SEORANG ahli hukum pernah menyebut jabatan wakil presiden sebagai semacam "ban serap". Bukan buat menghina. Justru untuk menunjukkan, betapa pentingnya sebuah negara punya wakil presiden -- sebab tiap sopir yang baik tahu apa manfaatnya ban cadangan dalam sebuah perjalanan penting. Soal ini jadi menarik lagi ketika diketahui bahwa seorang wakil presiden punya hak dan kemungkinan buat jadi Ketua Umum Golkar. Persisnya Wakil Presiden Sudharmono, yang namanya tampil di antara yang disebut-sebut sebagai calon Ketua Umum DPP Golkar dalam musyawarah nasional organisasi politik terbesar itu, 20 Oktober yang akan datang. Bila terpilih nanti, maka Sudharmono akan jadi Ketua Umum Golkar untuk kedua kalinya, setelah ia memegang jabatan itu sejak Munas Golkar ke-3 Jakarta, lima tahun yang lalu. Juga ia akan jadi Ketua Umum Golkar pertama yang merangkap jabatan wakil presiden. Soalnya kemudian: Apa tak merepotkan? Jawabannya tergantung peran wakil presiden menurut konstitusi. Dalam UUD jabatan ini "tak ada hubungannya dengan GBHN," kata Prof. Padmo Wahyono, ahli hukum tata negara dari UI. Artinya, wakil presiden itu -- sekalipun dipilih oleh MPR -- bukanlah mandataris MPR. Yang disebut mandataris MPR hanya presiden: orang yang memperoleh mandat atau kuasa dari MPR untuk menjalankan GBHN. "Karena wakil presiden itu hanya pembantu presiden saja yang tugas-tugasnya diatur dengan kesepakatan presiden," kata Padmo Wahyono pula. Ismail Suny, guru besar Fakultas Hukum UI, menambahkan satu hal lagi: "Di dalam undang-undang dasar, tak ada disebut kalau wakil presiden itu adalah Wakil Panglima Tertinggi ABRI." Menurut Suny, di dalam UUD kekuasaan wakil presiden kecil sekali. Tentu saja, bila segalanya berjalan rapi. Soalnya, menurut Ketetapan MPR nomor tujuh, tahun 1973, pasal 2, "Dalam hal presiden berhalangan tetap, maka ia diganti oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya." Toh tafsiran tentang ini bisa punya tekanan yang beragam. Menhankam Jenderal L.B. Moerdani, misalnya, berpendapat bahwa seorang wakil presiden memang otomatis akan menggantikan presiden seperti yang disebutkan ketetapan MPR, tapi "tidak sebagai mandataris MPR". Alasannya: di dalam Sidang Umum MPR, pekerjaan memilih presiden, wakil presiden, menerima GBHN, dan menunjuk mandataris, adalah hal yang terpisah. "Pernah dengar wapres itu menjadi Wakil Panglima Tertinggi ABRI?" katanya. Jadi, bila di tengah jalan ada pergantian presiden, maka mandataris itu -- yang juga sebagai Panglima Tertinggi ABRI -- harus dipilih lagi oleh MPR. Selama ini memang belum pernah ada konvensi politik seperti itu. "Itu akan muncul kalau kebutuhan muncul. Atau adakan sidang istimewa MPR," katanya. Padmo Wahyono maupun Ismail Suny agak berbeda penafsiran. Menurut mereka, soal itu sudah jelas di dalam UUD 45 (pasal 8): begitu presiden berhalangan, otomatis wakil presiden menjadi presiden. Untuk legalitas, sebelumnya wakil presiden membacakan sumpah atau janji di depan DPR atau Mahkamah Agung. "Setelah diambil sumpahnya, otomatis semua fungsi presiden melekat padanya." Bila presiden dan wakil presiden sekaligus berhalangan tetap, maka diperlukan sidang istimewa MPR untuk mengangkat presiden dan wakil presiden yang baru, selambatlambatnya satu bulan setelah pejabat-pejabat penting negara itu tak bisa menjalankan tugasnya secara tetap. Sementara itu, menteri dalam negeri, menteri luar negeri, dan menteri pertahanan-keamanan secara bersama-sama menjadi pemangku sementara jabatan presiden. Hal ini diatur dalam pasal 5 ketetapan MPR yang disebut tadi. Ahli hukum memang harus memikirkan kemungkinan yang paling jauh -- termasuk kemungkinan yang tak menyenangkan. Di dalam menelaah kedudukan nomor satu dan nomor dua dalam Republik, tampaknya juga diperlukan keseragaman penafsiran terlebih dulu. Tetapi dari pengalaman nampak bahwa tidak kurang penting juga ialah bagaimana suatu hukum ketatanegaraan disepakati kekuatan-kekuatan politik yang aktif. Di tahun 1966-1967, ketika terjadi pergantian kepemimpinan nasional pertama kali dalam sejarah republik, untung sekali tak terjadi guncangan kekerasan yang besar, walaupun saat itu ada ketegangan politik yang meluas. Hari-hari ini juga Indonesia masih beruntung. Meskipun Pak Harto pernah menyebut kata "miris" dalam pidatonya ketika ia dicalonkan kembali oleh Golkar untuk jabatan presiden, dalam pidato pelantikannya di depan Sidang Umum MPR, 11 Maret 1988, Presiden berkata, "Dengan sekuat tenaga, Insya Allah, tugas kepresidenan itu akan saya laksanakan sepenuh-penuhnya selama lima tahun yang akan datang." Sementara itu, tentu saja, tidak ada salahnya para ahli menelaah hukum, dan para pengatur politik tetap menyusun suatu mekanisme yang akan menjamin soal suksesi kelak di kemudian hari bisa berjalan dengan tanpa guncangan. AN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini