PEPATAH "kesulitan tidak pernah datang sendirian" mungkin ada benarnya juga. Belum beres tuduhan yang menyatakan PT Inti Indorayon Utama (IIU) bertanggung jawab atas bobolnya waduk penampung limbah mereka (TEMPO, 10 September 1988), kini dakwaan baru datang lagi. Pemilik pabrik pulp di Sumatera Utara itu kini dituding menebas 3.500 hektar hutan alam dan pinus di Sibatuloting, 140 km dari Medan. Penebangan itu, kabarnya, berlangsung sejak akhir 1987. Akibatnya baru terasa pada Agustus kemarin, ketika kawasan itu disiram hujan beruntun. Banjir meluap melalui Bah (sungai) Bolon, menghantam seluruh jaringan irigasi di daerah tersebut. Empat dari 143 bendungan di wilayah itu keropos diterjang air. Ke-4 bendungan itu mulai dibangun awal 1988 dengan dana Rp 4,3 milyar. Misalnya, yang di Marihat Raja, Kecamatan Dolok Panribllan, baru 12 pekan lalu selesai dikerjakan. "Itu sebabnya bendungan belum kuat menerima tekanan," kata J. Banjarnahor, Pimpinan Proyek Irigasi Simalungun (PIS), kepada TEMPO. Bisa dimaklumi bila Bupati Simalungun J.P. Silitonga sewot. Sibatuloting di Simalungun, Sum-Ut, seluas 33 ribu hektar itu, selama ini paling diandalkan Silitonga menjaga sumber air bagi seluruh irigasi di sana. Silitonga menganggap produksi beras di daerahnya masih bisa ditingkatkan dengan pembangunan irigasi besar-besaran. Dengan suntikan dana Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar Rp 172 milyar, pada Juli 1984, PIS mulai dibangun. Diharapkan, PIS kelar pada 1991 dan mampu mengairi 51 ribu hektar sawah. Tapi ada syarat. Silitonga harus menghijaukan 20 ribu hektar alang-alang Sibatuloting dan sekitarnya, mengingat peranan Sibatuloting yang tak dapat ditawar demi PIS. Dalam menjaga wilayahnya, Silitonga dikenal keras. Pada 1980, dia menggusur 42 pemegang HPH, yang dituding menggerogoti hutan Sibatuloting, disusul 4 lainnya pada 1985. Tapi, yang tak diketahui Silitonga, pada 1984, IIU sudah mengantungi izin HPH 100 ribu hektar di berbagai tempat di Sum-Ut, di antaranya 25 ribu hektar berada di Sibatuloting. Sebagian besar konsesi itu hutan pinus yang sudah ditebang 100 hektar sebagai bahan baku pabrik pulp, di Sosor Ladang, 200 km dari Medan. Untunglah, Emil Salim, Menteri KLH menghentikan penebangan itu (TEMPO, 4 April 1987). Lalu muncul kesepakatan dengan pihak IIU. Penebangan bisa dilakukan dengan cara membagi Sibatuloting dalam puluhan petak. Penebangan sebuah petak dengan petak lain harus berjauhan, agar tetap mampu menahan arus air hujan. Kesepakatan itulah yang ditabrak IIU dalam penebangan yang dilakukannya sejak akhir 1987 itu. Karena akibatnya sudah tampak, Silitonga mengirim surat peringatan, berkali-kali. Hasilnya nihil. Akhirnya, sang bupati mengadu ke Raja Inal Siregar, Gubernur Sum-Ut, awal September lalu. Kemudian, Raja Inal memerintahkan Abdul Hakim Nasution, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Sum-Ut, mengoordinasikan seluruh kegiatan IIU. Apakah akan berhasil? "Tampaknya payah, perusahaan itu bandel," kata sumber TEMPO di Bappeda Sum-Ut. Sampai akhir pekan lalu, penebangan masih berjalan. Sukanto Tanoto, 41 tahun, Direktur Utama IIU, menolak tuduhan itu. "Saya sudah membangun republik ini, malah dituduh macam-macam," kata Sukanto. "Kami cuma menggasak semak, dan sisa kayu potongan pemegang HPH terdahulu," katanya kepada TEMPO. Di tempat yang sudah dibersihkan di Batuloting, sudah 300 hektar pohon eucalyptus ditanam. Akan halnya bendungan yang pecah itu, Sukanto mengatakan, "Silitonga cuma mencari kambing hitam." MS dan Sarluhut N. (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini