SEBAGAI dosen, Abdurrahman Wahid bukan saja sangat demokratis, tapi bingung menghadapi absen. Ketika usai kuliah dengannya, mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta menyodorkan absen, ia terperangah. "Apa ini?" ia bertanya. Mahasiswa itu menjawab, "Ini daftar hadir dosen." Dan ia menolak untuk menandatanganinya. Suatu hari, ia menyerahkan sebuah artikel Reuvane Kahane kepada mahasiswa. Isinya tentang teori Islamisasi di Indonesia. Wahid meminta saya menguraikannya di depan kelas. Sikapnya yang semacam itu bukan saja baru di Jurusan Sejarah pada waktu itu, tetapi juga diikuti oleh hal lain: ia tertidur ketika saya baru memasuki bagian tengah dari pembahasan artikel itu. Wahid, Ketua Umum Tanfidziah NU, yang masa jabatannya akan berakhir di akhir November ini, memang seorang yang "longgar". Ia bukan saja tidak menyukai protokoler dan hal-hal yang bersifat resmi lainnya, tetapi juga baru bersepatu ketika menyambut kedatangan Presiden serta menteri-menterinya untuk membuka Muktamar NU pada 1984 lalu. Sebelumnya, sepatu sandal hampir tak pernah lepas dari kakinya. Tapi, tentu saja, "kelonggaran" sifat Wahid itu tidaklah hanya terbatas pada hal-hal protokoler, melainkan juga melingkupi segi-segi konseptual dan intelektualnya. Latar belakang kosmopolit, kendati ia bersekolah di Baghdad, Irak, telah meletakkan dasar-dasar kelonggaran watak berpikirnya, bukan saja dalam hal-hal nonagama, tetapi juga dalam bidang keagamaan. Andai kata Wahid tak lahir di Indonesia atau di negara-negara mayoritas beragama Islam, kelonggaran cara pikirnya itu pastilah mengantarkannya kepada sifat-sifat Ivan Illich atau Paulo Freire: para agamawan yang tak mau begitu saja terjebak ke dalam postulat-postulat agama di dalam berpikir. Dan Wahid, dalam batas-batas tertentu, adalah agamawan dan pemikir yang paling liberal di Indonesia, yang, menurut saya, belum tertandingi oleh Nurcholish Madjid sekalipun. Dari perspektif inilah mungkin kita bisa lebih mendekati dan di atas itu, memahami tindak-tanduk Wahid. Dengan keberaniannya yang agak luar biasa, ia menilai Hamka sebagai bukan ulama yang "sempurna". Di matanya, tentu saja, Hamka menguasai ilmu fikih. Tapi, hampir tak seorang pun ahli fikih -- yang dimaksud, pasti dari kalangan pesantren -- datang kepadanya untuk mendiskusikan ilmu "tata aturan" keislaman itu. Hamka, juga di matanya, tidak pula terlalu berhasil sebagai juru sastra. Sastranya bersifat lokal, dan gagal merangkum tema-tema kemanusiaan yang universal. Suatu penilaian yang membangkitkan rasa kejengkelan di kalangan banyak orang. Toh Wahid tidak berhenti hanya di situ. Ia pulalah pencetus pertama pribumisasi Islam. "Ledakan-ledakan" peristiwa keislaman dan politik di Indonesia, beberapa saat yang lalu, memberikan inspirasi "jalan tengah" baginya untuk mengemukakan "perdamaian ideologis" -- walau belum tentu "perdamaian teologis" untuk masyarakat Indonesia yang beraneka ragam. Islam, ia berucap di Prisma, janganlah dihayati sebagai ideologi alternatif. Ia haruslah dilihat sebagai hanya salah satu elemen ideologis yang melengkapi bangunan keindonesiaan yang telah terbentuk. Konflik-konflik "Islam-Pemerintah" yang terjadi belakangan ini, menurut dia, akan terus terjadi karena penekanan sebagian kecil kalangan (yang disebutnya kelompok sempalan Islam), bahwa Islam adalah alternatif ideologis bagi masyarakat Indonesia. Antara lain, dalam konteks "perdamaian ideologis" itu pulalah gagasan mempribumisasikan Islam ia tegakkan. Percikan-percikan pemikirannya pastilah dinilai kontroversial. Bayangkan, bagaimana bisa ia mencetuskan gagasan untuk menambah asas keadilan sosial pada hukum Islam serta menyatakan kemungkinan ucapan selamat pagi, siang, atau malam menggantikan ucapan assalamualaikum? Suatu ide yang tidak bisa lagi disebutkan aneh, ujar seorang dosen senior Universitas al-Asy'ari Jombang -- sebuah perguruan tinggi agama yang justru berada di bawah kontrol pesantren Tebuireng, tempat Wahid dilahirkan dan dibesarkan. Maka, Wahid mungkin merupakan "orang asing" di tengah-tengah jamaah NU yang justru dipimpinnya. Jamaah ini, bukan saja -- sebagian besarnya -- berasal dari kalangan petani, tetapi juga telah terbiasa "terkungkung" dalam budaya keagamaan petani. Terikat juga dengan ucapan Saidina Ali, bahwa ia merupakan hamba dari orang yang mengajarnya, walau hanya satu kata -- seperti tertera dalam kitab Ta'lim al Muta'allim, salah satu kitab pegangan pokok warga NU -- lewat budaya kepetaniannya, mereka lebih menekankan kolektivisme dalam beragama. Dalam kolektivitas semacam ini, mereka tidak hanya dituntut tunduk secara mutlak kepada guru, tetapi juga terlarang mengembangkan nalar keagamaan yang bersifat "individualis". Dalam beberapa hal -- walau telah terdapat tanda-tanda pencairannya -- pola pemikiran keagamaan NU terstrukturkan oleh pola perkauman pedesaan. Maka, sang kiai yang duduk di puncak perkauman itu bukan saja berfungsi sebagai leadingfigure, tetapi juga seorang kepala desa: filter terakhir yang menyeleksi arus gagasan ke dalam dan ke luar. Dan mereka yang berada di bawah kontrol sang kiai, terutama dalam hal pemikiran keagamaan, bukanlah pribadi-pribadi yang otonom. Mereka harus mengacukan pandangannya kepada tingkah laku dan format pemikiran sang kiai. Dan sang kiai ini akan merangkaikan pikirannya kepada kiai yang lebih besar, dan begitulah seterusnya. Suatu bentuk keagamaan terpimpin, tempat keharmonisan hubungan ingin tetap dipertahankan, sementara deviasi individual dielakkan. Dalam format kolektivitas semacam inilah sosok Wahid menjadi aneh di mata mereka. Kehadirannya dalam Kongres PGI di Surabaya menimbulkan teka-teki yang tak pernah terjawab. Sementara mereka merasa terikat dalam kolektivisme, Wahid terbang sendiri. Dan, dengan ringan, hinggap di dahan-dahan atau pucuk-pucuk pohon mana pun. Padahal, pohon itu bukan pohon yang mereka kenal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini