BEBERAPA PERSOALAN AGAMA DEWASA INI Pengarang: Prof. Dr. H.A. Mukti Ali Penerbit: Rajawali Pers, Jakarta, 1987, 376 halaman AGAMA, dalam kehidupan kita, ternyata memang tak bisa dilihat hanya sebagai persoalan orang per orang. Ia menyangkut dan berkait dengan berbagai dimensi kehidupan masyarakat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Bahkan tak jarang, dalam situasi-situasi tertentu, ia melampaui batas-batas kenasionalan. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, sebuah buku Prof. Mukti Ali guru besar IAIN dan bekas Menteri Agama itu, memperlihatkan kepada kita betapa kompleksnya persoalan agama itu. Buku ini terdiri dari empat bagian: (1) Agama, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan, (2) Agama dan Perkembangan Ekonomi di Indonesia, (3) Beberapa Persoalan Islam Dewasa Ini, dan (4) Penelitian Agama. Tiap bagian terdiri dari beberapa topik, dan jumlah keseluruhannya dua puluh topik. Hampir semua topik tersebut adalah makalah yang ditulis Mukti Ali untuk ceramah atau seminar. Sebagai pengecualian, bisa disebutkan tulisannya Desa Putukrejo, Malang Selatan: Suatu Pembabasan tentang Motivasi. Tulisan ini adalah sebuah laporan penelitian yan dilakukan Mukti Ali ketika beliau menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Karena sifatnya sebagai kumpulan ceramah dan makalah, buku ini mungkin tergolong apa yang disebut buku yang "non-book". Maka, tidak mengherankan bila buku ini dirasakan sebagai kumpulan topik-topik pembahasan yang berserakan. Namun, hal ini sama sekali tidak dengan sendirinya mengurangi nilainya. Memang, beberapa hal yang dikemukakan Mukti Ali dalam bukunya ini sangat menarik dan menggelitik pikiran kita. Ia, misalnya, dengan tajam menyoroti apa yang dilihatnya sebagai kepincangan sikap keberagaman umat Islam. Ia mensinyalir umat Islam terlalu berorientasi pada ibadat murni. Karena itu, menurut Mukti Ali "Islam banyak memberikan pemikiran-pemikiran tentang takmir masjid, peningkatan pondok pesantren, dan sebagainya, tetapi sedikit sekali memberikan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan peningkatan kehidupan sosial, politik, ekonomi seni, dan sebagainya" (halaman 89). Hal ini, menurut Mukti Ali, selanjutnya mungkin disebabkan "pemikiran Islam di Indonesia terlalu normatif..., kurang sekali memperhatikan apa yang terjadi dalam masyarakat" (halaman 89). Lalu Mukti Ali menawarkan pemahaman agama yang bersifat sosio-historis, yakni sebuah metode pemahaman terhadap suatu hari kepercayaan, ajaran, atau keyakinan itu muncul dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan, dan lingkungan tempat kepercayaan, ajaran, atau keyakinan itu muncul (halaman 90). Pendekatan sosio-historis yang ditawarkan Mukti Ali ini agaknya hanyalah istilah lain dari apa yang sering kita dengar akhir-akhir ini di lingkungan umat Islam, pendekatan kontekstual. Masih dalam kaitan dengan kepincangan sikap keberagaman, Mukti Ali juga mengemukakan ketidakseimbangan antara kesadaran moral di satu pihak dan kesadaran sosial di pihak lain dalam kehidupan umat Islam. Ia menilai, kesadaran moral lebih tebal dibanding kesadaran sosial. Karena itu, reaksi umat Islam biasanya lebih cepat terhadap masalah jilbab atau operasi selaput dara, misalnya, dibanding masalah-masalah kesulitan dalam bidang sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh para transmigran, fakir mikin, yatim piatu, dan sebagainya (halaman 92). Dalam bagian lain, Mukti Ali juga melontarkan masalah yang cukup menggelitik, Islam sebagai proses. Dalam perkembangan dunia yang mengalami perubahan secara radikal, menurut Mukti Ali "orang dapat menduga bahwa Islam pada abad-abad yang akan datang akan sangat berbeda" (halaman 237). Dan dalam menuju Islam masa depan itu, Mukti Ali menilai "Islam dewasa ini sedang berada pada saat-saat yang sangat kritis tetapi kreatif" (halaman. 237). Hal lain yang tidak kalah menariknya dalam buku Mukti Ali ini adalah kritiknya yang cukup tajam terhadap sikap apologi. Bagi Mukti Ali, sikap apologi lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Ia mengakui bahwa "di sana-sini apologi menimbulkan faedah positif, tetapi dalam keseluruhannya ia adalah negatif" (halaman 257). Menurut Mukti Ali, apa yang dilakukan oleh para apolog adalah "menerangkan apa yang sudah diketahui dan bukan mencari sesuatu yang belum diketahui. Kaum apologis memberikan kepuasan kepada emosi tetapi tidak melakukan fungsi akal yang sebenarnya". Dengan demikian, menurut Mukti Ali, mereka "jauh daripada menjalankan kewajiban sebagai ahli pikir muslim, ialah membahas persoalan untuk mencari kebenaran dan mengusahakan pemecahannya" (halaman 257). Lebih dari itu, apologi, menurut Mukti Ali, merupakan "halangan untuk memahami kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Islam dalam abad modern ini" (halaman 255). Hal-hal di atas, yang tidak lebih dari beberapa cuplikan pemikiran Mukti Ali, mungkin bisa memberikan wawasan tentang semacam garis merah yang dapat mengikat beberapa tulisan Mukti Ali yang dimuat dalam bukunya ini. Misalnya, kritik tajam Mukti Ali terhadap sikap apologi tentu saja tidak bisa dipisahkan dari konsentrasinya tentang situasi krisis yang dihadapi Islam dewasa ini yang memerlukan sikap kreatif. Tentu juga tidak bisa dipisahkan dari sinyalemennya bahwa sikap keberagaman umat Islam masih terlalu berorientasi pada ibadat murni, bersifat normatif, dan kurang memiliki kesadaran sosial. Sayang sekali, untuk merangkai pemikiran-pemikiran yang dikemukakan Mukti Ali tidak mudah, sebab pemikiran itu termuat dalam tulisan yang terpisah jauh. Andai kata buku ini dilengkapi pendahuluan yang mencoba merangkai dan merangkum berbagai pemikiran Mukti Ali yang termuat dalam berbagai tulisan yang terserak-serak itu, tentu saja akan sangat membantu kita untuk lebih memahami pikiran-pikiran dasar Mukti Ali. Bagaimanapun juga buku ini akan sangat sayang kalau dilewatkan begitu saja. Djohan Effendi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini