Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

''Peran Wiranto Sangat Besar"

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Pertahanan Prof. Dr. Juwono Sudarsono, 57 tahun, kini beristirahat di Rumah Sakit Pondok Indah, sejak Selasa pekan lalu. Guru besar ilmu hubungan internasional Universitas Indonesia itu agaknya mengalami kecapekan yang luar biasa, seperti kata seorang stafnya. ''Dia mengalami tekanan dari dalam dan luar negeri dalam hal penyelidikan sejumlah perwira tinggi militer dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia," kata sumber itu.

Juwono ditekan? Begitulah spekulasi yang berkembang. Menteri berbadan tegap ini memang seperti mengayuh di antara dua karang. Di satu sisi dia harus memperjuangkan supremasi sipil terhadap militer, di sisi yang lain ia toh belum bisa sepenuhnya memegang militer dalam kendalinya—sesuatu yang seharusnya bisa dilakukannya sebagai Menteri Pertahanan. Berikut ini petikan wawancara wartawan TEMPO Andari Karina Anom dan fotografer Rini P.W.I. dengan Menteri Juwono, Rabu dua pekan lalu, sebelum ia jatuh terserang stroke.


Anda adalah Menteri Pertahanan sipil pertama setelah hampir 40 tahun. Apakah ini awal dari supremasi sipil atas militer?

Ini baru langkah awal. Menteri Pertahanan terakhir dari kalangan sipil adalah Juanda, pada 1957-1959. Dengan adanya Menteri Pertahanan sipil, keputusan-keputusan politik tertinggi—khususnya mengenai pertahanan keamanan—akan lebih banyak ditangani oleh sipil. Tugas saya sekarang adalah mengantar menuju sasaran akhir, yang mungkin terwujud lima sampai sepuluh tahun lagi, saat Panglima TNI menjadi Ketua Gabungan Kepala Staf atau Chief of Defense Force yang kedudukannya di bawah Menteri Pertahanan.

Menurut Anda, apakah TNI bisa menerima pengurangan peran itu?

Itu terjadi karena terlalu lamanya dwifungsi diterapkan, terutama selama 15 tahun terakhir. Tapi, semakin maju perekonomian, semakin rumit bidang pekerjaan, semakin diperlukan orang-orang teknis yang ahli di bidangnya: akuntan, ahli hukum, dan profesional lainnya. Dalam sebuah seminar di Sekolah Komando Angkatan Darat pada 1990 disebutkan bahwa TNI harus mempersiapkan perwira-perwira yang pandai manajemen dan bisa terjun ke bidang nonmiliter. Sekarang, karena terjadi krisis 1998, Pak Harto lengser dan kemudian terungkap penculikan aktivis oleh Kopassus. Ini membuat peran dan keabsahan tentara menurun di mata masyarakat.

Dalam seminar di Lembaga Pertahanan Nasional tahun lalu, Anda menyatakan bahwa sementara sipil belum siap, militer masih dibutuhkan di pemerintahan?

Saya mau bilang bahwa dalam rangka menegakkan supremasi sipil atas militer, saya harus dibantu oleh partai-partai. Sekarang partai-partai masuk dalam arus euforia politik sehingga mereka tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya, seperti membangun sistem kerja yang teratur. Sistem kepartaian yang sehat akan mengarah ke sistem pemilu yang sehat sehingga bisa memilih presiden secara demokratis. Hal ini bisa membenarkan perlunya sipil memegang kendali atas kebijakan ketentaraan. Tapi, kalau partai politiknya masih cakar-cakaran seperti sekarang, cepat atau lambat kita bisa seperti Pakistan, yang dikudeta oleh tentaranya.

Dalam hal pengurangan peran TNI, kabarnya Anda mendapat tantangan keras dari Wiranto?

Saya tidak merasakan adanya hambatan dari Wiranto. Ia malah memercayakan saya untuk melaksanakan transformasi secara bertahap ini. Memang, sampai sekarang, masih ada kesejajaran antara Panglima TNI dan Menteri Pertahanan. Dalam waktu lima tahun ke depan, siapa pun yang menjabat Panglima TNI, kedudukannya di bawah Menteri Pertahanan. Untuk kepentingan administrasi keuangan dan perencanaan, Panglima TNI tunduk pada Menteri Pertahanan. Wiranto setuju terhadap wujud akhir yang akan kita capai itu. Tapi, selama masa transisi itu, kita akui bahwa peran Wiranto sangat besar. Dia adalah salah satu dari lima orang yang menentukan komposisi kabinet.

Gus Dur ''tidak berkutik" terhadap Wiranto?

Tidak begitu. Lead-nya tetap ada di Gus Dur. Namun, Gus Dur sadar bahwa ia harus menjaga keseimbangan kekuatan-kekuatan politik di dalam negeri. Saya bisa terpilih dan disepakati oleh Gus Dur dan Wiranto untuk menjabat Menteri Pertahanan ini karena saya tidak punya basis kekuatan politik apa pun. Saya tidak mewakili dan tidak mengancam kekuatan politik mana pun. Saya cuma seorang akademisi.

Bagaimana pendapat Anda soal pensiun bagi perwira TNI yang masuk ke jabatan sipil?

Itu hak istimewa presiden. Sebagai panglima tertinggi, presiden berhak menetapkan, menunda, atau meniadakan keputusan itu.

Wiranto kabarnya menolak dipensiunkan?

Sebetulnya tinggal masalah hukumnya saja. Terlepas dari pensiun atau tidak, keempat perwira aktif yang duduk di kabinet merupakan bagian dari satu perimbangan politik yang telah diperhitungkan oleh Gus Dur. Kalau kita lihat komposisi kabinet dan perimbangan kekuatan di DPR-MPR, kita mudah mengerti kenapa sampai sekarang Gus Dur belum memutuskan itu. Gus Dur ingin membuat orang tidak pasti. Tiap-tiap kekuatan tetap dikendalikan oleh tangannya.

Kabarnya, hubungan Gus Dur dan Wiranto merenggang. Misalnya, ada siaran pers Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Polkam) yang mengatasnamakan Presiden yang memberikan wewenang kepada TNI untuk menggunakan tindakan represif dalam kasus Aceh. Gus Dur di-fait accompli?

Itu bukan fait accompli. Itu adalah konsensus dari rapat Polkam di kabinet. Hanya, terjadinya saat Gus Dur sudah mau berangkat ke luar negeri dan rilis itu tidak ada cap Sekretariat Negaranya sehingga menjadi bahan spekulasi. Saya kira saat ini kita dipimpin oleh seorang presiden dari kalangan lembaga swadaya masyarakat yang sangat humanis. Kita bisa mengerti mengapa yang dikedepankan adalah pendekatan politik rekonsiliasi dan rujukan. Tapi saya juga wajib menyampaikan kepada presiden bahwa dalam kenegarawanan adakalanya kita harus memilih untuk memutuskan tindakan represif yang terukur dan terbatas supaya wibawa dan respek terhadap alat negara tetap ada.

Ini soal lain. Mengapa Anda tidak setuju dengan pengadilan koneksitas bagi jenderal yang melanggar hak asasi manusia?

Menurut saya, mempertahankan Tim-Tim adalah kebijakan politik tertinggi. Maka, yang harus dimintai tanggung jawabnya adalah presiden terdahulu yang memberikan opsi itu. Wiranto selaku Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima TNI hanya menjalankan keputusan. Yang bisa digugat adalah pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh orang-orang di tingkat komando yang terbukti melakukan tindakan yang melampaui perintah operasi.

Tapi para jenderal itu kan tidak berusaha mencegah pelanggaran hak asasi tersebut terjadi?

Bisa saja begitu. Jika bukti-bukti yang ditemukan sudah berdasarkan pertimbangan hukum yang matang, itu berarti memang layak untuk diperkarakan. Sampai sekarang kan belum ada bukti-bukti itu.

Tapi Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) kan menemukan bukti keterlibatan perwira TNI di Timor Timur?

Saya melihat ada pengembangan opini antimiliter yang kuat dari luar negeri atas nama demokrasi. Ini terkait dengan kuatnya pengaruh Amerika dan PBB di Tim-Tim. Saya rasa ini tidak fair karena PBB dan lembaga-lembaga internasional tidak pernah satu kali pun mempersoalkan kecurangan-kecurangan Unamet (United Nations Mission in East Timor) menjelang, pada saat, dan sesudah pelaksanaan jajak pendapat. Pembentukan opini ini dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat dalam negeri yang sebagian besar juga didanai dari luar. Di satu sisi saya bisa mengerti karena setiap komisi hak asasi harus galak dan temuannya harus dramatis.

Anda pernah bilang pengadilan koneksitas melemahkan moral prajurit?

Kalau kita melihat peristiwa Santa Cruz, ada 22 perwira yang diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Perwira karena mereka disudutkan oleh opini publik. Sekarang sangat sulit bagi seorang komandan di lapangan untuk memerintah prajuritnya. Jangan-jangan nanti disalahkan. Dalam memilih profesi prajurit, seseorang sebenarnya sudah kehilangan hak asasinya. Jika dalam melaksanakan tugasnya ia melampaui batas-batas perintah operasi, ia bisa kehilangan pekerjaannya. Sekarang kita lihat di Aceh, begitu kita menunda-nunda penerapan darurat sipil dan militer, ternyata Gerakan Aceh Merdeka makin merajalela menembaki polisi.

Anda juga menolak konsep negara federasi?

Menurut saya, ada tiga alasan mengapa federasi belum cocok untuk Indonesia. Pertama, dalam sistem federal, setiap hubungan antara negara bagian dan pusat adalah sama dan seimbang. Padahal, di Indonesia, antara Irianjaya dan Kalimantan saja sangat berbeda. Hubungan simetris tidak bisa dilaksanakan karena bobot politik dan ekonominya lain. Kedua, letak dan lokasi negara kita yang berbentuk kepulauan akan menyulitkan. Negara federal yang satu benua—seperti Uni Soviet—pun tidak semuanya berhasil. Ketiga, posisi strategi Indonesia sebagai kepulauan di tengah lalu-lintas internasional begitu sarat dengan kepentingan Cina, Jepang, Amerika, dan Rusia. Bisa dibayangkan kalau nanti ada negara Sulawesi, Sumatra, dan sebagainya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus