Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian kembali melemparkan wacana soal Pilkada Asimetris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pilkada asimetris mungkin perlu dipertimbangkan. Ini bukan hal aneh dan kita tidak perlu alergi. Di daerah-daerah istimewa kan sebenarnya sudah terjadi Pilkada asimetris ini seperti di DKI Jakarta dan Yogyakarta," kata Tito dalam diskusi daring, Sabtu, 20 Juni 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilkada asimetris yang dimaksud adalah sistem yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar daerah. Perbedaan tersebut bisa muncul dikarenakan suatu daerah memiliki karakteristik tertentu seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya ataupun aspek strategis lainnya.
Misalnya, seperti di DKI Jakarta yang wali kota dan bupati tidak dipilih melalui Pilkada. Hal tersebut dikarenakan status daerah tingkat II di DKI Jakarta bukanlah berstatus daerah otonom tetapi sebagai daerah pembantu. Kondisi ini membuat posisi wali kota dan bupati ditentukan oleh gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Menurut Tito, Pilkada asimetris ini bisa meminimalisir dampak negatif yang muncul karena penyelenggaraan Pilkada langsung.
Di antaranya mencegah polarisasi masyarakat yang terjadi karena pilihan politik yang berbeda dan mengantisipasi potensi terjadinya politik uang.
Dengan Pilkada asimetris, kata Tito, pemilihan langsung hanya akan digelar di daerah yang dinilai siap. "Untuk daerah yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tinggi dan sedang, kemampuan fiskal daerah kuat dan siap secara sosial, maka daerah itu bisa melakukan Pilkada langsung," ujarnya.
Sebaliknya, kata Tito, daerah yang masyarakatnya memiliki IPM rendah, kemampuan fiskal rendah dan kondisi sosial masyarakatnya tak siap, maka sebaiknya tidak digelar Pilkada langsung.