Akhir tahun lalu, dalam lapor annya kepada Menteri Koor dinator Kesejahteraan Rakyat Haryono Soeyono, UNICEF antara lain menyebutkan bahwa sekitar 130 juta anak di dunia terancam drop out dari bangku sekolah dasar. Dan jangan terkejut kalau pada 1999 ini diperkirakan sebanyak 21 juta anak Indonesia akan buta huruf karena orang tua mereka sudah tak lagi mampu membayar biaya sekolah.
Kenyataan itu hanya lebih baik sedikit dari kenyataan sepuluh tahun lalu, ketika angka buta aksara di Indonesia mencapai 30 juta orang. Dua puluh tahun lalu bahkan angka itu mencapai 40 juta orang. Tapi ketertinggalan ini erat kaitannya dengan ekonomi Indonesia waktu itu, yang pertumbuhannya tertatih-tatih sehingga jumlah keluarga tak mampu masih sangat besar. Secara bertahap, selama enam tahun repelita di bawah rezim Orde Baru, perekonomian membaik. Bahkan dengan pertumbuhan antara 7 persen dan 8 persen, Indonesia dianggap potensial untuk muncul sebagai "macan" baru di Asia Tenggara.
Ternyata, krisis ekonomi yang berkepanjangan?merebak sejak krisis moneter, Juli 1997?mengakibatkan banyak perusahaan gulung tikar. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Kini semakin banyak orang tua murid yang tak mampu menopang biaya pendidikan anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok saja, mereka perlu ditolong. Apalagi sejak nilai rupiah terpuruk, harga-harga melambung tinggi. Dari sekitar 206 juta penduduk Indonesia kini, diperkirakan sekitar 100 juta orang dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Tak berlebihan kalau ada yang memperkirakan bahwa program wajib belajar sembilan tahun?untuk sekolah dasar dan sekolah menengah lanjutan pertama?tampaknya akan gagal. Pada tahap awal, sang anak putus sekolah, dan setelah itu muncul ancaman lebih serius, yakni generasi yang sama sekali tak bisa mengenyam pendidikan karena kesulitan ekonomi. Kemungkinan ini sedemikian besar sehingga jumlah anak buta aksara dikhawatirkan akan sama seperti 10 atau 20 tahun silam.
Stephen J. Woodhouse, perwakilan UNICEF untuk Indonesia dan Malaysia, menyatakan bahwa pemerintahlah yang harus bertanggung jawab agar bayangan seram itu tak menjadi kenyataan. Agaknya, siapa pun setuju pada pendapat ini, tapi kemampuan Indonesia dalam masa krisis sangat terbatas. Alokasi anggaran untuk pendidikan hanya 2,5 persen dari total anggaran, atau Rp 5,5 triliun. Padahal anggaran pendidikan yang ideal adalah 20 persen dari total anggaran belanja negara.
Tanpa keluh-kesah, dunia pendidikan kini terperosok dalam keprihatinan yang amat dalam. Dana yang hanya Rp 5,5 triliun itu harus dibagi-bagi kepada 500 ribu sekolah dan 51 perguruan tinggi negeri. Jatah tiap sekolah sangat tidak seberapa, dan jumlah yang kecil ini pun masih terancam hilang atau susut sebagian di tengah jalan.
Memang, pemerintah telah menghapuskan sumbangan penyelenggaraan pendidikan untuk sekolah dasar negeri. Namun, di sisi lain, berbagai pungutan yang membebani orang tua murid?yang dilembagakan melalui Badan Pembantu Penyelanggara Pendidikan?bukan main banyaknya. Sampai-sampai Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menerima pengaduan para orang tua murid, menuntut pemerintah agar segera meniadakan aneka pungutan tadi.
Upaya lain untuk membantu dana pendidikan di antaranya berasal dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Dari sumber bantuan dana ini, menurut Menteri Haryono Soeyono, bakal mengalir bantuan beasiswa senilai Rp 1,4 triliun pada tahun ini.
Ada juga bantuan beasiswa dari sumber swasta, misalnya dari Yayasan Supersemar atau dari Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) yang diurus Baby Halimah Bambang Trihatmodjo, menantu mantan presiden Soeharto. Menurut Jeanette Sudjunadi, Ketua Bidang Pelayanan Informasi dan Publikasi GNOTA, kriteria siswa yang bakal dibantu lewat GNOTA sederhana saja, yakni anak-anak orang tak mampu.
Dari tahun ke tahun, jumlah siswa yang dibantu GNOTA memang meningkat. Pada Desember lalu, dana sebesar Rp 60,33 miliar disalurkan untuk sekitar 850 ribu siswa. Sedangkan pada 1997, sebanyak 500 ribu anak menerima bantuan dana sebesar Rp 31,95 miliar.
Agar ancaman lost generation tak sampai terjadi, dalam kondisi keuangan negara yang minim begini dibutuhkan partisipasi aktif dari pihak swasta lainnya, termasuk perorangan. Semakin banyak keluarga kaya yang menyisihkan dana dan waktunya untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak tak mampu, tentu semakin baik. Dalam hal ini, pemerataan tanggung jawab tidak perlu digembar-gemborkan karena pemerataan itu akan lebih terasa kalau betul-betul diamalkan.
Ma'ruf Samudra dan Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini