Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Pecah Setelah Takziah

Kasus Covid-19 meledak diam-diam di desa-desa. Mereka yang diduga positif terjangkit memilih tak menjalani uji usap membuat pemerintah daerah kelabakan melacaknya. Penduduk desa adat memilih tak mengandalkan pemerintah.

7 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Di desa-desa, angka kematian meningkat dan disinyalir disebabkan oleh Covid-19.

  • Kasus positif diduga tak terdeteksi dan tak tercatat dalam data pemerintah.

  • Pemerintah daerah beralasan pelacakan sulit dilakukan karena banyak tenaga kesehatan ambruk.

DI tengah angka kematian dan kasus Covid-19 meledak secara nasional, di kampung-kampung jumlahnya tersembunyi di sebalik pengumuman. Di Kampung Perak, Pariaman Tengah,Sumatera Barat, Aditya—bukan nama sebenarnya—acap heran tiap mendengar kabar duka dari pengeras suara masjid.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tinggal di rumah bibinya di kampung tersebut mulai 20 Juni lalu, laki-laki asal Jakarta itu minimal satu kali sehari mendengar pengumuman kedukaan. Keluarga dan tetangga tak pernah menyebut yang meninggal itu terkena Covid-19. “Pengumuman dari masjid bahkan mengajak penduduk kampung melayat,” tutur Aditya kepada Tempo, Kamis, 5 Agustus lalu.

Dia menduga kabar kematian yang tak pernah berhenti itu menjadi tanda virus corona telah menjangkiti Kampung Perak. Pada hari ketiga menginap di sana, laki-laki asal Jakarta itu pun jatuh sakit. Ia demam dan batuk. Keluarganya menyusul sakit sehari kemudian dengan gejala sama. Setelah itu, mereka kehilangan penciuman atau anosmia. Menurut Aditya, ketika dia tiba di rumah bibinya, adik sepupunya sudah batuk-batuk. Ia pun meyakini para penghuni rumah sudah terjagnkit virus corona.

Baca: Apa Penyebab Utama Kelangkaan Obat Terapi Covid-19?

Belakangan, kondisi kesehatan kakak iparnya, yang sesak napas, kian menurun. Sempat menolak dibawa ke rumah sakit, kakak ipar Aditya dinyatakan positif Covid-19 setelah hasil tes usap di Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman keluar pada 29 Juni lalu. Keluarga itu memutuskan menjalani isolasi mandiri dan tidak memberi tahu siapa pun. Selama masa mengucilkan diri itu, tak ada pegawai rumah sakit, dinas kesehatan, atau pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang melakukan pelacakan atau pengetesan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemberian bantuan paket obat COVID-19 kepada warga yang positif Covid 19 secara door to door di Walitelon, Temanggung, Jawa Tengah, 4 Agustus 2021. ANTARA/Anis Efizudin

Hingga akhirnya, bibi Aditya meninggal pada 5 Juli lalu. Namun jenazah perempuan 73 tahun itu tak dikuburkan dengan protokol Covid-19. Aditya mengatakan keluarganya menginginkan sang bundo dimakamkan sewajarnya tanpa dibungkus plastik. Malam harinya, keluarga itu tetap menggelar tahlilan. Karena bibinya itu tokoh masyarakat, penduduk kampung berbondong-bondong ke rumahnya. Sebagian tidak memakai masker. Bahkan Wali Kota Pariaman Genius Umar juga bertakziah.

Kepada Tempo pada Jumat, 6 Agustus lalu, Genius Umar mengklaim tak masuk ke dalam rumah. “Saya hanya melambaikan tangan,” tuturnya. Genius mengatakan selalu berusaha hadir jika ada penduduk yang meninggal. “Kalau saya enggak datang, masyarakat marah,” ujarnya.

Genius mengakui belakangan terjadi kenaikan jumlah kematian di wilayahnya. Namun dia menganggap jumlah itu tak signifikan. Genius mengatakan sulit memastikan kematian akibat Covid-19 jika tak melalui tes. Dia mengatakan sebagian penduduk Pariaman khawatir tak bisa dikuburkan sesuai syariat Islam jika tahu meninggal terkena Covid-19. Itulah sebabnya, menurut Genius, banyak orang enggan menjalani tes polymerase chain reaction (PCR).

Walikota Padangsidempuan, Irsan Efendi Nasution. Bagian Protokol & Komunikasi Pimpinan Setdako Padangsidimpuan

Di Nagari Rawang Gunung Malelo Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, angka kematian pun meningkat. Wali Nagari Gunung Malelo, Afrizal, mengatakan rata-rata lima sampai enam orang meninggal selama sepekan. “Biasanya tidak sebanyak ini,” ujarnya. Menurut dia, sebagian yang meninggal mengalami gejala terjangkit corona seperti sesak napas. Kebanyakan yang meninggal, ujar Afrizal, telah berusia lanjut. Penduduk setempat pun tak mengaitkan kematian itu dengan Covid-19.

Baca: Arisan Obat Covid di Ruang Rawat

Juru bicara Satuan Tugas Covid-19 Sumatera Barat, Jasman Rizal, mengatakan angka kematian akibat Covid-19 di wilayahnya meningkat. Pada Kamis, 5 Agustus lalu, tercatat 33 orang meninggal. Biasanya, hanya lima-sepuluh orang yang meninggal. Jasman tak menutup kemungkinan banyak kasus Covid-19 yang tak tercatat karena sebagian besar warga di wilayah itu enggan menjalani tes PCR.

Di Kelurahan Bincar, Kecamatan Padang Sidimpuan Utara, Sumatera Utara, angka kematian juga meningkat. Wali Kota Padang Sidimpuan Irsan Efendi Nasution mengatakan pernah ada kematian beruntun lima orang per hari pada pertengahan Juli lalu. Namun kelimanya tidak menjalani tes PCR. Keluarga pun meyakini mereka meninggal bukan karena virus corona. Warga Bincar pun ramai-ramai melayat. “Kami tak bisa melarang mereka untuk takziah,” kata Irsan. Lurah Bincar, Tahtim Siregar, mengatakan setelah takziah tersebut dilakukanlah tes usap. Hasilnya, tujuh orang positif Covid-19.

Wilayah Sumatera Utara dan Sumatera Barat masuk daerah penyumbang kasus Covid-19 tertinggi di luar Pulau Jawa. Sebagian wilayah di dua provinsi itu masuk zona merah. Berdasarkan data zona merah Satgas Covid-19 pada 1 Agustus lalu, lima wilayah di Sumatera Utara ditetapkan sebagai zona merah dan di Sumatera Barat ada sebelas wilayah.

Di Pulau Jawa pun meluasnya penularan Covid-19 diduga terjadi di berbagai desa dan tak terdeteksi. Camat Srandakan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Anton Yulianto mengatakan terjadi peningkatan jumlah warga meninggal di wilayahnya dalam tiga bulan terakhir. Dia menghitung setiap hari rata-rata ada dua warga yang meninggal. Anton tak menutup kemungkinan sebagian di antara mereka meninggal karena terinfeksi virus corona. Apalagi masih banyak warga Srandakan yang ogah menjalani tes PCR meskipun sudah bergejala. “Ini seperti hantu yang gentayangan di desa-desa,” tuturnya.

Menurut Anton, salah satu lokasi kenaikan angka kematian adalah Dusun Lopati. Salah satu dugaan penyebabnya adalah penguburan jenazah pasien positif Jumirah Siswo Suwito pada Juni lalu. Saat itu, sekitar 50 orang ikut mengurus jenazah Jumirah tanpa alat pelindung diri. Putra Jumirah, Purwo Suwarno, mengatakan penduduk dusun hanya ingin menolong agar jenazah ibunya bisa segera dimakamkan karena petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah tak kunjung datang.

Epidemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mengatakan penguburan jenazah harusnya menggunakan prosedur Covid-19. Caranya, jenazah dibungkus plastik atau kantong jenazah dan dimasukkan ke dalam peti. Tujuannya adalah menghindari penularan. “Mereka yang bertugas memulasarkan jenazah juga harus mengenakan alat pelindung diri supaya tak tertular,” kata Miko.

Di Desa Alang-alang, Kecamatan Tragah, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, tercatat angka kasus kematian mencapai 34 orang selama dua bulan terakhir. Kepala Desa Alang-alang Fahrur Rozi mengatakan mereka yang meninggal rata-rata orang lanjut usia dan sebagian bergejala Covid-19. Mengaku sudah mensosialisasi protokol kesehatan, Rozi mengatakan warganya masih saja ada yang tak percaya penyakit tersebut.

Sekretaris Desa Karangduren, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Saiful mengatakan selama Juli lalu 35 penduduk di wilayahnya meninggal. Menurut dia, data dari modin—orang yang menikahkan atau mendaraskan doa jenazah saat pemakaman—di 12 desa di Kecamatan Pakisaji, ada 400 orang meninggal selama Juli lalu. “Sekarang kalau bertanya ke Pak Modin bukan berapa orang menikah, tapi berapa orang yang meninggal,” ujar Saiful.

•••

MELEJITNYA angka kematian secara tiba-tiba di berbagai desa belakangan ini bisa menjadi indikasi meluasnya penularan virus corona. Namun sebagian besar dari mereka tak terdeteksi oleh pemerintah daerah. Sejumlah kepala daerah yang diwawancarai Tempo pun membenarkan kondisi tersebut.

Bupati Temanggung Muhammad Al Khadziq mengatakan kasus Covid-19 di penjuru desa belum sepenuhnya terpantau. Ia mencontohkan, pada Sabtu, 7 Agustus lalu, tercatat ada 28 kematian di wilayahnya. Dari jumlah itu, hanya empat orang yang berdasarkan hasil tes diketahui positif. Sisanya belum teridentifikasi karena tidak menjalani tes atau meninggal saat isolasi mandiri. “Mereka yang meninggal di desa tidak mau di-swab. Mereka pun tidak kami catat dalam data karena belum terkonfirmasi,” kata Khadziq.


Dia juga mengakui proses pelacakan terhadap mereka yang berkontak dengan orang positif Covid-19 tak berjalan maksimal. Khadziq beralasan keterbatasan pasukan menjadi sandungan untuk turun ke desa. “Banyak tenaga kesehatan juga tumbang sehingga penanganan di desa naik turun,” ujar dia. Wali Kota Pariaman Genius Umar juga membenarkan pelacakan tak berjalan maksimal karena keterbatasan tenaga kesehatan.

Di tingkat pusat pun, pentingnya pelacakan baru disampaikan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Kamis, 29 Juli lalu. Luhut yang menjadi koordinator pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) se-Jawa dan Bali mengatakan pelacakan menjadi kunci mendeteksi penularan corona. Dengan adanya tracing, kata Luhut, penyebaran virus dapat dengan cepat ditangani sekalipun angka positif akan lebih banyak. 

Selain pelacakan yang tidak berjalan, penularan corona juga disebabkan oleh rendahnya kesadaran untuk mengikuti protokol kesehatan. Aditya, bukan nama sebenarnya, warga Jakarta yang bertandang ke Pariaman, Sumatera Barat, pada Juni lalu menyaksikan hampir semua pedagang dan pembeli di pasar yang didatanginya tak mengenakan masker. Pun saat salat Jumat di sebuah masjid, masih ada yang tak bermasker.

Penerapan protokol kesehatan bahkan tidak berlaku di rumah sakit di daerah. Di salah satu rumah sakit di Banda Aceh, pasien diperbolehkan menunggu keluarganya di ruang isolasi khusus pasien Covid-19. Nadira, bukan nama sebenarnya, mengaku menunggui ayahnya karena diminta oleh rumah sakit. Satu pasien hanya boleh dijaga satu orang. “Mungkin karena di sini ada tradisi, kalau ada yang sakit, satu kampung akan menjenguk dan satu keluarga menunggui,” katanya.

Kepala bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Aceh Iman Murahman mengaku belum tahu ada rumah sakit yang memperbolehkan pasien Covid ditunggui. “Harusnya tidak ada karena bisa menularkan yang lain,” katanya. Meski begitu, dia tak menampik ada satu-dua rumah sakit yang menerapkan prosedur begitu. Hal itu, terjadi karena desakan masyarakat yang menurut dia masih banyak yang tidak percaya Covid.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin membenarkan kenaikan kasus Covid-19 di pelosok menjadi pembahasan dalam sejumlah rapat dengan Presiden Joko Widodo. Dia mengatakan pemerintah akan mengerahkan bintara pembina desa atau babinsa untuk mendeteksi kasus positif. “Deteksi dini di 20 kota dengan kematian tertinggi,” kata Budi.

Baca: Tiga Tabung Oksigen untuk Sebelas Pasien

Adapun Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan pemerintah juga akan memaksimalkan pelayanan di puskesmas untuk menjangkau desa-desa. Pemerintah akan menyuplai obat-obatan antivirus ke puskesmas agar bisa menangani pasien dengan lebih baik. “Mereka yang isolasi mandiri pun bisa mendapat pengobatan,” kata Muhadjir.

•••

MELEJITNYA angka kematian secara tiba-tiba di berbagai desa belakangan ini bisa menjadi indikasi meluasnya penularan virus corona. Namun sebagian besar dari mereka tak terdeteksi oleh pemerintah daerah. Sejumlah kepala daerah yang diwawancarai Tempo pun membenarkan kabar tentang kondisi tersebut.

Bupati Temanggung Muhammad Al Khadziq mengatakan kasus Covid-19 di penjuru desa belum sepenuhnya terpantau. Ia mencontohkan, pada Sabtu, 7 Agustus lalu, tercatat ada 28 kematian di wilayahnya. Dari jumlah itu, hanya empat orang yang berdasarkan hasil tes diketahui positif. Sisanya belum teridentifikasi karena tidak menjalani tes atau meninggal saat isolasi mandiri. “Mereka yang meninggal di desa tidak mau di-swab. Mereka pun tidak kami catat dalam data karena belum terkonfirmasi,” tutur Khadziq.

Dia juga mengakui pelacakan terhadap mereka yang berkontak dengan orang positif Covid-19 tak berjalan maksimal. Khadziq beralasan keterbatasan jumlah pasukan menjadi sandungan untuk turun ke desa. “Banyak tenaga kesehatan juga tumbang sehingga penanganan di desa naik-turun,” ujarnya. Wali Kota Pariaman Genius Umar juga membenarkan bahwa pelacakan tak berjalan maksimal karena keterbatasan tenaga kesehatan.

Di tingkat pusat pun pentingnya pelacakan baru disampaikan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Kamis, 29 Juli lalu. Luhut yang menjadi koordinator pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) se-Jawa dan Bali mengatakan pelacakan menjadi kunci mendeteksi penularan corona. Dengan adanya tracing, ucap Luhut, penyebaran virus dapat dengan cepat ditangani sekalipun angka positif akan lebih banyak. 

Selain pelacakan yang tidak berjalan, penularan corona disebabkan oleh rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan. Aditya, bukan nama sebenarnya, warga Jakarta yang bertandang ke Pariaman, Sumatera Barat, pada Juni lalu menyaksikan hampir semua pedagang dan pembeli di pasar yang didatanginya tak mengenakan masker. Pun saat salat Jumat di sebuah masjid masih ada yang tak bermasker.

Penerapan protokol kesehatan bahkan tidak berlaku di rumah sakit di daerah. Di salah satu rumah sakit di Banda Aceh, pasien diperbolehkan menunggu keluarganya di ruang isolasi khusus pasien Covid-19. Nadira, bukan nama sebenarnya, mengaku menunggui ayahnya karena diminta oleh rumah sakit. Satu pasien hanya boleh dijaga satu orang. “Mungkin karena di sini ada tradisi, kalau ada yang sakit, satu kampung akan menjenguk dan satu keluarga menunggui,” katanya.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Aceh Iman Murahman mengaku belum tahu ada rumah sakit yang memperbolehkan pasien Covid-19 ditunggui. “Harusnya tidak ada karena bisa menularkan yang lain,” tuturnya. Meski begitu, dia tak menampik kabar bahwa ada satu-dua rumah sakit yang menerapkan prosedur demikian. Hal itu terjadi karena desakan masyarakat yang menurut dia masih banyak yang tidak percaya Covid-19.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin membenarkan bahwa kenaikan angka kasus kasus di pelosok menjadi pembahasan dalam sejumlah rapat dengan Presiden Joko Widodo. Dia mengatakan pemerintah akan mengerahkan bintara pembina desa atau babinsa untuk mendeteksi kasus positif. “Deteksi dini di 20 kota dengan kematian tertinggi,” ujar Budi.

Adapun Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan pemerintah juga akan memaksimalkan layanan di puskesmas untuk menjangkau desa-desa. Pemerintah akan menyuplai obat-obatan antivirus ke puskesmas agar bisa menangani pasien dengan lebih baik. “Mereka yang menjalani isolasi mandiri pun bisa mendapat pengobatan,” ucap Muhadjir.

•••

PENULARAN virus corona ditengarai telah masuk pula ke desa-desa adat. Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Rukka Sombolinggi mengatakan hampir seluruh kawasan adat telah tersentuh virus asal Wuhan, Cina itu. Menurut Rukka, masuknya virus corona itu disinyalir berasal dari pekerja perusahaan tambang di sekitar kawasan adat, aktivitas ekonomi warga setempat, ataupun aparatur sipil negara yang keluar-masuk kawasan.

Sejumlah warga menunggu keluarganya yang dirawat di tenda darurat karena keterbatasan ruang rawat inap di Rumah Sakit Anutapura, Palu, Sulawesi Tengah, 5 Agustus 2021. ANTARA/Basri Marzuki

Rukmini Paata Toheke, pendiri organisasi perempuan adat Ngata Toro di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, mengatakan sejak pandemi merebak desanya sudah menutup pintu bagi perantau yang singgah untuk bermalam di masjid. Menurut dia, masuknya Covid-19 ke desanya juga dibawa oleh keluarga dari warga desa yang kerap keluar-masuk dan pedagang. 

Baca: Dusta Angka Corona

Pada Juli lalu, di desa Rukmini pernah ada sepuluh orang yang sakit bergejala seperti kasus Covid-19. Mereka tak dibawa ke rumah sakit karena jaraknya lumayan jauh. Sepuluh orang itu memilih mengonsumsi tanaman di hutan, seperti buah pinang. Hasan Effendy dari Komunitas Papagaran Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, juga mengatakan masyarakat yang bergejala Covid-19 memanfaatkan buah limpasu yang dipercaya bisa menyembuhkan batuk. Rukmini dan Hasan mengatakan mereka yang mengonsumsi tanaman tersebut cepat pulih. Indra penciumannya pun segera normal kembali.

HUSSEIN ABRI DONGORAN (JAKARTA), SHINTA MAHARANI (DIY), ANDIKA D. KHAGEN (PADANG), ADINDA ZAHRA (MEDAN), MUSTHOFA BISRI (MADURA), EKO WIDIANTO (MALANG), M.A. MURTADHO (BOGOR)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus