Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bupati dan anggota DPRD Labuhan Batu ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pengadaan barang dan jasa.
Kontraktor yang akan dimenangkan diberi syarat memberikan fee atau komisi sebesar 5-15 persen
KPK sita Rp 551,5 juta.
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Labuhan Batu Erik Adtrada Ritonga serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Labuhan Batu Rudi Syahputra Ritonga sebagai tersangka. Keduanya menjadi tersangka kasus suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintahan Labuhan Batu tahun anggaran 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain dua pejabat pemerintah daerah, KPK menetapkan dua kontraktor proyek, yaitu Effendy Sahputra dan Fazar Syahputra, sebagai tersangka. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan konstruksi perkara yang menjerat keempatnya setelah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) pada Kamis, 11 Januari lalu.
Wakil Ketua KPK Nurul Gufron dan juru bicara KPK Ali Fikri menghadirkan Bupati Labuhan Batu Erik A. Ritonga (kedua dari kiri, memakai rompi tahanan) setelah menjalani pemeriksaan selepas terjaring operasi tangkap tangan KPK suap Bupati Labuhan Batu, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 12 Januari 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Labuhan Batu tahun 2023 dan 2024 masing-masing Rp 1,4 triliun. Ghufron menuturkan Erik sebagai Bupati Labuhan Batu disebut mengintervensi APBD Labuhan Batu tahun anggaran 2024. Erik juga aktif mengatur proyek di lingkungan Satuan Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhan Batu.
Misalnya, proyek di Dinas Kesehatan serta Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). “Erik menjadikan dua proyek ini sebagai atensi,” ujar Ghufron dalam keterangan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jumat, 12 Januari 2024.
Terhadap dua proyek di dua institusi tersebut, Erik menunjuk Rudi Syahputra Ritonga sebagai orang kepercayaannya. Erik meminta Rudi mengatur proyek dan menunjuk secara sepihak kontraktor yang akan dimenangkan. “Kontraktor yang akan dimenangkan diberi syarat memberikan fee atau komisi 5-15 persen dari besaran anggaran proyek,” ujar Ghufron.
Proyek yang dimaksudkan ada di Dinas PUPR Kabupaten Labuhan Batu. Proyek tersebut adalah lanjutan peningkatan Jalan Sei Rakyat-Sei Berombang di Kecamatan Panai Tengah serta proyek lanjutan peningkatan Jalan Sei Tampang-Sidomakmur di Kecamatan Bilah Hilir.
Ghufron menjelaskan, dua proyek ini memiliki pagu anggaran Rp 19,9 miliar. “Dua proyek di Dinas PUPR inilah yang dikondisikan Erik dan Rudi dengan memenangkan Effendy dan Fazar sebagai kontraktor,” ujarnya. Adapun terhadap proyek di Dinas Kesehatan, KPK masih menelusurinya.
Setelah dikondisikan untuk menang, Erik memerintahkan Rudi meminta fulus kepada Effendy dan Fazar. Effendy dan Fazar memenuhi permintaan Erik yang disampaikan Rudi pada Desember 2023. Pada 11 Januari 2024, keduanya mengirim fulus yang diminta melalui dua cara transaksi, yaitu tunai dan non-tunai. “Pemberian fee ini diistilahkan para tersangka sebagai uang kutipan,” ucap Ghufron.
Effendy dan Fazar memberikan uang tanda jadi kepada Rudi selaku tangan kanan Erik sebesar Rp 551,5 juta dari besaran anggaran Rp 1,7 miliar. Ghufron mengatakan KPK masih mengembangkan kasus ini guna menelusuri adanya pihak-pihak lain yang diduga terlibat kasus suap pengadaan barang dan jasa di pemerintahan Labuhan Batu.
Dalam kasus ini, Effendy dan Fazar sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Adapun Erik dan Rudi sebagai pihak penerima suap ditersangkakan dengan Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. “Untuk kepentingan penyidikan, keempat tersangka ditahan selama 20 hari dan bisa diperpanjang di rumah tahanan Gedung Merah Putih KPK,” ujar Ghufron.
Anggota tim penyidik menunjukkan barang bukti uang hasil operasi tangkap tangan KPK suap Bupati Labuhan Batu di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 12 Januari 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Dalam kesempatan yang sama, juru bicara KPK Ali Fikri menuturkan lembaganya menangkap 10 orang dalam operasi senyap pada Kamis, 11 Januari lalu, itu. Setelah mereka diperiksa selama 1 x 24 jam, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka.
Keenam orang lainnya itu adalah Kepala Dinas PUPR Kabupaten Labuhan Batu Hendra Efendi Hutajulu, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhan Batu Maharani, aparatur sipil negara di Kabupaten Labuhan Batu Susi Susanti, anggota staf Rudi Syahputra Ritonga, Elvani Batubara; serta dua kontraktor, Agus Kaspohardi dan Triyono. “Namun yang dibawa ke Gedung Merah Putih KPK dan memenuhi unsur pidana korupsi baru empat orang, yaitu Erik, Rudi, Effendy, dan Fazar,” ujar Ali.
Dalam operasi tersebut, tim KPK membawa uang tunai Rp 551,5 juta sebagai barang bukti. Uang tersebut diduga sebagai awal penerimaan dari jumlah sebesar Rp 1,7 miliar. “Metode pembayaran transfer bank tidak dilakukan untuk menghindari kecurigaan,” ucapnya.
Menutupi Modal Politik
Peneliti dari Pusat Studi Anti-Korupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan salah satu faktor masih maraknya rasuah di lingkungan kepala daerah adalah untuk menutupi biaya politik. Modal politik yang digelontorkan seorang kepala daerah cukup besar saat berlaga dalam pemilihan. “Nah, agar modal itu kembali, cara yang paling mudah adalah menyalahgunakan kewenangannya, terutama korupsi,” katanya.
Berdasarkan riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri, calon kepala daerah mengeluarkan biaya politik Rp 20-100 miliar ketika bertarung dalam pemilihan. Menurut Herdiansyah, untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota diperlukan modal Rp 20-30 miliar. Sedangkan untuk mencalonkan diri menjadi gubernur, modalnya bisa mencapai Rp 100 miliar. “Jumlah ini belum termasuk anggaran bagi tim sukses apabila terpilih,” ujarnya.
Adapun peneliti dari Pusat Studi Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada Zaenur Rahman mengatakan ada tiga motif kepala daerah melakukan praktik rasuah, yakni untuk mengembalikan modal politik yang telah digelontorkan, mempersiapkan dana politik untuk mengikuti kontestasi selanjutnya, serta memupuk kekayaan setelah purna-tugas. “Kewenangan atau pengaruh yang dimiliki pada akhirnya ditukar dengan uang,” ujarnya. ”Perlu ada upaya memaksimalkan hukuman guna memutus mata rantai praktik lancung ini.”
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo