Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Idham Chalid Turun Gunung

Idham Chalid, 68, calon kuat menggantikan rais Am KH Achmad Siddiq dalam muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta. Ia dikenal politikus berpengalaman. pernah diprotes warga nu, ketika nu terlempar dari ppp.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAK pendekar yang sudah lama bertapa, tiba-tiba ia sekarang turun gunung. Maka, dunia persilatan pun ramai bukan kepalang. Begitulah ketika nama ldham Chalid mendadak muncul dan disebut-sebut sebagai salah satu calon kuat menggantikan Rais Am K.H. Achmad Siddiq dalam Muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta, 25-28 November ini. Idham, 68 tahun, memang sudah lama hilang dari peredaran. Sejak Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, 1984, yang memutuskan NU keluar dari gelanggang politik, tokoh NU paling piawai dalam percaturan politik itu seakan dilupakan orang. Baru dua bulan menjelang Muktamar, akhir September lalu, namanya kembali terdengar. Mula-mula, ia tampil dalam perayaan peringatan Maulid dan khitanan masal di pesantrennya di Cipete, Jakarta Selatan. Dalam acara itu hadir Menteri Agama Munawir Sjadzali, Menteri Penerangan Harmoko, dan Ketua DPD Golkar Jakarta Basofi Sudirman. Lantas, Sabtu dua pekan lampau, Idham diterima Wakil Presiden Sudharmono. Ia berhasil mengundang Sudharmono membuka Muktamar Jamiyah Ahli Tariqat Mu'tabarat, perkumpulan tarekat NU, di Mranggen, Demak, Rabu pekan ini. Memang di berbagai koran terbitan minggu lalu bisa dibaca pernyataan Idham yang menegaskan ketidaksediaannya dicalonkan sebagai Rais Am NU dalam Muktamar mendatang. "Kesehatan saya tak memungkinkan untuk menerima jabatan itu," katanya. Dalam usia sekarang, ditambah kondisi fisik yang mulai rapuh, apa yang disebutkan Idham cukup beralasan. Tapi banyak orang tetap meragukan pernyataan tersebut, terutama mereka yang mengenal politikus kawakan ini. Kenapa? Penolakan seperti itu sesuatu yang biasa dalam tradisi NU, sehingga sulit ditafsirkan bahwa Idham sungguh-sungguh menampik untuk dicalonkan. Malah kalau ada tokoh yang mencalonkan diri secara terbuka menjelang Muktamar bahkan dianggap melanggar etika muruah yang sampai sekarang masih mentradisi dalam organisasi Islam terbesar ini. Lihat saja kasus gagalnya K.H. Anwar Musaddat sebagai rais am dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Kaliurang. Sejumlah tokoh NU berkumpul di kubu Idham, karena ia dikenal sebagai politikus berpengalaman. Itu pula, antara lain, yang menyebabkannya bisa menjadi orang paling lama berada di tampuk kepemimpinan NU. Ia menjadi Ketua Umum NU selama 28 tahun, sejak Muktamar di Medan, 1956, dan baru tergusur dalam Muktamar di Situbondo, lima tahun lalu. Sungguh sebuah prestasi yang mengagumkan untuk seorang non-Jawa (Idham asal Kalimantan Selatan), bukan pemilik pesantren besar sebagaimana tokoh NU yang digantikannya, Almarhum K.H. Wahid Hasjim, dan mendapat pendidikan di pesantren modern Gontor, Jawa Timur, yang dianggap kurang berbau NU. Di zaman Orde Lama, Idham menjadi tokoh Islam utama yang senantiasa menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Berkali-kali menjadi menteri, bahkan perdana menteri. Di masa Orde Baru begitu juga. Ia pernah jadi Menteri Kesejahteraan Rakyat, Menteri Sosial, Ketua DPR, dan terakhir menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Agung (1977-1983). Itu sebabnya ia dijuluki sebagai tokoh paling awet di segala zaman. Sejak Idham menjadi Ketua Umum PB NU, peran tanfiziah, yang mulanya sekadar pelaksana kebijaksanaan syuriah, jadi kian dominan. Dalam merekrut kader-kader pemimpin NU, ia cenderung mengambil mereka yang berbakat politikus dengan latar belakang keluarga yang NU. Lihat saja nama-nama, seperti Nuddin Lubis, Yusuf Hasyim, Chalid Mawardi, Mahbub Djunaidi, dan Chalik Ali. Ketika partai-partai Islam berfusi, 1973, Idham ditunjuk sebagai ketua -- belakangan didudukkan dalam jabatan simbol: Presiden PPP. Sejak itu bintangnya mulai meredup, dikalahkan tokoh baru yang lebih licin, Jailani Naro. Lebih penting dari itu, tampaknya, lakon yang diperankan Idham sudah tak cocok dengan keadaan. Menghadapi Pemilu 1982, Naro, yang berasal dari unsur Muslimin Indonesia (MI), menyingkirkan tokoh-tokoh NU yang berbobot. Dalam daftar calon PPP untuk kursi DPR, yang disampaikan ke Lembaga Pemilihan Umum (LPU), Oktober 1981, sedikitnya 29 nama yang dicalonkan NU terlempar. Naro meletakkan mereka pada nomor-nomor besar sehingga tak akan mungkin terpilih. Di antaranya, Syah Manaf, Imron Rosjadi, Saifudin Zuhri, Ahmad Bagja, Karmani, Chalik Ali, dan Yusuf Hasyim. Permainan Naro itu membuat marah para tokoh NU. Dan korbannya adalah Idham, yang dianggap terlalu lemah menghadapi Naro. Idham memang ikut menandatangani surat protes terhadap daftar pilihan Naro, tapi sementara itu beredar isu bahwa ia sebenarnya menyetujui daftar calon tersebut. Ada yang menduga, sebagai politikus berpengalaman, Idham maklum mustahil mereka bisa mengalahkan Naro, yang saat itu dibek para pejabat tinggi pemerintah. "Kekalahan" ini membuat frustrasi tokoh-tokoh NU. Bahkan, saat itu, sudah terdengar suara-suara yang menginginkan agar NU keluar saja dari PPP. Hanya berkat sikap bijaksana dan berwibawa dari Rais Am K.H. Ali Ma'shum suara seperti itu meredup. Malah sejumlah tokoh yang disingkirkan Naro, seperti K.H. Yusuf Hasyim, tetap aktif dalam kampanye pemilu mendukung PPP. Tapi luka itu tetap terbuka dan, pada gilirannya, Idham, yang dinilai terlalu lemah terhadap Naro, mulai digoyang. Akhirnya, para kiai NU terpaksa turun tangan. Pada 2 Mei 1982, Rais Am Ali Ma'shum ditemani sejumlah kiai sepuh NU, seperti K.H. As'ad Syamsul Arifin, K.H. Machrus Ali, dan K.H. Mudjib Ridwan, menemui Idham di rumahnya di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta. Dari hasil pertemuan itulah, empat hari kemudian keluar surat pernyataan pengunduran diri Idham sebagai Ketua Umum PB NU, karena alasan kesehatan. Jabatan yang lowong itu dirangkap oleh Rais Am Ali Ma'shum. Belakangan Idham membatalkan suratnya itu, dengan dalih adanya protes dari 17 pengurus wilayah (tingkat provinsi) NU yang memilihnya dalam Muktamar sebelumnya di Semarang, 1979. Di sinilah awal kehancuran tokoh ini sebab, dengan pencabutan surat itu, kini yang dihadapinya bukan sekadar para tokoh NU yang marah karena disingkirkan Naro, melainkan para kiai sepuh yang jadi tiang penyokong NU. Sejak itu NU terbelah dua: kelompok Situbondo dan kelompok Cipete. Kelompok pertama terdiri dari para kiai, dipimpin oleh K.H. As'ad Syamsul Arifin, pengasuh Pesantren Salafiah Syafiiyah Situbondo. Kelompok kedua terdiri dari para politikus, dipimpin Idham, dan sering berkumpul di pesantren kecil milik Idham di Cipete, Jakarta Selatan. Akhirnya kelompok Cipete boleh dikatakan tamat, setelah Muktamar Situbondo, Desember 1984, mengesahkan kemenangan berada di tangan para kiai. NU kembali ke khittah 1926. Untuk itu, Muktamar memberi kekuasaan yang besar kepada para kiai yang duduk di syuriah. Tanfidziah yang merupakan sarang politikus NU -- lembaga yang paling dominan sejak NU menjadi partai politik, 1952 -- dijadikan sekadar pelaksana dari kebijaksanaan yang digariskan syuriah. Idham memang tak dibuang sama sekali. Ia didudukkan Muktamar sebagai anggota mustasyar PB NU, lembaga penasihat yang berfungsi sebagai pengawas kemurnian pelaksanaan khittah. Di sini duduk sembilan ulama sepuh, seperti bekas Rais Am Ali Ma'shum, K.H. Masjkur, dan K.H. Imron Rosjadi. Pemimpin (Mustasyar Am) ialah K.H. As'ad Syamsul Arifin. Apakah tampilnya Idham sebagai pertanda bangkitnya kembali kelompok Cipete (baca politikus) di dalam NU? Belum tentu. Tapi para politikus NU kelihatan berharap demikian. Mahbub Djunaidi, Wakil Ketua PB NU, yang melempar ide khittah plus itu, berpendapat bahwa kans Idham sebagai calon rais am cukup kuat. "Asal saja para kiai tua membenarkannya," kata Mahbub. Diam-diam Idham ternyata masih punya banyak pengikut. Setidaknya, ia masih didukung kuat oleh cabang-cabang di Jawa Barat, Kalimantan Selatan, serta sejumlah daerah di luar Jawa lainnya. Seperti dikatakan Mahbub, karena begitu lama NU berpolitik, para politikus sudah punya akar di NU. Dan akar politik itu tentulah akan menjadi pendukung Idham. Ada yang lebih penting. Idham sekarang adalah Mudir Am (ketua umum) Jamiyah Ahli Tariqat Mu'tabarat. Perkumpulan kaum tarekat itu akan mengadakan muktamar di Mranggen, Demak, Jawa Tengah, tiga hari sebelum Muktamar NU. Kuat dugaan, Idham akan terpilih lagi sebagai pemimpin kaum tarekat itu. Kaum tarekat yang berdatangan dari seluruh Indonesia kebanyakan juga adalah utusan cabang dan wilayah NU untuk Muktamar di Krapyak, dan mereka tentu menjadi pendukung Idham. Karena itu, sebuah sumber di PB NU mengatakan kepada TEMPO bahwa Idham memang sengaja mengadakan muktamar kaum tarekat tersebut, persis menjelang Muktamar NU, agar ia dengan mudah mengonsolidasikan para pendukungnya menghadapi persaingan di Krapyak. Selain itu, ketidaksenangan Idham pada Ketua PB NU Abdurrahman Wahid membuat ia dekat dengan Kiai As'ad Syamsul Arifin dan Kiai Masjkur, dua tokoh utama yang menggusur Idham di Muktamar Situbondo. Dalam acara halalbihalal di pesantrennya di Cipete, Mei lalu, Idham secara terbuka mengatakan, "Sekarang dari PB NU banyak keluar fatwa yang aneh-aneh. Dan itu cukup membingungkan kita semua." Yang ditembak Idham, siapa lagi kalau bukan Abdurrahman Wahid, yang ingin mengganti Assalamualaikum dengan "selamat pagi" itu. Tampaknya, Idham berani tampil kembali setelah membaca situasi dengan teliti. Muktamar PPP, Agustus lalu, ternyata telah menampilkan kembali para tokoh NU dalam jabatan-jabatan penting. Matori Abdul Djalil, misalnya, menduduki kursi sekjen. Apalagi Naro, tokoh yang dulu mengobrak-abrik NU dan Idham, telah tersingkir. Memang yang duduk di PPP sekarang adalah kebanyakan pengikut Imam Sofwan (kini Ketua MPP PPP), orang NU yang berpihak kepada Naro ketika memukul habis Idham dan para tokoh NU lainnya di Muktamar PPP 1984. "Tapi kasus PPP itu bagi Pak Idham merupakan isyarat bahwa Pemerintah sudah tak keberatan kalau bekas politisi NU kembali berkiprah. Setidaknya, ia kembali bersemangat," ujar sebuah sumber di PB NU. Dari kelompok politikus inilah munculnya suara keras agar soal khittah diperjelas dalam Muktamar nanti -- walau sudah dapat dipastikan: NU tak mungkin akan jadi parpol, seperti pernah diusulkan Mahbub. "Yang penting dan harus diutamakan adalah kembali ke khittah, baru kemudian yang lain-lain menyusul," kata Idham, seperti ditulis harian Pelita, pekan lalu. Kuat dugaan, Idham tak akan tampil di Muktamar untuk kursi rais am buat dirinya sendiri, tapi juga akan berjuang buat mendudukkan orang-orangnya, kelompok politikus. Itu diperkirakan, antara lain, K.H. Ali Yafie, bekas anggota DPR, ahli fikih terkemuka asal Sulawesi Tenggara, yang kini bermukim di Jakarta, dan tak punya pesantren. Dan itu sudah tersirat dari kata-kata Mahbub kepada TEMPO, "Kalau yang jadi rais am tidak Pak Idham, Ali Yafie juga banyak pendukungnya, terutama di Sumatera dan Kalimantan." Untuk jabatan Ketua PB NU, boleh jadi Idham menjagokan Chalid Mawardi, bekas dubes di Syria, atau Wahid Zaini, pengasuh Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, anggota DPRD Jawa Timur dari F-PP. Kalau itu kesampaian, berarti kaum politikus yang sempat frustrasi seusai Muktamar Situbondo, bisa kembali mewarnai NU. Yang pasti, munculnya kembali Idham akan membuat Muktamar NU kali ini lebih bersemarak. Amran Nasution, Ahmadie Thaha, dan Heddy Susanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus