Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Biduan di Sejuta Hati

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CHRISYE menyenderkan tubuhnya yang semampai di tubuh piano itu. Ruangan studio I Indosiar yang dingin menggigit malam itu semakin terasa, meski hujan deras di luar sudah berhenti. "Masuknya gitar kayaknya belum pas dengan pianomu," ujar Chrisye kepada Erwin Gutawa yang tengah mencari nada kunci untuk latihan. Malam itu, di bawah arahan produser acara Semarak Indosiar, Andi Januar, Chrisye akan merekam lima buah nomor lagunya dari album Badai Pasti Berlalu edisi baru, yang kini tengah beredar.

"Oke," jawab Erwin seraya memainkan tuts piano dengan segera. Sejurus kemudian, terdengarlah melodi Serasa—sebuah nomor yang sangat dikenal oleh penggemar musik pada 1970-an—yang langsung disambut oleh dentaman perkusi dan tarikan biola. Begitu gebukan drum Uce Hariono bersatu dengan intro itu, Chrisye tersenyum dan dengan spontan kepala dan kakinya bergoyang mengikuti irama lagu itu. Sesekali layar putih berukuran 2 meter x 3 meter yang menjadi latar belakang panggung menampilkan potongan-potongan film Badai Pasti Berlalu karya Teguh Karya—sebuah periode yang telah mencuatkan nama Chrisye bahkan hingga hari ini.

Hampir tak ada yang berubah dari sosoknya. Suaranya masih bening dan khas.Dengan rambut yang selalu menutupi daun telinganya, pada usianya yang sudah mencapai setengah abad itu, ketuaan seperti bergerak lambat merambati wajahnya. Dia masih juga hemat bicara. Hidupnya lurus-lurus saja, sehingga gosip, yang biasa menerpa nama kondang di negeri ini, seperti segan menerpa pria pendiam ini. Untuk ukuran seorang bintang, yang semarak dengan glamor, kehidupan yang dilakoninya itu seperti menjadi tak lazim.

Lahir di Jakarta, 16 September 1949, dari keluarga L. Rahadi, sesungguhnya Chrisye yang dikenal sebagai pria alim dan bapak yang baik ini di masa lalu bukanlah anak yang manis. Untuk berlatih musik, ia terpaksa membohongi orang tuanya dengan membawa buku pelajaran. Hal itu dilakukan karena ayahnya melarangnya bermain musik. Namun, Chris muda tetap nekat. Pada hari-hari tertentu, ketika di SMA, ia bermain musik dengan teman-temannya.

Langkah awalnya dilakukan dengan bergabung dalam kelompok musik Sabda Nada pada 1968. Saat lulus dari SMA, bersama teman-temannya di sekitar rumahnya di kawasan Pegangsaan, Jakarta Pusat, ia membentuk Gipsy Band. Dari situlah dia bergaul dengan Keenan Nasution, Joki Suryoprayogo, Eros Djarot, dan Guruh Sukarno Putra. Saat aktif bermusik dengan Guruh itulah ia bertemu dengan Damayanti, yang saat itu menjadi sekretaris Guruh, yang belakangan menjadi istrinya.

Saat duduk di tahun terakhir di Akademi Perhotelan dan Kepariwisataan Trisakti, Jakarta, ia memutuskan untuk hidup dari musik. Ia sempat melanglang buana di kota beton, New York, pada 1974-1975. Di negeri itu, Chrisye bergabung dengan Broery Marantika, Abadi Soesman, Dimas Wahab, Pomo, dan Ronnie Makasutji sembari mengusung band The Pro's.

Sekembalinya ke Tanah Air, namanya makin berkibar. Dia adalah salah satu legenda hidup musik pop Indonesia. Bersama Guruh Sukarno Putra, pada 1975, ia membuat album Guruh Gipsy, yang meletakkan fondasi karakter musikalnya hingga kini. Saat itu, musik yang diusung kelompoknya dijuluki sebagai musik gedongan anak Jakarta. Setelah itu, sosoknya bagai udara yang mengisi perjalanan industri musik pop Indonesia selama 20 tahun terakhir.

Vokal Chrismansyah Rahadi, nama lengkapnya, turut menggarap album monumental Badai Pasti Berlalu. "Bagi saya, ia adalah salah satu mata rantai karir saya. Sebab, setiap mata rantai punya harga yang kurang-lebih sama," paparnya. Ia mengaku tak memiliki kenangan khusus dengan album itu. Dengan gayanya yang konvensional karena tak bisa bergoyang, dan hanya menyandang gitar atau berdiri tegak, berturut-turut ia mencatat kesuksesan.

Bila tak ada kegiatan rekaman atau pertunjukan, ia lebih suka memilih tinggal di rumah. Setiap hari ia mengantar si bungsu kembar Pasha dan Masha, 8 tahun, ke sekolahnya atau bercengkerama dengan burung-burung beo dan perkutut kesayangannya. "Burung beo dan perkutut itu terkadang untuk pengalihan dari kegiatan serius bermusik daripada keluar rumah," kata Chrisye datar. Rumahnya yang asri di bilangan Cipete terasa hangat. Istrinya, Damayanti—salah satu anggota Noor Bersaudara—memilih tak mempunyai kegiatan di luar.

Kini, hampir separuh hidupnya sudah dicurahkan untuk musik. Segunung penghargaan telah diperolehnya. Dalam rentang waktu yang panjang, sosok Chrisye tak lagi menjadi milik golongan berumur, tapi juga diminati oleh remaja seusia anak pertamanya. Chrisye adalah permata di sejuta hati.

Irfan Budiman, Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus