MASSA tiba-tiba menghujani kantor Kelurahan Sukaramai II, Medan, dengan batu. Sasaran amukan sekitar 200 orang itu, Selasa malam, 14 November lalu, kemudian merembet ke bagian dalam kantor, setelah empat hansip yang piket tak berkutik. Dengan beringas mereka menghancurkan barang yang ditemui seperti meja-kursi, televisi, dan mobil Kijan patroli di halaman. Arsip dan dokumen, yang penting atau tak penting, dibakar. Untung, aksi mengamuk itu segera didinginkan beberapa jam kemudian, setelah petugas keamanan turun. Mengapa penduduk berang? Mereka, penghuni barak C di Jalan Kapten Jumhana Gang III, Medan, semula hanya ingin menjumpai Syarifuddin Pohan, Lurah Sukaramai II. Maksud pertama, mereka minta agar penggusuran di lokasi barak C -- seluas 19 hektar -- ditangguhkan dulu. Selain itu, "Kami mau minta surat pindah," kata Akim, salah seorang penghuni barak C. "Tapi batang hidung lurah tak pernah kelihatan." Penggusuran sendiri terjadi Senin siang sebelum insiden. Traktor Pemda Medan memporak-porandakan 22 barak yang dihuni 670 kk. Gara-gara penggusuran itu, para penghuninya -- sebagian bermata sipit -- marah besar. Amarah massa itu dinilai beberapa orang yang dekat kantor kelurahan Sukaramai II sebagai hal tak masuk akal. Karena, menurut rencana, di atas lokasi barak C yang dihuni penduduk yang mengamuk itu akan dibangun rumah susun Perum Perumnas. Lagi pula, konon, penghuni sah lokasi itu, pada 1981, sudah mendapat ganti rugi. Tiap keluarga ketika itu rata-rata menerima Rp 700-900 ribu. Tiap meter dihargai Rp 7.500. Namun, sebenarnya para penghuni juga bukannya mau ngotot menempati barak C itu. Mereka hanya minta diberi waktu setahun dua tahun lagi. Soalnya, "Saya kerja serabutan, dengan anak tiga dan seorang istri. Dari mana saya dapat biaya untuk bisa cepat-cepat pindah," kata seorang penduduk. Para penghuni juga sadar bahwa barak itu cuma tempat penampungan sementara. Rumah mereka pernah musnah dilalap si jago merah pada 1979. Sementara itu, di atas tanah milik mereka yang terbakar telah dibangun rumah susun oleh Perum Perumnas 4 tahun silam. Sekitar 70% korban musibah memang bisa tertampung di rumah susun itu. Sisanya, dan beberapa penduduk yang lain, menempati barak C yang akan segera dibangun rumah susun. Ketika penggusuran di barak A dan B memang tak ada gejolak. Agaknya, kali ini ada kekhawatiran bahwa mereka akan kehilangan tempat berteduh untuk selama-lamanya. Penghuni barak C itu merasa tak bakal mampu menempati rumah susun dengan uang muka sekitar Rp 5 juta dan cicilan tiap bulan Rp 100 ribu lebih. "Dari mana saya peroleh uang yang ratusan ribu itu?" kata Akim, yang seperti penghuni lain, hanya hidup dari kerja serabutan. Camat Medan Kota yang membawahkan Kelurahan Sukaramai II, Drs. Afifuddin, merasa aneh melihat kerusuhan akibat penggusuran itu. Sebab, kebanyakan penghuni barak C sudah menerima ganti ruginya. "Tinggal 2 kk lagi yang belum mau menerimanya," katanya. Dalam catatannya, sebagian besar penghuni barak C justru bukan korban kebakaran 1979. Akibat kerusuhan itu, menurut Kadispen Polda Sum-Ut, Letkol. Yusuf Umar, 4 orang yang diduga pelaku sudah dimintai keterangan. Tapi tak seorang pun yang mengaku terlibat dalam peristiwa perusakan kantor kalurahan itu. Kini barak C sudah rata dengan tanah. Beberapa penduduk masih mengais-ngais puing rumah mereka. Sebagian menumpang di emperan rumah tetangga desa, dan sebagian lagi berteduh di bawah tangga rumah susun di dekatnya. Suhardjo Hs., Affan Bey Hutasuhut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini