Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mengenang dan Merindu ’Si Kuncung’

12 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Majalah anak-anak Si Kuncung memberi banyak penga-ruh pada generasi pembaca-nya. Paling tidak bagi saya seorang.

Pertama kali saya mengenal Si Kuncung saat duduk di kelas II atau III SD, menjelang pertengahan tahun 1970-an. Ketika itu usia saya belum genap 10 tahun. Ayah saya yang memperkenalkan saya kepada Si Kuncung. Di kota kelahiran saya, Jambi, majalah ini hanya dijual di satu tempat: di kantor pos besar yang berjarak tak sampai sekitar setengah kilometer dari rumah saya. Sejak saya mengenal Si Kuncung, saya bagai terkena hipnotis, sehingga sulit bagi saya untuk tidak segera menamatkannya dalam sekali duduk.

Begitu isi seluruh majalah yang berjumlah 16 halaman itu usai dilahap, saya merasa amat bahagia karena se-perti telah diajak bertualang ke tempat-tempat yang sama sekali belum per-nah saya kunjungi: dari Jakarta, lalu melompat ke tempat-tempat lain di Pulau Jawa, lalu terlontar jauh hingga ke tempat-tempat di wilayah timur Indonesia. Kisah-kisahnya beragam, mulai anak-anak yang bergelimang lumpur saat menggembala kerbau, atau yang dengan riang-gembira membuat permainan dari tumbuhan yang bisa ditiup dan mengeluarkan suara melengking, sampai yang ikut dalam perburuan ikan paus.

Hampir tiada aspek penting bagi pertumbuhan jiwa seorang anak yang tak dicakup oleh isi Si Kuncung: dari nilai persahabatan, kejenakaan dunia anak-anak, keberanian, kejujuran, ke-sederhanaan, kesediaan menolong dan meringankan penderitaan orang lain, sampai kelucuan yang bernuansa getir. Di salah satu terbitannya, misalnya, Si Kuncung menampilkan kisah sampul yang judulnya—kalau saya tak salah ingat—”Bercukur Separuh”. Tokoh utama-nya tengah bercukur di tukang pangkas, namun tiba-tiba ada kerbau mengamuk. Orang-orang lari berhamburan, termasuk si tukang cukur. Tinggallah si tokoh utama kita ini yang nelangsa karena rambutnya baru dipangkas separuh. Bukankah ini sebuah komedi situ-asi yang sangat mengasyikkan yang te-rasa begitu nyata dan amat dekat dengan kita?

Sejak kenal pertama itu, saya seper-ti tak hendak melepaskan diri lagi da-ri daya pukau Si Kuncung. Karena itu pula, di samping merasa bahagia se-telah menamatkan satu edisi, saya se-kaligus juga merasa sedih karena merindukan terbitnya edisi baru bulan be-rikutnya. Menunggu terbitnya edisi baru itu adalah sebuah pekerjaan yang mendebarkan, mungkin dapat diibaratkan seperti seorang remaja puber yang tengah menanti dengan penuh debar datangnya kekasih hati.

Beberapa tahun sebelum berkenalan dengan Si Kuncung, saya telah sempat mengenal sejumlah bacaan anak-anak, namun sebagian besar dari khazanah luar negeri, seperti Pinokio (dalam edisi Indonesia, dengan tebal mencapai 300-an halaman), juga karya-karya L-aura Ingals Wilder. Si Kuncung melengkapkan khazanah bacaan saya, karena dia-lah yang menyuguhkan kekayaan yang begitu berlimpah dari berbagai penjuru Indonesia. Saya bangga menjadi anak Indonesia masa itu.

Belakangan, Si Kuncung menerbitkan edisi ukuran kecil (Kuncung Kecil). Di sanalah pertama kali saya mengenal seseorang dengan nama Mohammad Sobary, lewat ceritanya mengenai mo-nyet lucu peliharaannya yang mati ka-rena tersengat listrik. Berpuluh tahun kemudian kita mengenal Mohammad So-bary sebagai seorang yang cukup konsisten menulis. Ini jugalah menurut saya peran penting yang disumbangkan oleh Si Kuncung: membuat banyak pembacanya bermimpi untuk suatu ha-ri kelak menjadi juru cerita yang memiliki daya pukau sedahsyat kisah-kisah di majalah itu.

Pada tahun-tahun 1970-an itu, sebe-tulnya Si Kuncung tidak sendiri meng-isi khazanah majalah anak-anak di Indonesia. Ada beberapa nama lain, mi-salnya saja Nuri (terbitan Medan), dan belakangan Bobo (Jakarta). Namun Si Kuncung tetaplah yang terhebat bagi saya, dan mungkin juga bagi banyak orang lain yang tumbuh dan dibesar-kan oleh majalah itu. Keunggul-an utama Si Kuncung terletak pada pi-lih-an cerita, cara penuturan, serta ke-ragaman ceritanya.

Bertahun-tahun sesudah pertama kali mengenal Si Kuncung itu saya masih bisa mengingat sejumlah ceritanya. Salah satunya adalah Pasukan Berani Mati, sebuah cerita bersambung karangan Riyono Pratikto. Cerita ini, bagi saya, amat menggugah karena memaparkan sema-ngat heroisme membela t-anah air. Ba-yang-kan, sejumlah remaja belasan tahun, m-asih mengenakan celana pen-dek, sudah memanggul senjata untuk meng-usir penjajah di sekitar kawasan Ambarawa.

Si Kuncung tentu saja diasuh oleh sejumlah orang. Pemimpin redaksinya ketika itu adalah Pak Su-dja-ti S.A. Namun, nama yang paling sering dikaitkan orang dengan Si Kuncung adalah Soekanto S.A.; Pak Kanto ia biasa dipanggil. Mengenang kembali Si Kuncung adalah juga mengenang jasa-jasa Pak Kanto, yang dedikasi-nya pada d-unia anak-anak bagai tak ber-ujung. Ini te-cermin dari isi Si Kuncung, dari cerita-cerita anak-anak yang di-gubahnya, dan juga dari setiap pembicaraan langsung dengannya.

Saya merasa beruntung karena me-nge-nal Pak Kanto secara langsung, ken-dati ketika itu saya sudah bukan lagi anak-anak. Itu terjadi di masa-masa saya menjadi mahasiswa dan sering menulis untuk majalah Gadis. Ketika itu Pak Kanto bekerja di kelompok penerbitan Femina-Gadis. Setiap saya ke Gadis dan/atau Femina, entah menyerahkan tulisan atau mengambil honor, selalu saya sempatkan berjumpa Pak Kanto. Pak Kanto bagai tak pernah kehilangan gairah jika berbicara mengenai dua hal: dunia anak-anak, dan dunia tulis-menulis. Dan jika sudah bicara ihwal Si Kuncung, Pak Kanto de-ngan mata berbinar menceritakan kembali suka-duka mengurus majalah anak-anak terbaik yang pernah dimiliki Indonesia itu.

Sebagai penggemar fana-tik Si Kuncung, saya juga sempat me-ngumpulkan majalah-majalah Si Kuncung saya. Namun, sekitar 15 tahun lalu, koleksi ini tak terselamatkan, dimakan lembap. Saya sering merindukan untuk bisa memiliki kembali koleksi majalah-majalah tersebut, atau memimpikan majalah ini terbit kembali. Saya memimpikan ada seorang pemodal idea-listis yang mau melakukan ini, atau menerbitkan majalah anak-anak baru dengan isi yang sek-aya Si Kuncung. De-ngan itu, anak-anak Indonesia akan men-dapatkan gambaran mengenai dunia lain, se-bagai alternatif dari dunia penuh gemerlap konsumeristis yang begitu dominan saat ini. Namun saya sadar, impian ini mungkin tak lagi realistis. Pesona dan daya sihir televisi dan games tampaknya akan jauh lebih memikat bagi anak-anak Indonesia masa kini.

Benih yang disemai Si Kuncung te-lah melahirkan satu generasi yang ber-utang pada majalah legendaris itu. Sa-ya dengan senang hati mengakui sebagai salah satu di antara para pengutang itu. Bila tulisan ini sampai ke hadapan para pembaca, maka inilah salah satu cara untuk mewujudkan proses pembayaran kembali utang saya kepada apa yang telah dipinjamkan Si Kuncung kepada hidup saya. Sebuah utang yang tentu saja tak akan pernah lunas terbayar; utang abadi yang akan selalu bersama saya sepanjang usia.…

Arya Gunawan, pembaca Si Kuncung, mantan wartawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus