Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Antara Cilangkap dan Denpasar 17

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUAT Adnan Buyung Nasution, nama bukan soal prinsipiil. Ketika nama Tim Advokasi Hak Asasi Manusia TNI yang dikomandaninya mendapat sisipan kata "Perwira" (sebelum kata "TNI"), pengacara yang mengaku sebagai pembela hak asasi itu juga tak mempersoalkannya. Ia tetap teguh membela para jenderal "tersangka" kasus kekerasan di Timor Timur—walau belum jelas sisi hak asasi mana dari para jenderal itu yang telah dilanggar orang. Padahal, soalnya bukan sekadar nama. Dengan nama Tim Advokasi Hak Asasi Manusia Perwira TNI, Buyung dan kawan-kawan tak lagi membela lembaga TNI, tapi membela pribadi perwira TNI—dua hal yang sungguh berbeda dan tentu saja amat prinsipiil. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa para jenderallah yang dibela Abang—panggilan untuk Buyung. Walaupun begitu, dukungan penuh Cilangkap, Markas Besar TNI, dalam perkara ini tak diragukan lagi. Surat kuasa yang mereka pegang, menurut Koordinator Tim Konsultan Hukum Perwira Tinggi TNI Muladi dan anggota tim pembela Mohammad Assegaf, diteken keenam jenderal secara perseorangan. Mereka adalah mantan Panglima TNI Jenderal Wiranto, bekas Panglima Kodam IX/Udayana Mayjen Adam Damiri, dua staf ahli panglima—Mayjen Zacky Anwar Makarim dan Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin—eks Komandan Resor Militer 164/Wiradharma Brigjen Tono Suratman, serta mantan Kepala Kepolisian Daerah Tim-Tim Brigjen Polisi Timbul Silaen. Tapi, karena para jenderal itu masih tercatat sebagai anggota TNI aktif, tim tersebut mesti mengoordinasi tiap gerak langkah dengan Cilangkap. Malah, kata sekretaris tim Yan Djuanda Saputra, beberapa anggota tim dari unsur militer secara resmi diminta bergabung oleh Panglima TNI. Unsur Cilangkap itu masuk menjadi bagian tim. "Ada tiga kelompok konsultan," kata Muladi. Tim advokasi dikoordinasi Buyung, kelompok Forkaphi (Forum Akademisi dan Praktisi Hukum Indonesia), yang bersifat nonlitigasi (nonpembelaan), dipimpin Muladi, dan ada unsur laskar TNI. Keseluruhan, tim itu beranggotakan 30 orang: 11 pengacara, 15 akademisi, dan sejumlah staf administrasi. Unsur Cilangkap dikomandani Asisten Intelijen Kepala Staf Umum TNI Laksamana Muda Yoost Mengko. Di dalamnya bergabung, antara lain, Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Mayjen Timur P. Manurung dan Komandan Pusat Polisi Militer TNI Mayjen CPM Djasri Marin. Hal itu dibenarkan Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sudrajat, meski, katanya, tugas tim Yoost itu sebatas menjadi jembatan antara Cilangkap, tim Buyung, dan Komisi Penyelidik. Pembelaan di ruang pengadilan akan sepenuhnya dikendalikan Buyung. Lalu, bagaimana soal anggaran? Mengucur dari Cilangkap atau dari kocek pribadi para jenderal? Tak ada yang tahu pasti. Yang jelas, sekretariat tim itu kini menempati sebuah rumah megah di Jalan Denpasar Raya 17, Jakarta. Bangunan kosong di sebelah kediaman Jenderal Wiranto itu, kata Muladi, dipilih karena dinilai netral. "Habibie Center, kan, diributin," kata bekas Menteri-Sekretaris Negara yang juga Direktur Institut Hak Asasi Manusia dan Demokrasi The Habibie Center itu. Padahal, status rumah itu tak lain adalah kediaman dinas Panglima TNI. "Itu milik TNI," kata Yan. Ia mengakui, Mabes TNI memfasilitasi segala kebutuhan tim—dari urusan pesawat sampai seluruh perangkat komputer. Hal itu dibenarkan Mayjen Sudrajat. "Mereka adalah prajurit TNI yang harus dilindungi institusi TNI," katanya. Termasuk biaya pembelaan? "Segala-galanya. Sesuai dengan keputusan Panglima, TNI punya obligasi moral pada semua prajurit sampai jenderal," ujarnya lagi. Menurut seorang anggota tim, perencanaan dan anggaran dibuat untuk jangka waktu enam bulan. Itu kalau tidak diperpanjang. Untuk menutupnya, sempat terbetik kabar bahwa dana yang disiapkan mencapai besaran Rp 6 miliar. Benarkah? Mayjen Sudrajat tak menjawabnya. Tapi Assegaf telak-telak membantahnya, "Itu fitnah. Betul-betul fitnah." Berapa tim Buyung dibayar? Ada jawaban bervariasi. Yan mengaku tak dibayar sepeser pun. Assegaf mengaku belum membicarakannya. Muladi lebih berterus terang. "Yang penting, jangan sampai saya rugi. Tapi, berapa tarifnya, belum jelas sampai sekarang," katanya. Cek untuk pengacara itu datang dari Cilangkap juga? Belum ada yang mau membuka rahasia dapur yang satu itu. Karaniya Dharmasaputra, Arif Kuswardono, Andari Karina Anom, Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus