Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA lelaki tegap menerobos masuk, mengaku aparat kepolisian. Satu di antara mereka langsung menginterogasi Rahayuningtyas, penghuni rumah di ujung Gang Cempaka, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah itu. ”Siapa yang dihubungi? Apa yang dibicarakan?”
Kekagetan Rahayu hanya sesaat. Setelah menunjukkan bahwa dia sedang menghubungi saudaranya yang tinggal di Jakarta, tamu tak diundang itu ngeloyor pergi. ”Saya sadar rumah saya disadap,” kata Rahayu, tentang peristiwa setahun lalu itu.
Siapa Rahayu, hingga polisi menyadap sinyal telepon genggamnya? Perempuan 36 tahun itu bukan tokoh istimewa. Dia istri Aris Sunarso alias Zulkarnaen Daud. Pria ini disebut-sebut sebagai panglima tertinggi sayap militer Jamaah Islamiyah (JI), kelompok yang dituding melakukan sejumlah pengeboman di Tanah Air.
Zulkarnaen menjadi salah seorang yang paling diburu. Anak Desa Gebang, Sragen, Jawa Tengah, yang nyantri di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, sejak 1975 itu, dalam kelompok JI, bertanggung jawab atas operasi intelijen dan operasi pembangunan kekuatan.
Di mata Rahayu, suaminya hanyalah ustad yang nyambi berdagang pakaian. Suaminya menghilang setelah peristiwa bom Bali I, tiga tahun lalu. Sejak itu dia harus menghidupi keenam anaknya. Mencari pekerjaan bukanlah sesuatu yang mudah sejak suaminya dituduh teroris.
Alumni Khuliafatul Mu’alimat (KMA) Al-Mukmin Ngruki ini ditolak almamaternya saat melamar menjadi ustazah di pondoknya. ”Padahal sebelumnya beberapa ustad menawari pekerjaan itu,” kata wanita kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah itu.
Rahayu kemudian bermaksud melanjutkan usaha suaminya berjualan pakaian. Namun relasi bisnis suaminya secara perlahan menghindarinya. Seorang juragan di Pasar Klewer, Solo, saking takutnya menolak ketika dia bermaksud membayar utang suaminya. ”Ya sudah, saya tidak jadi berjualan,” kata wanita yang selalu ramah ini.
Beruntung, beberapa saat kemudian dia diterima bekerja sebagai guru taman kanak-kanak di dekat rumahnya. Tetapi di sekolah itu Rahayu harus merahasiakan jati dirinya. Dia khawatir, orang tua muridnya akan takut dan memindahkan anak mereka dari sekolah itu.
Dia mengaku beruntung lingkungan tempat tinggalnya di belakang asrama putri Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, itu bisa memahami kondisi keluarganya. ”Teman-teman saya sudah tahu, sehingga tidak ada rasa curiga,” ujarnya.
Gaji seorang guru TK jelas tak cukup membiayai hidupnya bersama keenam anaknya. Kini tiga anaknya dititipkan ke mertuanya. Diakuinya, kadang kala ada saudara, tetangga, dan kenalannya yang memberikan bantuan, baik barang maupun uang.
Kepada anak-anaknya, Rahayu tak pernah bercerita mengenai masalah yang dihadapi ayah mereka. Jika anaknya bertanya, kapan ayah mereka pulang, ”Doakan saja selamat dan dapat segera pulang,” katanya.
Meski harus tinggal tanpa suami, Rahayu tak pernah khawatir rumahnya disatroni perampok atau pencuri. Dia tahu aparat keamanan terus-menerus mengawasi rumahnya sejak bom Bali I. Hampir setiap hari ada saja orang tak dikenal berseliweran di sekitar rumah.
”Caranya aneh-aneh, Mas,” katanya kepada Tempo. Para ”pengintai” itu ada yang menyamar sebagai tukang bakso, tukang mi ayam, atau penjual lainnya. Mereka gampang ketahuan, misalnya berjualan tapi hanya nongkrong di samping rumah, tak pergi-pergi.
Cara mereka memukul mangkuk juga tak sama dengan lazimnya pedagang bakso. Ada pula yang menyamar sebagai tukang becak, tapi nongkrong di atas becaknya seharian di samping rumahnya. ”Padahal kan ini jalan buntu,” katanya sambil tertawa.
Pengawasan itu sempat kendur setahun lalu. Tapi kembali ketat setelah peristiwa bom Bali II. Meski awalnya Rahayu merasa takut, lama-lama dia terbiasa. Bahkan dia tak lagi merasa terganggu untuk melakukan usaha sampingan menambah penghasilan. Namun dia berusaha menghindar ketika ditanya tentang usaha sampingannya itu. ”Kehidupan kami ndak usah dieksposlah, kayak selebriti saja,” katanya renyah.
Agung Rulianto, Imron Rosyid, Anas Syahirul (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo