Sebenarnya salah untuk mengatakan bahwa sekarang ini sejumlah orang sedang main-main api di Senayan. Apa yang dikerjakan para anggota DPR itu, khususnya dari Fraksi Karya, justru lebih berbahaya dari sekadar main api. Mereka (mungkin tak 100 persen sadar) sedang menggosok-gosokkan kawul dan batu api di tengah sejumlah bahan peledak bermuatan kuman. Jika nanti bara berpercik, yang terjadi bukan saja sebuah letupan yang merusak dalam sekali pukul. Yang akan destruktif adalah sebuah penyakit yang meruyak berkepanjangan.
Katakanlah kiasan itu dilebih-lebihkan. Tetapi hiperbol di sini perlu. Para anggota DPR itu hampir rampung menyusun sebuah undang-undang politik, khususnya yang akan menentukan bagaimana pemilu nanti akan diselenggarakan (direncanakan: lima bulan lagi). Banyak yang sudah memperingatkan bahwa pemilu itu sebuah pemilu yang sangat menentukan.
Kenapa? Jika para anggota DPR di Senayan lupa kenapa, baiklah di sini dikemukakan dua sebab.
Pertama, Indonesia butuh sebuah keadaan yang stabil agar perbaikan ekonomi bisa segera dijalankan. Tentu, kata "stabil" sudah telanjur mencong. Dalam kamus "Orde Baru", "stabil" berarti terkendali sepenuhnya, hingga orang bungkam dan patuh. Dan bungkam dan patuh harus dijaga dengan represi. Yang tak diperhitungkan ialah bahwa represi ternyata hanya metode darurat. Padahal stabilitas yang dibutuhkan adalah stabilitas yang tahan banting. Itu bisa terwujud jika ditopang oleh seperangkat institusi yang wibawa dan keabsahannya diakui masyarakat.
Pemeritahan Habibie adalah sebuah institusi yang tanpa wibawa. Bukan karena Habibie kurang tampak angker (dalam hal ini ia sebenarnya lebih mengasyikkan), tetapi karena amat meragukan apakah ia didukung rakyat. Dominasi person Soeharto selama 32 tahun "Orde Baru"menyebabkan dalam mekanisme kekuasaan ada satu lubang besar ketika Si Bapak turun. Lubang itu tak bisa tertutup oleh Habibie. Perlu waktu untuk menumbuhkannya. Sementara itu, penjarahan, serangan kepada polisi, sengketa berdarah dari Aceh hingga Ambon, sudah mencegatnya, bertubi-tubi. Indonesia belum pernah sekacau sekarang dan belum ada presiden yang semalang sekarang.
Lebih menyedihkan lagi, bahkan di tingkat kabinet, kebijakan bisa centang-perenang. Satu menteri bertabrakan dengan menteri lain. Apa yang diputuskan pagi bisa berubah di waktu sore. Maka maklumlah bila para investor, para turis, para pelaku niaga, semua merasa bingung atau tidak pasti dan aman. Dan kita tahu: tanpa mereka, ekonomi akan mandek dan memburuk seperti gerbong bekas.
Maka diperlukan seorang pemimpin yang bisa menegakkan pemerintahan sebagai insitusi yang berwibawa. Berwibawa juga berarti punya legitimasi dari rakyat banyak--di samping punya kapasitas untuk memimpin sebuah negeri yang dihantam krisis.
Megawati? Amien Rais? Gus Dur? Akbar? Habibie lagi? Yang penting bukan hanya siapa yang akan dipilih rakyat. Tak kalah pentingnya ialah bagaimana ia dipilih. Maka, siapa pun nanti yang memimpin Indonesia, pemilunya harus bisa diakui sebagai proses yang bersih dan adil. Dengan itu, baik yang menang maupun yang kalah yakin akan hasil yang didapat, dan rakyat banyak yakin untuk mengakuinya. Dan inilah alasan nomor dua kenapa pemilu yang akan datang ini menentukan.
Sebab, bila pemilunya tak meyakinkan, hasilnya juga tak akan meyakinkan. Dan jika hasilnya tak meyakinkan, rasa tidak puas, protes, mungkin perlawanan terbuka, dapat terjadi. Ketidakstabilan akan terus menggerogoti Indonesia dan setelah itu keruntuhan. Persis seperti bila sebuah bom kuman meledak: penyakit yang parah akan menghabisi hampir semua orang secara cepat ataupun pelan.
Mungkin tak sepenuhnya disadari, pengolahan undang-undang politik di Senayan itu dilakukan dengan sikap "yang di dalam parlemen berhak, yang di luar tidak". Jika ini berlanjut, kelak proses dan hasil awal dari Pemilu 1999 akan diterima dengan syak wasangka. Apalagi DPR yang sekarang adalah DPR yang legitimasinya cacat (kursi Golkar tidak diperoleh dengan jujur dan adil, kursi ABRI didapatkan bukan dari rakyat, kursi "PDI" yang di sana itu mewakili siapa, sih?). Melihat ini, undang-undang pemilu yang lahir nanti akan membutuhkan suatu pengelolaan opini publik yang efektif. Itu problem tersendiri--sebab ini urusan yang tak pernah dikenal oleh orang di Senayan. DPR ini adalah sebuah parlemen yang pada dasarnya tidak punya kontak dengan publik.
Tapi Senayan akhirnya hanya salah satu dari pemain. Tidak kalah penting adalah sikap dan laku partai yang di luar DPR. Sejauh ini belum terdengar statemen yang spesifik (dan resmi) dari PDI-Megawati terhadap apa yang sedang diperdebatkan itu. PKB dan PAN, juga partai-partai lain, memang sudah menyatakan secara rinci sikap mereka, tapi juga belum jelas apa yang akan mereka lakukan jika undang-undang di Senayan itu nanti tak memuaskan. Itulah pekerjaan rumah mereka: menentukan kriteria aturan pemilu yang seperti apa yang bisa mereka diterima, dan seperti apa yang mereka tolak. Juga apa saja yang akan mereka lakukan jika aturan itu mereka tolak--dengan segala konsekuensinya. Asal api jangan meletik, bom jangan meledak, dan kuman tak menyebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini