Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Pakar: Menguntungkan Kartel Politik dan Logika Sesat

Wacana kepala daerah kembali dipilih DPRD diusulkan Presiden Prabowo saat berpidato di HUT ke-60 Partai Golkar, Kamis, 12 Desember 2024.

18 Desember 2024 | 10.36 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wacana perubahan sistem pilkada dari pemilihan langsung ke pemilihan di DPRD belakangan jadi sorotan. Wacana itu kembali mengemuka ketika Presiden Prabowo Subianto berpidato di HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024. Ketua Umum Partai Gerindra ini menyebut ada peluang kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden mengklaim sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD akan mampu menekan ongkos politik di pilkada. Prabowo juga menyinggung efisiensi anggaran ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Di samping tidak boros anggaran, sistem pemilihan lewat DPRD juga mempermudah transisi kepemimpinan. Ia mencontohkan pemilihan di Malaysia, Singapura, dan India.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lantas, bagaimana tanggapan pakar hukum tata negara dengan wacana tersebut?

Pakar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai pilkada lewat DPRD hanya akan menguntungkan kartel atau koalisi partai politik saja. "Kalau sistemnya sudah diserahkan sepenuhnya kepada DPRD yang artinya balik lagi ke elite, balik lagi ke kartel politik, kita hanya akan nonton saja siapa yang jadi gubernur, siapa yang jadi bupati," kata dia kepada Tempo, pada Senin, 16 Desember 2024.

Dia menjelaskan demokrasi tak boleh diukur semata-mata dengan kacamata efisiensi saja. Namun harus dibaca dengan kacamata efektivitas dari demokrasi yang substantif. "Jadi, apakah warga punya kontrol atau enggak, apakah connect dengan warga atau enggak? Justru kalau dikasih ke DPRD, nanti akan jadi mainannya elite saja dan kartel politik," ujarnya.

Dalam konteks saat ini, kata dia, yang akan diuntungkan adalah Koalisi Indonesia Maju atau KIM Plus. Menurut dia, kegagalan sejumlah kader atau paslon yang diusung oleh KIM Plus di pilkada serentak 2024 membuat partai-partai itu terganggu.

Salah satu yang menjadi sorotan bagi Bivitri adalah calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Ridwan Kamil-Suswono, yang di-endorse oleh Prabowo justru harus menanggung kekalahan. Menurut dia, hasil itu merupakan bentuk perlawanan yang terbilang sukses terhadap penguasa.

"Terlepas dari di belakangnya banyak dinamika, tapi sama fenomena Jakarta, fenomena kotak kosong menang, menurut saya itu adalah pertanda bahwa sebenarnya suara warga itu masih bisa masuk kalau sistemnya langsung," kata Bivitri.

Kekalahan itu, menurut dia, bagai disrupsi bagi koalisi besar itu. "Itu disrupsi buat KIM Plus. Kok bisa akhirnya mereka kalah? Mereka, penguasa penginnya semuanya sama suaranya, jadi enggak ada sama sekali kontrol bagi mereka," tutur Bivitri.

Dia mengatakan para penguasa mulai terganggu dengan sejumlah upaya yang dilakukan rakyat agar demokrasi tetap berjalan. Karena itu, Bivitri menuding wacana pengembalian pilkada lewat DPRD bertujuan agar penguasa lebih mudah memegang kendali.

"Diganggu sama demokrasi yang menurut saya sudah pelan-pelan kita bongkar-bongkar lewat MK, lewat aksi peringatan darurat, mereka keganggu dengan itu, makanya mau ditarik saja ke DPRD supaya gampang dikontrol."

Dia menegaskan wacana tersebut tak boleh sampai lolos. Publik, kata Bivitri, harus mengingatkan agar pilkada melalui DPRD tak dilakukan. "Kalau misalnya mau diubah undang-undangnya, mungkin sama saja kayak waktu pilkada itu kemarin mau diubah juga, 22 Agustus kita harus aksi turun ke jalan sebesar itu lagi. Bahkan, mungkin lebih besar untuk mengingatkan ini enggak boleh dilakukan," kata dia.

Sementara itu, dosen ilmu hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai wacana pemilihan kepala daerah kembali melalui DPRD sebagai logika yang sesat. Menurut dia, terdapat dua perspektif atau kekuatan dalam mengubah suatu undang-undang. Pertama, harus menampung partisipasi publik.

Dia menuturkan, sebelumnya tak ada sinyal bahwa pemerintah ingin mengubah Undang-Undang Pilkada. "Tiba-tiba sekarang ujug-ujug mereka lakukan. Atas partisipasi siapa, atas kehendak publik yang mana mereka mengubah Undang-Undang Pilkada?" kata Feri saat dihubungi Tempo pada Senin, 16 Desember 2024.

Kekuatan kedua, kata dia, harus ada kajian, naskah akademik, dan lain-lain untuk mengubah undang-undang. Poin ini, menurut Feri, juga belum dilakukan oleh pemerintah. Namun Prabowo dinilai sudah menarik kesimpulan bahwa solusinya adalah pilkada harus dikembalikan melalui DPRD. "Itu kan logika sesat, yang membuat sudut pandang Prabowo itu betul-betul jungkir balik," kata dia.

Dia juga menyebut Prabowo salah memberikan contoh negara sebagai referensi untuk mengubah sistem pilkada. "Memberikan contoh negara-negara saja salah dalam perspektif hukum ketatanegaraan. Referensinya saja Bahlil, Menteri ESDM, bukan menteri yang paham akan apa yang disebut pilkada itu," tutur Feri.

Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus