SEBUAH medan perang. Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan Aceh saat ini. Penyerangan mendadak, muntahan peluru, dan nyawa yang tiba-tiba meregang. Selebihnya adalah kepedihan: anak-anak yang telantar dan para perempuan yang tiba-tiba menjadi janda.
Kisah saling serang antara Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) dan TNI/polisi memang memuncak pasca-ulang tahun GAM, 4 Desember lalu. Militer melakukan sweeping dan GAM melakukan serangan sporadis. Ada penyerangan yang terang-terangan diakui kedua belah pihak. Tapi ada banyak penyerangan "gelap": tiba-tiba sejumlah orang mati tanpa pernah jelas siapa yang telah memuntahkan peluru.
Contoh penyerangan yang terang-benderang terjadi Senin pekan lalu. Ketika itu, GAM melakukan serangan terhadap truk aparat di kawasan Gunung Geurutee, Aceh Barat. Menurut keterangan polisi, sore itu kendaraan aparat dihujani pelor. Belum lagi pasukan baju cokelat itu sadar apa yang terjadi, tiba-tiba dua mobil Kijang merapat dan melepaskan tembakan ke arah truk tentara. Bentrok dan baku tembak tak terhindarkan. Soalnya, masih menurut polisi, pasukan Brigade Mobil yang diserang itu sedang mengawal mobil BNI yang baru mengantar uang ke Tapaktuan di Aceh Selatan. Sedangkan versi GAM menyebutkan serangan dilakukan sebagai balasan terhadap sweeping polisi sebelumnya.
Penyerangan yang misterius tak terhitung. Kopral Kepala Jailani dari Satuan Lalu-Lintas Kepolisian Resor Aceh Utara tewas oleh muntahan peluru empat orang tak dikenal, tepat di depan anak dan istrinya, dua pekan lalu. Barada Sri Utomo dari Brigade Mobil Kepolisian Sektor Peureulak ambruk ditikam rencong di Pasar Peureulak, Aceh Timur. Dua hari kemudian, Pembantu Letnan Dua Zulkifli dari Kepolisian Sektor Makmur Aceh Jeumpa roboh karena peluru orang tak dikenal yang menyatroni rumahnya ketika makan sahur.
Namun, GAM membantah aksi main bokong tersebut. "Itu kerjaan TNI untuk menciptakan kesan bahwa GAM-lah yang melakukan semua itu," kata Tengku Maad Muda, Kepala Biro Penerangan Komando Pusat AGAM. Bahkan, Maad Muda menyebut, dalam aksi penembakan misterius itu militer telah bekerja sama dengan preman kondang Medan bernama Olo Panggabean. "Banyak (preman Medan) yang sudah ditangkap prajurit-prajurit kita di lapangan. Semua wilayah sudah melaporkan adanya preman Medan menyusup ke Aceh," kata Maad.
Betulkah? Olo memang bukan tokoh yang asing di Aceh. Dialah yang pada 1998—bersamaan dengan pencabutan status daerah operasi militer di Aceh—mendirikan organisasi kepemudaan Ikatan Pemuda Karya (IPK). Wilayah organisasi ini terbentang dari Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tenggara, sampai Aceh Tengah. Di Medan, organisasi itu sendiri cukup berpengaruh dalam mengorganisasi bisnis hiburan malam dan judi. Organisasi ini juga dikenal cukup akrab dengan aparat militer.
Menurut keterangan beberapa sumber TEMPO di Aceh, IPK memang kerap melakukan provokasi untuk memancing masyarakat melakukan pembakaran. Akhir November lalu, misalnya, mahasiswa bahkan sempat menangkap enam orang pasukan IPK yang kedapatan bersenjata api. Sampai saat ini, memang belum terbukti keterlibatan Olo dan IPK di balik serangan sporadis terhadap prajurit militer dan polisi tersebut. Tapi disebut-sebut organisasi ini berada di belakang pengusiran warga non-Aceh beberapa waktu lalu.
IPK membantah tuduhan kepada organisasinya tersebut. "Itu enggak betul. Menurut saya, ada provokator yang berusaha menghancurkan nama baik bos (Olo Pangabean)," kata Moses Tambunan, Ketua IKP. Tapi Moses tidak menyangkal kalau organisasinya dikenal cukup dekat dengan pejabat militer. Sayangnya, Olo sendiri tak bisa dikontak untuk dimintai keterangan.
Walhasil, tuduhan GAM memang masih sulit dibuktikan. Sementara itu, perang sporadis akan terus berlangsung. Entah sampai berapa korban lagi jatuh mati.
Arif Zulkifli, J. Kamal Farza (Banda-aceh), Zainal Bakri (Lhokseumawe), Bambang Soedjiartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini