Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mirip Tak Mirip Pokoknya Pasrah

Mirip teroris, ibarat jatuh tertimpa tangga. Ada yang menderita kelainan jiwa.

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Djedjen Achmad Djelani. Berkulit sawo matang, berkumis, rambut dipotong pendek, mengenakan kaca mata minus. Yang istimewa: wajahnya mirip benar dengan Dr Azahari—tersangka otak serangkaian bom di Indonesia. Polisi pun mencokoknya di Kabupaten Rote Ndao, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, dua pekan setelah bom Bali II.

Sebetulnya, kekeliruan itu tak perlu-perlu benar terjadi. Tinggi tubuh warga Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara itu cuma 163 sentimeter. Sedangkan Azahari yang tulen 175 sentimeter—beda 12 sentimeter. Polisi baru menyadarinya setelah Djedjen digelandang ke markas Polda NTT, Kupang.

Repotnya, berita telanjur menyebar cepat. Juga sampai ke keluarga Djedjen yang menetap di Jakarta. Mereka terpukul. ”Kedua putra kami stres,” kata Sri Heni Nuraini, istri Djedjen.

Polisi mengaku salah tangkap. Tapi tak berarti Djedjen langsung melenggang bebas. Polisi sudah siap dengan tuduhan baru, yakni pemalsuan identitas. Djedjen memang memiliki KTP Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, atas nama Edy Kristianto. Dia juga dituding memalsukan dokumen imigrasi. Untuk pemalsuan identitas saja, ancaman hukumannya penjara tujuh tahun.

Itulah yang membikin Sri gelisah. Akhirnya dia memutuskan pergi ke Kupang menemani sang suami. ”Suami saya bukan teroris, mengapa diperlakukan seperti itu?” katanya kepada Tempo. ”Di televisi ada warga yang berteriak ’bunuh dia’, sambil mengacungkan sepotong kayu.”

Begitulah, Djedjen melakukan semua itu demi pekerjaan. Sarjana teknik perminyakan lulusan Universitas Trisaksi, Jakarta, itu pernah dua tahun bekerja di Darwin, Australia Utara. Karena over stay, dia dideportasi. Namanya pun masuk daftar hitam.

Karena ingin kembali ke Darwin, ia membuat dokumen palsu. Nyatanya tak banyak berguna, karena untuk mendapatkan visa, dia harus menunjukkan rekening bank sebesar Rp 50 juta ke Kedutaan Australia di Jakarta.

Djedjen tak memiliki uang sebanyak itu. Maka, ketika ada yang menawarkan jalur ilegal lewat Rote, Djedjen tergoda. Kini kisahnya berakhir mengenaskan, hanya gara-gara mirip Azahari.

Djedjen bukan orang pertama yang ditangkap polisi karena mirip teroris. Ada banyak lainnya, termasuk Khasrori Kholi alias Abdurrahman alias Hansip Simarmata. Tapi tukang pijat yang disangka Noodin M. Top—rekan Azahari yang juga lagi diburu polisi—itu berakhir lebih tragis. Khasrori dikabarkan mengalami gangguan jiwa.

Polisi menciduk Khasrori di Desa Dander, Bojonegoro, Jawa Timur, pada September lalu. Beberapa warga melaporkan dia karena sering mengaku mengenal Amrozi—pelaku bom Bali pertama. Mereka menduga dia Noordin. Padahal wajahnya sama sekali tidak mirip.

Memang akhirnya dia dilepas lagi. Namun, menurut Kasat Reskrim Polres Bojonegoro, Ajun Komisaris Polisi Masduki, Khasrori mengalami gangguan jiwa. Sejak itu ia menghilang dari Dander. Mungkin pulang ke Medan—ini kata Masduki. Tak jelas pula apakah gangguan jiwa itu telah lama diidapnya atau justru karena ditangkap.

Kalau mendengar cerita warga Dander, Khasrori waras-waras belaka sebelumnya. Dia sangat pintar memijat, dan sering diundang warga. ”Dia juga berjualan obat dan jamu,” kata Suharso, warga setempat.

Yang nasibnya agak ”lumayan” adalah Acun Hadiwijoyo. Kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini ditangkap di stasiun Bekasi, Januari 2003, beberapa bulan setelah bom Bali I. Ia dikira Hambali, teroris yang sedang dicari-cari. Polisi memang salah tangkap.

Kepada Tempo dia mengaku aktivitasnya tak terganggu. Bisnisnya masih lancar. Toh, ”Kalau ingat, saya sering tidak bisa tidur,” katanya. Kini penangkapan atas Djedjen itu kembali membangkitkan kenangan buruknya. ”Sepertinya saat itu saya benar-benar seorang buron,” ia mengenang.

Dulu Acun ingin menuntut kepolisian, namun diurungkan setelah Kapolda Jawa Barat dan Kapolres Bekasi (saat itu) meminta maaf. Tak tahu apakah polisi juga minta maaf kepada ”korban” lain atau tidak. Yang jelas, rata-rata mereka hanya bisa pasrah.

Philipus Parera, Jems De Fortuna (Kupang), Rohman Taufiq (Madiun), Heru C. Nugroho (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus