SEPERTI makin mudah memecat murid. Effendi, kelas III Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) Negeri, Malang awal Juni lalu dipersilakan angkat kaki dari sekolah. Ia dinilai oleh Wiryono Parwopranoto, kepala SPP itu, "Sudah sangat sering melanggar tata tertib, melawan guru, menghasut teman-temannya untuk melawan kebijaksanaan sekolah." Repotnya, sebagaimana sering terjadi, sang korban tak diberi kesempatan membela diri. Padahal, seperti yang dapat diliput oleh TEMPO, ternyata ada latar belakang lain. Itu sebabnya, Effendi lalu berusaha sekuat tenaga mencari keadilan. Mula-mula ia berusaha meminta penjelasan dari Wiryono sendiri. Gagal. Ia datang kepada guru-gurunya, pun tak berhasil. Lalu Effendi, bekas ketua OSIS (organisasi siswa intrasekolah), memberanikan diri berkirim surat kepada Menteri Pertanian, Dirjen Peternakan, Menteri P & K, serta Menteri Muda Pemuda dan Olah Raga. Kepada mereka, anak Desa Jatirejo, Kecamatan Benculuk, Banyuwangi, itu menceritakan ihwalnya dan sekaligus meminta kebijaksanaan. Kemudian Effendi pun menulis surat kepada wali kota Malang, Tom Uripan. Semuanya belum menjawab. Maka, Selasa dua pekan lalu Effendi datang ke DPRD Kodya Malang. "Kami belum bisa mengatakan apa-apa akan kami pelajari dulu masalahnya," kata Paiman, ketua DPRD Kodya Malang, kepada TEMPO. Effendi, yang termasuk peringkat siswa pandai bahkan pernah menjadi juara kelas, semakin bingung. "Saya tak tahu persis apa kesalahan saya," kata siswa yang mendapat beasiswa dari sekolahnya ini - dan tentu saja sejak ia dipecat, 1 Juni lalu, beasiswa tak dibayarkan lagi. Ia selama ini tak pernah merasa melanggar peraturan sekolah. Nilai rapornya sejak kelas 1 paling sedikit rata-rata 7, dan nilai kepribadiannya termasuk kategori B (baik). Adakah soal lain? Memang. Di SPP, Malang, yang terkena tindakan kepala sekolah bukan cuma Effendi. Juga ada beberapa siswa lainnya. Pasalnya, mereka menonton sidang di Pengadilan Negeri Malang, 20 Mei pagi, dan di sidang itu Wiryono, kepala SPP, duduk sebagai tergugat I. Ceritanya, hari itu ada upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional di lapangan Kodya Malang. SPP mengirimkan 60 siswa untuk ikut upacara. Mereka diberangkatkan dengan mobil angkutan milik sekolah, dua rit, karena mobil cuma bisa mengangkut 30 anak. Rombongan kedua, termasuk di dalamnya Effendi, ternyata terlambat. Mereka tak boleh lagi masuk lapangan. Karena tak ada yang harus dilakukan, maka muncul keinginan anak-anak untuk menjenguk sidang pengadilan. Sebab, salah seorang di dalam sidang itu mereka kenal benar, yaitu kepala sekolahnya. Keinginan ini muncul secara spontan tak ada yang memberi komando. Akhirnya, sebelum sidang dibuka, terkumpul 17 siswa SPP di pengadilan. Wiryono tentu saja melihat siswa-siswanya. Ia sempat marah. Dan menurut Effendi, sebelum sidang dimulai, Wiryono menemui mereka, dan memerintah kan mereka keluar. "Kalian pulang semua kalau tidak, saya pecat," kata Effendi menirukan Wiryono. Murid-murid SPP itu memang patuh. Mereka kembali ke sekolah. Pada hari itu juga, setelah selesai sidang, Wiryono mengumpulkan ke-17 siswa yang datang di pengadilan. Ia, kepada para siswa, mengatakan bahwa bila ada latar belakang lain selain sekadar ingin tahu, mereka akan dipecat. Tapi sepuluh hari kemudian, persisnya pada 1 Juni, keluarlah surat pemecatan buat Effendi. Tiga siswa yang lain, beasiswanya dicabut. Empat murid dikeluarkan dari asrama, dan diminta secepatnya pindah sekolah. Yang empat ini memang bisa diterima kembali di SPP Malang bila sekolah lain ternyata menolak mereka. Berat juga sanksi ini. Sebab, hanya ada delapan sekolah pertanian pembangunan di seluruh Indonesia yang punya program studi bidang peternakan seperti di Malang itu. Antara lain di Bogor, Magelang, Lembang, dan di luar Jawa. Ini sama juga memaksa mereka pindah dari Malang. Entah bagaimana, akhirnya keempat siswa mendapatkan juga surat penolakan dari SPP negeri yang lain. Seorang siswa, misalnya, memperoleh surat dari Hadmadi, kepala SPP Negeri Magelang, bahwa ia tak bisa diterima di Magelang karena sekolah sudah penuh. Meski sudah boleh masuk sekolah, keempat anak yang diminta pindah masih harus membawa surat pernyataan dari orangtua masing-masing, yang diteken kepala desa. Isi surat bahwa anak mereka siap belajar kembali, dan berjanji tak akan bikin onar lagi. Konon, semua keputusan yang menyangkut siswa-siswa itu diputuskan dalam suatu rapat dewan guru. Siswa lain yang juga ikut nongol di sidang pengadilan yang tak terkena sanksi berat cuma disuruh her (mengulang ulangan). Siswa-siswa ini, menurut Wiryono, bapak dua anak, masih bisa dikendalikan. Tapi Effendi memang lain. "Misalkan dalam sebuah kandang ayam, seekor ayam mengidap penyakit yang bisa menular ke ayam-ayam yang lain, mau tak mau ayam itu harus disingkirkan dari kandang," kata kepala SPP yang punya bidang studi peternakan ini. TAPI apa saja "penyakit" Effendi? Wiryono, yang mengaku pernah belajar di Sam Houston State University, AS, tak mau merincinya. Bahkan, kata kepala sekolah bertubuh gemuk ini, sanksi yang ia jatuhkan kepada siswa-siswanya tak ada hubungannya dengan kehadiran mereka di pengadilan. Toh, akhirnya terlontar juga dari Wiryono, kelahiran Solo, bahwa "anak-anak itu diperalat oleh Soemitro". Nama yang terakhir ini adalah yang menggugat Wiryono di pengadilan itu dalam perkara rumah dinas. Rumah yang kini ditempati Soemitro seharusnya buat Wiryono. Tapi selama ini, menurut Soemitro, juga staf pengajar di sekolah yang sama yang sejak beberapa waktu lalu dipindah ke Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian, Jakarta, cara Wiryono meminta dia pergi kasar. Misalnya, suatu hari siswa-siswa SPP disuruh mengadakan perkemahan di halaman rumah yang masih ditempati keluarga Soemitro. Lalu, benarkah karena itu ia membalas Wiryono dengan memperalat Effendi? "Sama sekali tidak", jawab Soemitro. Sementara itu, ke-15 teman Effendi telah kembali ke sekolahnya yang bertanah seluas 9 ha dan memiliki sekitar 240 siswa itu. Seorang siswa hijrah SPP di Lembang, Jawa Barat. Cuma Effendi, anak keenam dari tujuh bersaudara yang bapaknya petani di Banyuwangi, jadi korban. "Saya masih menunggu kebijaksanaan dari para pejabat yang saya kirimi surat, terutama pejabat di Malang sendiri," kata Effendi. Termasuk pihak LBH Malang, yang kini tengah mempelajari kasus Effendi. Bambang Bujono Laporan Jalil Hakim & M. Baharun (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini