Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada hari-hari terakhirnya, Kenneth Tjahjady Sudarto masih sempat mengirim SMS kepada besannya, mantan Wakil Ketua Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Ia menanyakan apakah betul BPKP Semarang sedang mengaudit Pemda Kebumen. Sang besan langsung kasak-kusuk. Ternyata itu hanya rumor. Ken pun lega. Dan itulah SMS-nya yang terakhir untuk sang besan.
Ken, kelahiran Kebumen, 16 Maret 1943, adalah pendiri Matari Advertising. Dari sebuah garasi di kawasan Cideng sampai mempunyai beberapa gedung megah di segitiga emas Kuningan. Tetapi, Matari terlalu kecil buat seorang Ken. Karena itu ia justru lebih banyak berkiprah di luar Matari. Di industri periklanan, ia adalah ”orang pergerakan”.
Ken memang punya hubungan ”khusus” dengan Rustriningsih, Bupati Kebumen. ”Jarang ada bupati yang bersih seperti Mbak Ning,” kata Ken memberi alasan. Ken terlibat dalam banyak urusan memajukan Kabupaten Kebumen—”tanah tumpah darahnya”. Ia ikut memikirkan pemancar radio dan televisi Kebumen dan membuat Mbak Ning mengudara setiap hari agar selalu engaged dengan rakyatnya. Ken ingin menjadikan daerahnya sebagai model kabupaten yang dikelola secara modern, demokratis, transparan, dan mengikuti asas akuntabilitas. Tak mengherankan bila Ken adalah orang pertama yang dimintai ”izin” ketika Mbak Ning mau menikah.
Sejak merintisnya, Matari memang bukan ”mainan” Ken yang utama. Bahkan Kwik Kian Gie, salah seorang temannya, selalu heran. ”Kok Ken bisa, ya, nggak fokus ke Matari, tetapi Matarinya sukses besar? Saya yang sudah 300 persen fokus ke bisnis saya kok malah nggak sukses?” kata Kwik ketika itu tentang perusahaan komputernya di Cideng. Salah seorang teman ”gaul” Ken lainnya di bidang politik dan sosial Katolik adalah Harry Tjan Silalahi.
Ken anggota pertama International Advertising Association di negeri ini. Ia rajin memprakarsai breakfast meeting, mendiskusikan berbagai hal yang menyangkut kemajuan dunia periklanan Indonesia. Ia pula yang menjadi tangki pemikir untuk pendirian Asosiasi Penyantun dan Pemrakarsa Periklanan Indonesia (Asppindo) yang saya lembagakan bersama Taufiq Ismail, Anak Agung Gde Agung, dan teman-teman lain. Lembaga advertisers association ini diperlukan untuk melengkapi tripartit periklanan, mengingat perusahaan periklanan sudah punya asosiasi, demikian pula para penerbit surat kabar dan majalah.
Pada 1983, dalam rangka advokasi dan sosialisasi periklanan kepada pemerintah, Ken mengajak beberapa pejabat pemerintah dan tokoh media massa melakukan ”studi banding” tentang periklanan ke Negeri Belanda dan Amerika Serikat. Waktu itu citra periklanan amat buruk. Permadi SH melalui YLKI selalu berkata buruk tentang periklanan. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Penerangan, pun memberlakukan berbagai aturan yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan periklanan. Praktisi periklanan Indonesia sendiri belum sepenuhnya paham apa yang perlu dilakukan untuk membangun industri periklanan yang tangguh.
Ken juga membuat Matari sebagai perusahaan periklanan pertama di Indonesia yang secara aktif melakukan iklan layanan masyarakat. Boleh dikata, pada 1980-an tidak ada peristiwa atau kepedulian nasional yang tidak digarap menjadi iklan layanan masyarakat oleh Matari. Ken juga tak segan ”memaksa” kliennya mewujudkan good corporate citizenship lewat iklan layanan masyarakat. Masih ingat iklan tentang lingkungan hidup dengan judul ”Bumi ini bukan warisan bagi anak-cucu kita, melainkan pinjaman dari mereka”?
Ken merugi ratusan juta rupiah pada 1980-an ketika secara besar-besaran menyelenggarakan program social marketing pengerahan dana bagi Yayasan Penyantun Anak-anak Cacat dan Karaton Yogyakarta Hadiningrat. Ternyata, banyak janji palsu dalam urusan madaniah.
Ken bahkan sempat ”minggir” dari kursi eksekutif Matari agar punya waktu lebih banyak untuk urusan sosialnya. Daftar keikutsertaan Ken dan Matari dalam program-program seperti ini memang cukup panjang, antara lain penerbitan majalah Balita, Pekan Imunisasi Nasional, dan banyak lagi.
Ken sangat bangga akan Indonesia. Dia mati-matian menjaga kemurnian Matari sebagai perusahaan periklanan Indonesia 100 persen. Walau begitu, dia sama sekali tidak anti-asing. Matarilah yang pertama memakai jasa International Executive Service Corps (IESC) di Indonesia—bahkan kemudian menjadi semacam badan humas bagi IESC. Matari telah mendatangkan beberapa pakar periklanan Amerika Serikat untuk berbagi pengalaman di Indonesia.
Si ganteng gagah Ken Sudarto berpulang pada pukul 06.06 waktu Singapura, 5 November 2005, setelah berjuang melawan kanker limfoma ganas, meninggalkan seorang istri, Sylvie, dan tiga anak: Michael, Glenn, Cynthia.
Selamat jalan, sahabatku.
Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo