Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Belum Damai di Poso

Dalam aksi bom sampai pembunuhan sadistis di Poso, tak satu pun pelaku terungkap. Ada yang usul darurat militer.

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA tubuh manusia tanpa kepala berserak di Dusun Bukit Bambu, Kelurahan Sayo, Kecamatan Poso Kota, Sabtu dua pekan lalu. Tiga tubuh itu masih berbalut seragam Pramuka yang basah lengket tersiram darah. Warga kampung pun panik.

Hari itu masih pukul tujuh pagi, dan matahari baru saja terbit di Poso. Pemilik tubuh yang berserak itu baru jelas satu jam kemudian. Tiga kepala mereka ditemukan berserakan di dua tempat. Dari peristiwa itu, bayang-bayang konflik agama berdarah, yang sudah padam empat tahun silam, kini mendadak muncul lagi.

Mulanya, warga menemukan dua kepala manusia tergeletak di ruas jalan Kelurahan Tagolu dan Desa Sintuwulemba kilometer sembilan, Kecamatan Lage. Jaraknya sekitar delapan kilometer dari tempat tubuh korban ditemukan. Satu kepala lain dilihat warga tercecer di depan Gereja Pantekosta di Kelurahan Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir. Dari tempat tubuh ditemukan, jaraknya sekitar 15 kilometer.

Tiga kepala itu akhirnya dapat dikenali dan semuanya remaja perempuan. Mereka adalah Ida Yarni Sambue, 15 tahun, Theresia Morangke, 15 tahun, dan Alfita Poliwo, 19 tahun. Ketiganya adalah siswi SMA Kristen Poso dan warga Kelurahan Bukit Bambu, Kecamatan Poso Kota, Poso. Satu orang rupanya selamat. Noviana Malewa, 15 tahun, masih hidup saat ditemukan warga tak jauh dari tiga tubuh temannya.

Kondisi Noviana memang mengenaskan. Wajahnya terluka. Bagian paling parah adalah lehernya, seperti bekas terkena tebas kelewang. Saat ditemukan, siswi SMA Kristen itu dalam keadaan lemah. Dia belum bisa buka mulut dan kini masih tergolek di Rumah Sakit Umum Poso. Sebelumnya, juru bicara Markas Besar Polri, Irjen Polisi Aryanto Boedihardjo, sempat melontarkan sepotong informasi yang dikutip dari Noviana. Para korban, kata Aryanto, dibunuh enam orang bersenjata golok. ”Pelaku berpakaian hitam dan bercadar,” ujar Aryanto kepada wartawan di Jakarta.

Di Jakarta, berita soal pembunuhan sadistis itu sempat membuat pemerintah gusar. Pada hari itu juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar rapat cepat di Bandara Halim Perdanakusuma. Turut hadir Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri. Presiden meminta polisi dibantu TNI segera turun menjaga agar situasi tak memburuk. ”Bisa jadi ini sisa konflik horizontal yang pernah terjadi sebelumnya,” ujar SBY.

Lima tahun silam, Poso pernah hancur lebur oleh konflik sentimen agama. Pemerintah daerah setempat mencatat, korban tewas sekitar 577 jiwa. Sekitar 7.932 rumah penduduk terbakar, 1.378 rusak berat, dan 690 rumah rusak ringan. Sedangkan rumah ibadah yang terbakar tercatat 27 masjid dan 55 gereja hangus jadi arang.

Itu sebabnya, Kepala Polri Jenderal Sutanto bersama Wakil Kepala Badan Intelijen Negara M. As’ad Said Ali bergegas ke Poso pada hari itu. Kekuatan pengamanan Poso pun ditambah. Dari Jakarta, dikirim dua kompi Brigade Mobil plus bantuan satu kompi lain dari Balikpapan. TNI juga mengerahkan satu batalion tambahan ke Poso, Rabu pekan lalu. Penjagaan ketat berlangsung di semua sudut.

Dua bulan belakangan, Poso kembali tegang oleh teror. Sebelum kasus pembunuhan sadistis itu, empat warga tewas disikat penembak misterius. Para pelakunya raib begitu saja. Korbannya Budianto, Sugito, Asrin Lajidi, dan anggota Polres Poso Briptu Agus Soleman. Sebelumnya, bom meledak di Pasar Tentena, Mei silam. Sebanyak 22 jiwa melayang dan puluhan warga sipil terluka. Para pelakunya juga tak jelas sampai hari ini.

Berbagai kegagalan aparat membuka selubung rangkaian kejahatan itu membuat Ketua Partai Damai Sejahtera wilayah Poso, Frans Karel Megati, jengkel. ”Saya usul agar Poso dijadikan daerah darurat militer,” ujarnya. Partainya adalah kekuatan politik terkuat saat ini di wilayah itu.

Tokoh Kristen di Poso, Pendeta Rinaldi Damanik, menyatakan pelakunya sangat mungkin orang luar Poso. Kata dia, sejak deklarasi Malino ditandatangani empat tahun lalu, Poso sudah berangsur normal. Tokoh muslim setempat, Ustad Adnan Arsal Umar, juga mengatakan umat Islam dan Kristen di Poso sudah sepakat menguburkan konflik masa lalu. Jadi, ”Kalau ada warga Poso yang Kristen tewas dibunuh, pelakunya belum tentu kelompok Islam,” ujarnya.

Yang pasti, ada penjahat laknat yang berniat meniup kembali bara yang sudah padam itu.

Nezar Patria, Darlis Muhammad (Palu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus