Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Istilah kartel politik bergaung belakangan ini. Kartel politik adalah sistem kerja sama yang cenderung mewujudkan kemapanan sistem kepartaian dalam politik di Indonesia dikutip journal.unnes.ac.id. Namun, sistem ini lebih banyak merangkul partai politik yang berlainan ideologi untuk menghindari konflik dalam pengambilan keputusan di parlemen, bukan untuk kepentingan masyarakat. Karenanya, sistem kartel mewujudkan sebuah pemerintahan yang tidak sehat bagi masyarakat, terutama pada sistem negara demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun tujuan utama perjuangan partai kartel bukan kepentingan masyarakat, melainkan untuk kepentingan kelompoknya. Kepentingan masyarakat seringkali terpinggirkan, dikeranakan ketergantungan partai kartel yang semakin besar kepada negara. Lebih lanjut, partai kartel ditandai dengan bergabungnya partai-partai politik dalam satu koalisi besar partai pemerintah yang mendukung dan menjaga jalannya pemerintahan yang terpilih hingga akhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dinukil dari journal.unnes.ac.id, kartel politik yang menjelma sebagai koalisi partai politik ini menjadi sebuah sistem yang melindungi dan mendukung penyalahgunaan kekuasaan oleh elit partai di pemerintahan. Sebab itu, lembaga ataupun instansi yang memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengendalikan pemerintahan hanya menjadi sebuah simbol bagi terciptanya demokrasi yang sebenarnya hanyalah demokrasi semu.
Sejarah Kartel Politik di Indonesia
Partai kartel di Indonesia pertama kali muncul dengan adanya kolusi banyak partai politik kecuali Partai Keadilan Bangsa (PKB) untuk menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada periode 2000-2001. Mulai saat itu partai kartel terbentuk dan menjadi semakin kuat selama masa kepresidenan Megawati Soekarno Putri (2001-2004). Koalisi antar partai-partai yang berkolusi tersebut bersama-sama mengamankan kedudukan Megawati hingga akhir masa jabatannya pada 2004.
Sebagai imbalannya, jabatan-jabatan kementerian dalam kabinet Megawati diberikan kepada partai-partai pendukungnya. Kemudian di bawah pemerintahan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Golongan Karya (Golkar), kartel ini melanjutkan diri mempersiapkan pemilihan umum 2004 yang kembali mengusung Megawati Soekarno Putri sebagai Calon Presiden Indonesia periode 2004-2009.
Namun kekelahan calon presiden yang diusung oleh partai kartel dalam pemilihan umum 2004 tersebut telah merubah konstelasi peta partai kartel di Indonesia. Saat itu pemilihan umum 2004 dimenangkan Partai Demokrat (PD) yang bukan merupakan bagian dari partai kartel masa itu, sehingga eksistensi partai kartel sempat diprediksikan mulai menghilang dalam sistem kepartaian di Indonesia.
Karena itu, Pemilihan Umum 2004 telah menciptakan perpecahan suara dalam Partai Golkar, suara Golkar terbagi dua antara pendukung Megawati-Hasyim Muzadi dengan Jusuf Kalla (JK) yang menjadi Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal ini diprediksikan akan mempertegas hilangnya partai kartel, namun kemenangan PD tersebut ternyata telah kembali membuka lembaran baru bagi keberlanjutan sistem partai kartel di Indonesia yang semakin menguat.
Adapun partai kartel kemudian kembali muncul sebab dilatarbelakangi keinginan pemerintahan SBY-JK untuk mendirikan dan menguatkan kembali sistem pemerintahan melalui dukungan antar partai politik di parlemen, yang bertujuan untuk menghindari munculnya kritik terutama konflik dalam penentuan kebijakan oleh pemerintahan yang sedang berjalan. Hal ini terjadi dikarenakan setelah pemilihan umum, kelompok koalisi partai kartel (PDIP-Golkar-PKB) mendeklarasikan diri sebagai partai oposisi dengan membentuk “Koalisi Partai Kebangsaan”.
Untuk diketahui, substansi partai kartel berbeda dengan substansi dari partai koalisi, walaupun partai kartel dan partai koalisi sama-sama merupakan gabungan kelompok partai-partai politik, tetapi keduanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam proses politik.
Kelompok partai kartel bergabung bersama-sama dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan melalui sumber-sumber dana maupun kekuasaan negara dengan menghilangkan perbedaan ideologi, sedangkan partai koalisi mengandung makna kerja sama untuk mewujudkan sebuah sistem pemerintahan yang didasarkan kepada persamaan visi misi partai tanpa menghilangkan sama sekali identitas dari ideologi partai.
Adapun saat ini, sebagaimana diketahui telah tebentuk koalisi raksasa yaitu Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang sebelumnya mengusung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Adapun KIM plus telah menghimpun 12 partai besar diantaranya Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Garuda, Partai Gelora, Partai Perindo, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI I RACHEL FARAHDIBA R | NOVALI PANJI NUGROHO
Pilihan Editor: Bagaimana PSI Menjadi Bagian dari Kartel Politik?