DALAM laporan panjang, majalah The Middle East, London bula lalu menulis mengenai bank Islam dan sistemnya yang membentang dari Amerika hingga Cina. Setidaknya, bank itu memutar uang 30 milyar dolar AS. Dalam pada itu, kata H. Rahimi Sutan, 60 tahun, Ketua Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah, organisasinya sedang merancang membangun bank -- lalu dibahas dalam Rapat Kerja Nasional bulan. Dan menurut Prof. Dr. Ismail Suny, Wakil Ketua PP Muhammadiyah, "Yang penting berdiri dulu, dan nama bank itu belum dipikirkan." Bank atas nama Islam lalu mampukah tumbuh tanpa bunga? "Perbedaan perbankan Islam dengan non-lslam terletak pada sistem transaksinya." kata Ir. M. Aminuddin Dahlan, 32 tahun. Ia Ketua Umum Teknosa. Bagian dari kegiatan Koperasi Kesejahteraan Mahasiswa Bandung (KKMB) itu sejak berdirinya telah memakai sistem "memutar" uangnya beda dengan bank yang dikenal, yaitu tak memberi kredit berbunga. Dalam non-Islam hubungan debitur dengan kreditur adalah utang-piutang. Sedangkan dalam Islam adalah kerja sama usaha dan jual-beli. Jadi, sasaran utamanya adalah menghilangkan posisi gharimin, orang yang dililit utang. Bermula dari para mahasiswa yang biasa mangkal di Masjid Salman, Bandung. Mereka berdiskusi soal riba. Bahwa riba itu tetap haram, umat Islam sepakat. Dan apa saja yang tergolong riba alias rente? Pembicaraan berlanjut. Mereka sepakat, bunga bank termasuk riba. Bank hidup dengan mengusahakan riba. Sebab, istilah kredit selalu berkait dengan bunga. Naik haji bisa tak sah bila dibiayai dengan uang simpanan di bank. Bank juga selalu berkait dengan utang-piutang. "Padahal," kata Aminuddin, "Islam tak menganjurkan utang-piutang." Di Timur Tengah, sejak sebelas tahun lalu, sistem perbankan Islam tumbuh menjamur. Tetapi di sini, menurut Aminuddin, untuk membentuk bank Islam, undang-undang belum memungkinkan. Yang mustahak adalah dengan koperasi. Di lingkungan Salman sudah ada Koperasi Jasa Keahlian Teknosa. Lalu, dalam koperasi itu mereka bentuk lembaga semisal bank Islam, dengan nama Baitut Tamwil (Balai Harta). Itu sudah jalan sejak 4 Juli 1984. Untuk itu, Teknosa memperkenalkan empat macam simpanan. Ada yang serupa deposito, ada yang mirip tabanas, ada tabungan khusus -- misalnya untuk membangun rumah atau menunaikan ibadat haji. Ada pula simpanan dalam jumlah besar, misalnya untuk membiayai proyek tertentu. Karena serba tanpa bunga, apa tak rugi? Tidak. Teknosa, malah, mampu memberi "keuntungan" lebih. Yaitu, bila Baitut Tamil mendapat untung, si penabung kebagian untung. Sebaliknya, jika Balai Harta itu rugi, penabung ikut rugi pula. "Alhamdulilah, belum pernah rugi," ujar Aminuddin. Lembaga itu hanya meminjamkan modal kepada nasabah. Ada yang diberi modal penuh, dan nasabah itu tinggal menjalankan usahanya. Cara ini disebut mudharabah. Ada nasabah yang hanya memperoleh sebagian modal alias musyarakah. Cara lain: murabahah, yang juga bisa disebut sebagai sistem sewa-beli atau lease purchase. Ada pula sistem bai'us salam, yang dalam dunia dagang disebut trade margin. Dalam hal ini, misalnya, Teknosa memberi modal kepada pedagang untuk membeli beras. Setelah si pedagang mendapat laba, keuntungannya dibagi. Nasabah tak perlu mengembalikan uang yang mereka jadikan modal usaha. Tapi bila mendapat laba, wajib membagi keuntungan itu dengan pihak Teknosa. Pembagian sesuai dengan nisbah yang telah disepakati. Teknosa bisa dibilang masih coba-coba. "Meskipun begitu, syukur, cenderung perkembangannya baik," kata Aminuddin. Pada tiga bulan pertama, Teknosa berhasil menarik 18 penyimpan, dengan uang sekitar Rp 34 juta. Dan kini jumlah nasabah membengkak jadi 300 orang, dengan dana Rp 1,4 milyar. Dengan dana sebanyak itu, Teknosa membiayai 120 proyek, misalnya membangun delapan sekolah. Juga usaha seperti apotek, dagang alat-alat tulis, bisnis mobil bekas, hingga usaha perkulitan. Yang menarik ialah, 70% dana yang disalurkan mengalir ke sektor informal. PT Upprindo Utama, Bandung, pernah merasakan berkah Teknosa. Dimodali Bapindo, pada 1979 perusahaan ini menyamak kulit kambing dan domba, lalu diekspor ke Singapura, Korea, Eropa. Tapi usahanya itu hampir pingsan. April lalu, Teknosa turun tangan, dan kini menguasai 76% saham. Upprindo kembali jalan dengan mempekerjakan 205 orang. Omsetnya menggembirakan: sekitar Rp 1 milyar. Di Malaysia, yang tumbuh subur adalah Bank Islam Malaysia Berhad. Berdiri 1983 kini mempunyai 19 cabang, di semua negara bagian. Hingga pertengahan tahun lalu, kekayaannya M$ 687,8 juta dan tabungan mencapai M$ 566,9 juta. Dalam membagi keuntungan, bank Islam ini luar biasa. Sebanyak 70% keuntungan usaha diserahkan pada penyimpan uang. Sisanya yang 30% untuk bank. "Keuntungan yang kami bayarkan jauh lebih tinggi dari bunga yang diberikan bank lain," kata Dr. Abdul Halim Ismail, Direktur Bank Islam Malaysia Berhad itu. Kelahiran bank dengan sistem Islam itu mengundang tumbuhnya Amanah Bank di Manila. Juga di Houston ada Al Baraka, di Jenewa ada At-Taqwa. Di Luksemburg, ada pendeta yang tak menyukai rente. Mereka menganjurkan jemaatnya menyimpan uang di bank Islam. Dan, jangan kaget, di Ningxia dan Xinjiang, Cina, ada NIITIC (The Ningxia Islam International Trust & Investment Corporation). Dibanding dengan bank umum, pada bank Islam itu "nilai lebih" yang dicari itu juga ada. "Dengan sistem ini, harkat manusia lebih berarti ketimbang kapital," kata Uki Kustaman, Wakil Ketua Umum Baitul Tamwil Teknosa. "Inilah cara penerapan ajaran Islam. Yaitu menumbuhkan kerelaan, baik dari si penjual maupun pembeli. Dua pihak jadi sama-sama rela," kata Halim Ismail di Kuala Lumpur, yang tadi itu. Dan kembali ke Bandung: belum pernah terdengar Teknosa menyita harta nasabah. "Ini karena mengandalkan asas keadilan. Sementara itu, kepercayaan dan keterbukaan menjadi tonggak dalam berusaha," kata Aminuddin. Laporan Ahmadie Thaha (Jakarta), Hady Susanto (Bandung), Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini