Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mahkamah Pilihan Sang Panglima

Jenderal Wiranto mengungkapkan bahwa urusannya hanya kebijakan besar TNI, bukan soal-soal kecil seperti kegiatan milisi. Lalu, siapa membakar Tim-Tim?

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

-------------------------------------------------------------------------------- SELEPAS salat Jumat kemarin, dua puluhan habaib merapal doa di Gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat. Mereka datang dari kawasan Pasarminggu Jakarta, dan Tangerang, khusus untuk mendoakan keselamatan Jenderal Wiranto. Bekas orang pertama TNI tadi memang diperiksa Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) Hak Asasi Manusia Timor Timur, hari itu. Jenderal aktif bintang empat itu datang tepat pukul dua siang, dengan Volvo hitam bernomor polisi B 2018 BS. Satu rombongan besar menyertainya. Dari tim konsultan hukum tampak mantan Menteri Kehakiman Muladi, advokat Adnan Buyung Nasution, dan pengacara lainnya. Dari Cilangkap—Markas Besar TNI—antara lain hadir mantan Pangdam IX/Udayana Mayjen Adam Damiri dan Asisten Intelijen Kepala Staf Umum TNI Laksamana Muda Yoost Frederick Mengko. Semuanya sekitar 15 orang. "Skuad" itu pun membawa peralatan lengkap, dari segepok dokumen, proyektor, foto slide, sampai video. Bersafari coklat, bersemat pin menteri, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Wiranto langsung naik ke ruang pemeriksaan di lantai dua. Di dalam, para anggota Komisi sudah menunggu. Ketua KPP, Albert Hasibuan, Asmara Nababan, Munir, H.S. Dillon, dan Nursjahbani Katjasungkana. Begitu dimulai, pintu ditutup rapat-rapat. Kaca dan kusen ditempeli kertas agar bebas intipan wartawan. Beruntung ada sedikit "celah" yang masih bisa dikuping. Kabar dari dalam mengungkapkan, awalnya suasana agak tegang. Sampai-sampai Jenderal Wiranto salah tangkap. Saat itu Sekjen KPP Asmara Nababan membacakan sebuah kutipan, "TNI juga mengakui …, aparat keamanan di lapangan tidak dapat mengendalikan anggota Wanra, yang secara hierarkis di bawah pembinaan Komando Teritorial TNI, ikut terlibat dalam kerusuhan." Jenderal Wiranto langsung menukas, "Saya tidak mau mengomentari kutipan yang diambil dari surat kabar Australia." Eh, usut punya usut, ternyata kutipan itu berasal dari selebaran Cilangkap sendiri, hasil penyelidikan internal militer. Setelah disodorkan, Wiranto pun lega. "Ooh, kalau itu, sih, bisa saya kirim satu truk. Saya sendiri belum dapat," katanya. Selama dua setengah jam, total jenderal ada sekitar 30 pertanyaan—dari 60 yang disiapkan—diajukan Komisi. Para anggota tim penyelidik "memburu" Wiranto dengan pertanyaan di seputar tanggung jawabnya selaku Panglima TNI saat Loro Sa'e dibumihanguskan pada awal September 1999, setelah jajak pendapat dimenangi kelompok prokemerdekaan. Menurut Munir, penelusuran itu berangkat dari Perjanjian New York, Indonesia-Portugal, dan PBB. Beleid yang diteken pemerintah itu mencantumkan pasal bahwa penanggung jawab keamanan Tim-Tim adalah pihak Republik. "Dalam hal ini, Panglima TNI dan seluruh jajarannya," katanya. Karena itu, di mata Munir, gelombang kekerasan yang terjadi setidaknya membuktikan kegagalan Panglima TNI mengendalikan keadaan. Rantai komando juga ditelusuri Komisi. Satu pertanyaan berbunyi, "Siapa yang bertanggung jawab soal milisi?" Wiranto menyatakan, polah brutal milisi di luar tanggung jawab Cilangkap. Milisi, katanya, lahir dari spontanitas warga prointegrasi. Wiranto berulang-ulang menekankan bahwa ia sebagai pemegang tongkat komando tertinggi cuma berurusan dengan kebijakan. Saat dikejar pertanyaan rinci soal suplai senjata, merek senapan, dan gaji milisi, Wiranto cuma menukas, "Urusan saya selaku Panglima adalah policy, bukan urusan kecil-kecil seperti itu." Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab? Jenderal bintang empat yang lama menjadi ajudan Presiden Soeharto ini menunjuk Pangdam IX/Udayana, Mayjen Adam Damiri, sebagai penanggung jawab operasional di lapangan. Ia juga menunjuk Kapolda Dili, Kol. Pol. Timbul Silaen, dan Danrem 164/Wiradharma Dili, Kolonel Tono Suratman. "Ada kesan Wiranto mengalihkan tanggung jawab ke Adam Damiri," kata sumber ini. Selain soal tanggung jawab, ada satu pertanyaan kunci yang disodorkan kepada Wiranto. Pertanyaan ini didapat Komisi setelah mendengar kesaksian Uskup Belo. Peraih Nobel Perdamaian itu mengungkapkan bagaimana Wiranto mendiamkan sebuah aksi kekerasan pada 5 September 1999. Waktu itu diosis Belo tengah diobrak-abrik milisi Aitarak. Pas hari itu, Jenderal Wiranto tengah meninjau situasi keamanan di Dili. Maka, mengadulah Belo ke sang Panglima. Apa jawaban Wiranto? Cuma kalimat pendek yang sinis. "Sekarang, Uskup silakan saja bikin Dare (kesepakatan perdamaian) I, II, III, IV," kata Belo menirukan Wiranto. Hal ini juga disangkal. Saat itu, kata Wiranto di depan Komisi, ia mengeluarkan perintah untuk menindak tegas para begundal. Usai pemeriksaan, kepada pers, Jenderal Wiranto membantah semua kesaksian yang menuding keterlibatan dirinya dan TNI. Cilangkap tak pernah mengeluarkan perintah bumi hangus. "Masa, kita disamakan dengan (pelaku) kejahatan perang saat Perang Dunia Kedua dulu," katanya. Apa pun keterangan Wiranto, berlangsungnya pemeriksaan ini adalah langkah maju untuk mengungkap aksi bumi hangus Tim-Tim. Sebelumnya, keras bertiup kabar bahwa Wiranto dan para jenderal Cilangkap bakal memboikot pemanggilan Komisi. Bahkan, Rabu pekan lalu, Wiranto, yang dijadwalkan tiba di ruang komisi untuk diperiksa, ternyata batal hadir. Ada kesengajaan? Sulit menebaknya. Yang pasti, sampai Selasa malam, kepada TEMPO, seorang anggota Komisi masih menyatakan Wiranto pasti hadir, meski, kata sang anggota, dalam pertemuan antara Tim Markas Besar TNI yang dikomandani Laksamana Mengko dan pimpinan KPP, Senin pekan lalu (20/12), mulai terlihat gelagat bahwa Wiranto enggan datang. Saat itu, Mengko berupaya "menawar". "Mereka, misalnya, keberatan dengan status pemeriksaan," kata sumber ini lagi. Untuk meminta pemunduran jadwal, ada kabar Wiranto bolak-balik ke Istana. Upaya "membeli waktu"? Entahlah. Namun, Sekretaris Tim Advokasi Perwira TNI Yan Djuanda Saputra memastikan bahwa justru pada pertemuan Senin itulah pengunduran jadwal disepakati. Menurut Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sudrajat, hari itu Cilangkap telah melayangkan surat minta penggeseran jadwal. Keesokan harinya, surat persetujuan dari Komisi diterima. Jadwal Wiranto dipindah ke tanggal 28 Desember. "Jadi, itu karena skedulnya diubah KPP sendiri," kata Sudrajat. Tapi, belakangan, jadwal itu kembali berubah. Menurut seorang anggota Komisi, pada Kamis siang (23/12), mendadak Albert Hasibuan dikontak Laksamana Mengko. Isinya, minta agar pemeriksaan diadakan Jumat (24/12). Diduga pemilihan hari Jumat ini ada maksudnya. "Besoknya kan sudah Natal dan sehari kemudian hari Minggu. Pemberitaan koran pasti sepi," kata sumber ini, curiga pemilihan hari itu ada kaitannya dengan hari Natal saat tak sebuah koran pun terbit. Tapi perhatian pers melimpah-ruah Jumat itu. Ruang pemeriksaan di lantai dua Gedung Komnas itu sesak dengan wartawan. Koran-koran Ibu Kota terbitan Minggu habis-habisan memajang berita ini di halaman depan. Selain Jenderal Wiranto, sejak Selasa kemarin, 11 nama juga telah diperiksa. Di antara mereka, para komandan milisi seperti Eurico Gutteres (Aitarak) dan Manuel Sousa (Besi Merah Putih) berlagak "jual mahal" dan memilih mangkir. Sudah begitu, rupanya ada semacam "konsensus" bersama: semua keterangan harus "disetem" sama. Dari sekian banyak mulut itu hanya ada satu jawaban: aksi bumi hangus dilakukan warga yang kecewa berat dengan hasil jajak pendapat yang dicurangi Unamet. Kalau di Jakarta "Komisi Albert Hasibuan" sibuk bekerja, di Loro Sa'e pun investigasi jalan terus. Sejumlah "kuburan massal" kembali ditemukan. Sydney Jones dari unit hak asasi UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor) mengungkapkan laporan warga soal 18 kuburan berisi 54 mayat di Oekusi. Karena belum digali, kebenarannya belum bisa dipastikan. Di Liquica, pada akhir November ditemukan 24 kuburan. Hingga kini, kata Jones lagi, total jenderal sudah ditemukan sekitar 200 mayat. Di luar itu, ada tiga ratusan lokasi yang dilaporkan warga dan belum diselidiki. Cuma, penyelidik musti ekstrahati-hati mengeceknya. "Banyak informasi palsu," katanya. Pekan ini, kata juru bicara United Nations High Commissioner for Human Rights, Jose Diaz, laporan CIET (Commission of Inquiry on East Timor) akan rampung. Sesuai tenggat, hasil investigasi itu mesti sudah diterima Sekretaris Jenderal PBB pada 31 Desember ini. Isinya ternyata lumayan gawat: CIET bakal memberi rekomendasi kepada Dewan Keamanan untuk menggelar Mahkamah Penjahat Perang. Otomatis Wiranto dan kawan-kawan akan diadili mahkamah internasional? Itu banyak tergantung pada hasil kerja "Komisi Albert" di Jakarta. Soalnya, kata Jose Diaz, Komisi Hak Asasi PBB terus memelototi Jakarta untuk memastikan apakah proses pemeriksaan para jenderal dilaksanakan sungguh-sungguh atau sebatas upaya menghindari mahkamah internasional. "Tapi, sekarang semua masih skeptis," katanya. Kesungguhan PBB ini juga dicatat oleh Ferry Adamhar, staf perwakilan tetap RI di PBB. Ia mengatakan bahwa jurus nebis in idem (seseorang tak bisa diadili dua kali untuk tindak pidana yang sama) yang tengah dimainkan Republik bukan lagi jaminan kuat bagi Wiranto Cs untuk diadili di Jakarta. Soalnya, Konferensi International Criminal Court di Roma beberapa tahun lalu menyepakati bahwa kaidah itu bisa ditolak jika peradilan yang digelar terbukti tak obyektif. Katakanlah dalam sidang Dewan Keamanan nanti Cina—yang disebut-sebut bakal memveto persidangan internasional—akhirnya ikut setuju, pembentukan tribunal internasional tetap harus sepersetujuan Jakarta. Tapi, kalaupun Jakarta bersikukuh menolak, itu tak akan berarti banyak. Mahkamah akan tetap digelar dalam bentuk pengadilan in absentia. Buntutnya, para jenderal mesti berpikir seribu kali untuk bepergian ke luar negeri. Salah-salah mereka bisa bernasib seperti mantan presiden Cile, Jenderal Pinochet, yang kena "garuk" di Spanyol. Tinggal pilih, jenderal.... Karaniya Dharmasaputra, Andari Karina Anom, Purwani Dyah Prabandari, Darmawan Sepriyossa, Arif Kuswardono (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus