Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Melawan Krisis, Tidak Ini, Tidak Itu

Dana JPS dari Bank Dunia hanya 30 persen yang bisa disalurkan ke proyek JPS. Soalnya: bagaimana membuat pemerintah daerah lebih cekatan.

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa hari menjelang Idul Fitri, bekas Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, yang kini menjadi Ketua Tim Pengendali Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), membandingkan pelaksanaan program JPS dengan "negative football" atau main bola dengan sejumlah "tidak": aparat yang melaksanakan program JPS tidak menyerang, tidak ngotot mencetak gol, tapi juga tidak mau kemasukan. Di lapangan bola, gaya permainan seperti ini tentu saja sangat hambar. Dalam hal JPS, sangat merugikan. Program JPS dipercayakan rancangan dan pelaksanaannya pada aparat pemerintah daerah, dan pengawasannya pada sebuah konsorsium lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dari awal, aparat pemerintah pusat sengaja tidak dilibatkan karena dikhawatirkan dana tersebut akan hilang di tengah jalan, dan tidak sampai pada mereka yang membutuhkan. Bank Dunia sebagai penyandang dana yang mengalokasikan antara US$ 10 miliar dan US$ 13 miliar untuk JPS tampaknya jera berurusan dengan para petinggi di Jakarta. Apalagi setelah 30 persen dari dana yang disalurkan untuk proyek-proyeknya di Indonesia ternyata bocor. Tapi lembaga keuangan internasional ini sekarang tampaknya "terkecoh" lagi. Kalau aparat di Jakarta berbakat "membocorkan" uang, aparat pemerintah daerah memiliki sejenis cacat bawaan. Di bawah kendali pemerintah pusat yang sangat kuat selama 32 tahun Orde Baru, pemerintah daerah jadi seperti orang gagu. Mereka terbiasa mengaminkan instruksi pusat: dari melaksanakan proyek inpres, KB Mandiri, memenangkan Golkar dalam pemilu lima tahun sekali, sampai dengan membentuk klompencapir. Maka, ketika harus menggulirkan program JPS senilai Rp 17,79 triliun, dana yang bisa diserap hanya 30 persen, yakni sekitar Rp 6 triliun. Padahal rakyat yang membutuhkan uluran bantuan JPS terus bertambah. Terakhir, Badan Pusat Statistik memperkirakan penduduk miskin mencapai 80 juta jiwa, sedangkan pengangguran terbuka sudah sekitar 20 juta jiwa. Masalahnya kini, apakah JPS harus dimubazirkan, hanya karena aparat pemerintah daerah tidak tahu apa yang harus mereka lakukan? Selain itu, apakah JPS juga harus dihentikan--seperti diusulkan oleh beberapa politisi--dengan alasan bantuan JPS bisa dijadikan komoditas politik untuk memenangkan Golkar? Nanti dulu. Ketika Amerika Serikat dilanda depresi pada 1930-an, jutaan orang menganggur dan barisan yang antre untuk mendapatkan pembagian makanan terlihat di mana-mana. Presiden Roosevelt meluncurkan beberapa program pemulihan ekonomi, termasuk menyalurkan dana ke pemerintah daerah--wali kota dan gubernur--untuk membangun jalan, jembatan, sekolah, dan hal-hal berguna lainnya. Program ini tak luput dari kritik, antara lain karena terlalu banyak uang terhambur untuk terlalu sedikit pekerjaan. Program ini kemudian dihapus, tapi dua program lainnya terlaksana dengan sukses. Program Civilian Conservation Corps (CCC) berlangsung tujuh tahun (1933-1942), berhasil melatih dan mempekerjakan 500.000 pemuda. Program lainnya yang diberi nama Works Progress Administration (WPA) rata-rata mempekerjakan dua juta orang per tahun dalam periode 1935-1941. Di Indonesia, tidak sedikit yang bisa dikerjakan dengan uang US$ 10 miliar. Penanggulangan banjir, pelestarian hutan dan lingkungan, perbaikan gedung sekolah, pelatihan pemuda penganggur, pembibitan, penyaluran pupuk, pembinaan TKI--terlalu banyak untuk disebut satu per satu. Untuk melecut birokrasi yang sudah payah, memang tak bisa dilakukan seketika. Diperlukan dorongan dan desakan dari luar birokrasi. Kalau para LSM-wan yang diberi kesempatan memantau itu juga melempem, memang menyedihkan. Mungkin salah satu cara ialah dengan mengaitkan program JPS dengan peluang yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh dunia bisnis lokal. Kapitalisme kecil-kecilan sering kali efektif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus