formal, misalkan di sekolah luar biasa dan acara kenegaaraan. "Cara penyampaiannya SIBI memang terlihat lebih teratur dan terkesan formal, tapi tidak mengekspresikan hal terdekat dari apa yang dirasakan teman tungu atau tuli," kata Frans.
Peneliti Bahasa Isyarat dari Laboratorium Riset Bahasa Isyarat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Adi Kusumo Baroto, mengatakan Bisindo merupakan bahasa yang berkembang secara alami di kelompok masyarakat tuli Indonesia. "Sedangkan SIBI adalah tata cara mempresentasikan bahasa lisan Indonesia ke dalam gerakan tertentu," ujar Adi beberapa waktu lalu.
Adi menjelaskan, SIBI bukanlah bahasa alami yang berkembang di kelompok masyarakat tuli, melainkan sebuah sistem atau cara untuk merepresentasikan tata bahasa lisan Indonesia ke dalam bahasa isyarat. SIBI memiliki struktur yang sama dengan tata bahasa lisan Indonesia. "Seperti adanya penggunaan awalan dan akhiran," ujar Adi.
Adapun Bisindo sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Sayangnya, saat itu literatur, penelitian dan kajian mengenai Bisindo masih sangat minim. Referensi yang sangat minim ini membuat Bisindo tidak populer di masyarakat luas termasuk pemerintah. "Bisindo dianggap sebagai bahasa primitif," ujar Adi.
Lantaran keberadaan Bisindo yang tidak muncul ke permukaan, pemerintah membuat sistem bahasa isyarat sendiri yang disebut SIBI dan mengesahkan penggunaannya di sekolah luar biasa maupun lembaga pada 1994. Pembuatan SIBI saat itu belum melibatkan kelompok masyarakat tuli, sehingga kurang dapat diterima luas oleh kelompok ini. "Banyak kosa kata yang kontennya mengadopsi bahasa isyarat Amerika,” ujar Adi.
Hingga kini, penggunaan bahasa isyarat di kelompok masyarakat tuli dan difabel rungu masih terpecah. Musababnya, pemerintah masih mewajibkan penggunaan SIBI sebagai bahasa pengantar resmi di SLB, sedangkan bahasa isyarat Bisindo lebih mempresentasikan maksud masyarakat tuli, namun belum diterapkan di sekolah.