Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bantuan yang Membuat Bingung

Korban gempa di Yogyakarta dan Klaten lebih mengharapkan bantuan uang. Bantuan barang sering membingungkan mereka karena tak sesuai dengan kebutuhan.

12 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gempa besar yang menghancurkan bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei lalu mening-galkan kesimpangsiuran dalam banyak masalah. Dari urus-an pendataan rumah rusak, mem-bantu pengungsi, masalah kesehatan, -ujian anak sekolah, sampai tetek-bengek ke-kisruhan pembagian bantuan.

Ketua Badan Koordinasi Nasio-nal Pe-nanggulangan Bencana dan Pengungsi Jusuf Kalla sampai turun tangan me-redakan polemik soal bantuan. Wakil pre-siden ini mengatakan, pemerintah ba-kal mengguyurkan duit Rp 5 triliun. -Pa-ra- korban akan mendapat kucuran Rp 3 triliun dan sisanya buat pemba-ngunan fasilitas umum.

Kabar kucuran uang kontan itu membuat sebagian korban gempa lega. Namun, realisasinya masih harus sabar ditunggu. Sebelum bantuan uang turun, korban gempa harus menerima bantuan apa adanya. Seperti kisah sedih yang menimpa Tasih, 72 tahun, yang kini tak punya lagi harta benda. Rumah milik-nya di Kampung Pandean, Umbulharjo, Yogyakarta, luluh lantak. Seluruh isi rumahnya terkoyak reruntuhan bangun-an. Cuma sepotong kebaya dan kain jarit yang tersisa di tubuhnya.

Seminggu lebih Mbah Tasih—begitu sapuannya—hidup di tenda pengungsian di Terminal Umbulharjo bersama ratusan pengungsi lain. Kini urusan pakaian jadi masalah. Dia paling risih tidak salin ”jeroan” alias kutang. Karena itu ia sangat membutuhkan bantuan pakaian, minimal sebuah kutang.

Pekan lalu, dia sedikit lega. Truk bantuan datang. Dia dan anaknya, Sumiyati, tergopoh-gopoh menghampiri truk dengan roman muka sumringah. Tangan keriputnya membolak-balik baju bantuan di dalam truk. Dan, kutang berbantalan busa halus dia dapatkan.

Si nenek beringsut masuk tenda, la-lu mencoba kutang model mutakhir itu. ”Iki mesthi kepenak (ini pasti nyaman),” gumam Mbah Tasih. Tak berselang lama, dia keluar sambil menggerutu. ”Kutang kok koyo ngene, malah risih tok (kutang kok begini, malah risih),” ka-ta dia kepada Sumiyati. Si anak pun ter-se-nyum.

Kutang busa itu tak membuat Tasih nyaman. Selain kedodoran, si nenek jadi terlihat montok. Apa artinya? Bantuan busana la-yak pakai yang sering kali disumbangkan orang-orang kota memang tidak cocok untuk korban gempa di pelosok desa. Ta-sih lebih berharap diberi uang Rp 7.000 untuk membeli kutang di pasar yang kini su-dah mulai buka kembali.

Namun, bagi Mbah Warsih, 79 tahun-, untuk urusan penampilan bisa cuek bebek. Rumahnya di Dusun Sorok, Bam-banglipuro, Bantul, runtuh. Nenek sepuh ini tak sempat menyelamatkan diri. Ia tersandung reruntuhan lalu jatuh tersungkur. Genting-genting rontok menimpa si nenek hingga kepalanya berkucur darah.

Alhamdulillah, Mbah War—begitu sa-paan dia—bisa diselamatkan warga. Mbah War luka di kepala selebar enam sentimeter. Relawan medis terpaksa- memangkas plontos rambut Warsih agar mudah menjahit lukanya. Setelah men-dapat pertolongan pertama, dia di-ungsikan ke rumah Sugiharti, anaknya, di Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul.

Di rumah si anak, Mbah War tak punya apa-apa. Mirip dengan Tasih, dia cuma punya satu pakaian di badan. Bantuan pakaian kebanyakan kaus oblong. Nah, urusan pakaian ini membikin ribet Sugiharti, sebab si ibu tak bisa memakai kaus oblong. Lubang leher kaus yang sempit tak bisa melewati balutan perban. ”Simbok njerit menawi jahitanipun kesenggol kerah kaos (Simbok menjerit kalau jahit-an di kepalanya tersenggol lubang kaus yang sempit),” kata Sugiharti.

Sugiharti tak kurang akal. Orang tua-nya diberi baju tank top ungu berbe-lah-an dada lebar. Kata Sugiharti, di rumah-nya cuma ada pakaian anak muda itu yang bisa menghindarkan sang ibu dari lolong kesakitan. Mbah War memang tidak kesakitan, tapi penampilan itu tentu tidak klop dengan giginya yang ompong, kulit keriput, dan dada yang lembek.

Lain lagi kisah Darmo dari Desa Dengkeng, Wedi, Klaten. Nenek 62 tahun ini sudah empat hari tak menanggalkannya jarit dari badannya. Sebab, cuma itu yang dia punya setelah harta bendanya ludes dilalap gempa.

Berkali-kali Mbah Darmo berebut ban-tuan di pengungsian, Desa Potorono, Banguntapan, Bantul, setiap kali pula ia menelan kekecewaan. Yang ada selalu celana panjang jins, kaus, daster, atau rok. Mbah Darmo merasa tak pantas memakai baju bantuan itu karena merasa tak lagi muda. Dia cuma bisa memakai jarit dan kebaya. Tapi pakaian miliknya itu sudah bau apak.

Datanglah relawan ke desanya membawa pakaian. Eh, dia tak menemukan- jarit atau kebaya meski sudah meng-aduk-aduk tumpukan baju bantuan. Yang ada cuma selembar selimut loreng mirip jarit. Tanpa pikir panjang, dia ambil selimut itu. ”Paling tidak bisa dipakai-, sambil menunggu jarit yang lama dicuci,” katanya bersungut-sungut.

Bukan cuma pakaian yang membuat warga Desa Potorono kelimpungan. Ternyata lauk-pauk cepat saji dari luar negeri membuat para pengungsi waswas. Salah satunya, ikan tuna kemasan kaleng produksi Ekuador dengan lisensi Amerika Serikat. Makanan ini berlabel- StarKist Chunk Light Tuna in Water dengan petunjuk bahasa Inggris.

Di setiap kemasan ikan tuna ada kupon kuning bertulisan expiration date 12/31/05. ”Ojo dipangan, iki wis kedaluwarsa (jangan dimakan, ini sudah kedaluwarsa),” kata Kairun, warga Potorono. Ia mengingatkan para tetangga yang tak paham bahasa Inggris. Soalnya, ratusan warga Klaten keracunan makanan bantuan yang kedaluwarsa sehari sebelumnya.

Peringatan Kairun segera menyebar ke warga lainnya. Tapi warga lain justru bingung melongok di balik kaleng. Ada angka lain, November, 4, 2007. ”Ini sing bener yang mana?” kata seorang warga. Untunglah ada Hariyati, warga yang paham bahasa Inggris. Dia menjelaskan, 31 Desember 2005 itu batas akhir penukaran dengan barang sejenis ke pabrik. Batas kedaluwarsanya November 2007. ”Ooo....,” jawab Kairun. Bantuan itu pun dimakan.

Masih di Klaten, Mbah Darso tak bisa lagi menikmati minuman teh ginastel—legi panas kenthel. Gempa meluluhlantakkan rumah pria 63 tahun ini di Desa Kadilangon, Wedi. Poci tanah yang belasan tahun dia pakai menyeduh teh tubruk ikut hancur. Kakek yang suka me-ngenakan surjan ini lebih dari seminggu tak merasakan manisnya wedang teh.

Dia menerima bantuan mi instan dan sekotak teh celup pekan lalu. Mbah Darso bungah menerima bantuan kesukaannya. Tapi dahinya berkerenyit ketika membuka kotak kardus teh. Ada bungkusan kecil-kecil dengan tali putih. Dia lalu merobeknya. ”Tehnya kok sithik (sedikit) dibungkus ngene (begini),” gumamnya.

Mbah Darso merobek empat bungkus lagi. Dia menyeduh teh dicampur gula dalam air panas. Mantap. Lalu dia menyeruput teh hangat-hangat. Tapi si Embah keselek serbuk halus teh yang ikut masuk kerongkongan. ”Kulo mboten nger-tos menawi kantun dicelup-celup kemawon ndamelipun (saya tidak tahu kalau memakainya tinggal dicelup-celup),” kata Mbah Darso sembari terkekeh. Dia baru tahu hal itu setelah diberi tahu seorang tetangga.

Bagi warga Desa Kaligayam dan Desa Mende, Kecamatan Wedi, bantuan mi instan yang mereka terima membikin bi-ngung, sebab mi instant tak pernah mere-ka sentuh selama ini. Warga desa di lereng bukit Gunung Kidul ini cuma kenal makanan utama tradisional ”nasi” tiwul. ”Kulo mboten nedha mie, carane masak nggih mboten ngertos (saya tak -biasa makan mi seperti ini, cara masaknya tidak tahu),” kata Prawiro, 67 tahun.

Mbah Prawiro memilih makan tiwul dicampur sayuran. Tiwul mudah didapat dari kebun miliknya. Sayuran juga tinggal memetik saja. Kok bukan beras? ”Beras awis, langkung prayogi sepindah nedha sekul supados ngirit (beras mahal, lebih baik dimakan sesekali saja biar hemat),” katanya. Pekan lalu, lusinan mi instan itu masih utuh di rumahnya.

Kisah-kisah ini menjelaskan dengan gam-blang betapa pentingnya para pembe-ri bantuan mengetahui perilaku masya-rakat pedesaan yang akan dibantu-nya. Karena itu, para korban gempa lebih se-nang ada kucuran uang kontan sehingga bisa membeli sendiri kebutuhan mereka.

Eduardus Karel Dewanto, Imron Rosyid (Klaten), Syaiful Amin dan Anas Syahirul (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus