Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Main Lempar Bola, Mengusir Trauma

Ribuan korban mengalami trauma pascagempa. Pendampingan psikologis dibutuhkan untuk mengembalikan keceriaan mereka.

12 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Topi saya bundar//bundar topi saya//kalau tidak bundar//bukan topi saya....

Resiah dengan riang menyanyikan baris demi ba-ris lagu anak-anak Topi Saya Bundar. Tanpa topi, gadis 10 tahun itu beraksi- de-ngan- memegang-megang kepa-lanya yang dibalut kerudung pu-tih. Begitu usai baris terakhir, tepuk tangan teman-temannya berkumandang. Resiah, siswi kelas III Madrasah Ibtidaiyah- Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, itu mundur dengan tersipu-sipu.

”Saya senang bisa bermain la-gi. Soalnya, kalau di rumah, ingat- bapak terus,” katanya, Kamis pekan lalu. Ayah Resiah, Agus Ismadi, memang mening-gal akibat gempa. Rumahnya ju-ga ambruk rata dengan tanah. Kini, gadis berkulit sawo matang itu tinggal di tenda bersama ibu dan seorang adiknya.

Siang itu Resiah ditemui Tempo saat menjalani terapi psikososial bersama seratusan temannya di halaman madrasah. Terapi diberikan tim Psychosocial Support Program dari Palang Merah Indonesia Pusat, bekerja sama dengan American Red Cross (ARC). ”Kalau lagi bareng teman-teman, kadang bisa lupa (bapak),” katanya. Muka Resiah yang berseri mendadak dinaungi mendung begitu acara main usai.

Bayat adalah salah satu wilayah di Klaten yang parah diamuk lindu, Sabtu- tiga pekan lalu. Hampir 1.500 rumah roboh, setidaknya dua lusin warga meregang nyawa, dan seribuan orang luka-luka. Kondisi serupa terjadi di daerah-daerah lain yang menjadi korban gempa, baik di Yogyakarta maupun Klaten.

Selain penderitaan fisik dengan hancurnya rumah atau luka tubuh, gempa juga menyisakan trauma psikis. Agar gangguan kejiwaan ini tak terus bercokol, pendampingan psikis terhadap para korban sangat dibutuhkan. Celah inilah yang diisi relawan PMI dan ARC di Klaten. Sementara itu, di wilayah Bantul, Yogyakarta, peran itu antara lain diambil Posko Bantuan Psikologis Fakultas Psikologi UGM.

”Yang penting, ajak mereka bermain dan bergembira,” kata Leah Fisher, psikoterapis dari ARC. Nah, di sela-sela acara bermain itu, baru terapis masuk dan bercerita untuk mengembalikan mental anak-anak yang terkoyak. Terapis kawakan yang sudah melanglang ke berbagai negara yang diamuk bencana ini percaya metode bermain yang dipilihnya sudah tepat.

Kegembiraan itulah yang dirasakan Resiah dan kawan-kawan. Mereka berkumpul, dibagi dalam beberapa kelompok, dan memainkan beragam acara. Ada lempar bola, bernyanyi bersama, petak umpet, tebak-tebakan, dan menggambar dengan mata tertutup. Jika ada peserta yang salah dalam permainan itu, hukumannya menyanyi atau me-nari. ”Saya benar-benar trenyuh, kemarin- anak-anak itu murung dan seperti malas belajar, sekarang mereka bisa ter-tawa lepas,” kata Tugiyem, guru dan warga setempat.

Perlahan tapi pasti, terapi yang dilakukan PMI dan ARC membuahkan hasil. Hampir sepekan berkeliling ke sejumlah desa, sebagian anak sudah mulai berani masuk ke gedung atau rumah, hal yang sebelumnya sangat dijauhi pascagempa. Setidaknya, itulah pengakuan Leo Pattiasina, Koordinator Relawan Psikososial PMI. ”Kami ingin mengembalikan kehidupan normal mereka,” katanya.

Semangat itu pula yang diusung Yoice Bunga Midasari dan kawan-kawan dari Posko Bantuan Psikologis UGM, di Bantul. Selasa pekan lalu, sekadar contoh, mereka menggelar acara di tenda di bekas gedung sekolah dasar Imogiri. Sekitar 25 anak berkumpul. Metode bermain dan bernyanyi juga menjadi -pilih-an.

Di sela-sela acara itulah, terapis masuk untuk mendongkrak semangat, sekali-gus membuang trauma yang ngendon di benak anak-anak. Tak gampang, memang. Ada saja hambatan yang muncul. Misalnya, saat anak disuruh menyanyi, yang muncul justru tangisan.

Rupanya, fobia dan trauma masih belum bisa diusir dari benak si anak. Tengoklah Agus Susanto, 9 tahun, bocah asal Plered, Bantul, yang langsung berlari keluar rumah begitu mendengar suara riuh. Atau, Arumbumi Pratiwi, 6 tahun, bocah Pandak, Bantul, yang belum jua mau pulang ke rumah. Padahal bagian belakang rumahnya masih bisa ditempati. ”Tiap diajak masuk rumah, wajahnya langsung pucat. Kalau digendong, ia meronta minta turun, lalu lari menjauh,” kata Budi Putranto, ayah Arum.

Pekerjaan rumah pascagempa memang masih banyak. Salah satunya, itu tadi, memulihkan trauma di kalang-an anak-anakmeski orang dewasa- dan lanjut usia tak bisa dilupakan. -Ungkap-an Leo benar, bantuan fisik dan logistik amat penting, tapi pendampingan untuk menyembuhkan trauma tak kalah penting. Sayang, tim yang berge-rak di bidang ini dinilai masih sangat kurang. ”Mudah-mudahan banyak lembaga lain ikut menggarap masalah ini,” katanya.

Dwi Wiyana, Anas Syahirul (Klaten), Syaiful Amin (Bantul)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus