Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bila kapal oleng ke timur

Aceh bagian timur dan utara banyak ditumbuhi kegiatan industri. 75% kehidupan aceh bergantung pada aceh utara. sebagai dampaknya muncul kriminalitas. ada kelompok yang gelisah dan gampang terpengaruh.

30 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AHAD lalu itu, Pasar Pantonlabu, Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara -- sekitar 70 km arah timur dari Lhokseumawe -- ramai seperti biasa. Tak ada tanda-tanda mencekam di daerah yang disebut-sebut sebagai basis GPK itu. "Kami tidak merasa takut, dan tak ada apa-apa," kata seorang pedagang. Padahal, pada 14 Juni 1990 silam terjadi insiden penembakan terhadap Zaenal, 35 tahun, seorang petani asal Kecamatan Jambo Aye. Zaenal menderita luka parah, karena ditembak seorang yang tak dikenal -- diduga anggota GPK -- yang terus melarikan diri dengan sepeda motor warna hitamnya. Itu cuma salah satu contoh insiden dari 11 kejadian beruntun aksi teror yang dijalankan oleh GPK, sejak 13 Mei hingga 17 Juni 1990 lalu, di belahan timur Provinsi Aceh. Tampaknya, kejadian itu tak terlalu berbekas. Kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Menurut Kapuspen ABRI Brigjen. Nurhadi Purwosaputro, GPK itu hanya beroperasi di tiga kecamatan yang kebetulan terletak di tiga kabupaten yang berbeda. Yaitu di Kecamatan Tiro (Kabupaten Pidie), Kecamatan Kuta Makmur (Kabupaten Aceh Utara), dan Kecamatan Langsa (Kabupaten Aceh Timur). Memang, ketiga kabupaten yang letaknya berjejer di pesisir timur Provinsi Aceh itu banyak ditumbuhi kegiatan industri. Bahkan, seperti yang diungkapkan Gubernur Ibrahim Hasan 75% dari kehidupan Aceh bergantung pada Aceh Utara. Di sanalah, antara lain, bercokol sejumlah proyek vital, seperti PT Arun (industri gas alam cair), PT Aceh Asean Fertilizer (industri pupuk), PT Pupuk Iskandar Muda (industri pupuk), dan PT Kertas Kraft Aceh (industri kertas). Ini masih ditambah lagi dengan sederet industri menengah lainnya. Wilayah ini diibaratkan "gula" yang mengundang banyak "semut" alias pendatang. Apalagi pesisir timur itu dilewati pula oleh jalan raya mulus yang menghubungkan Medan dan Banda Aceh. Inilah jantung sekaligus jalur ekonomi buat Provinsi Aceh. Sementara itu, jalan-jalan di kawasan Aceh bagian tengah dan pesisir barat kondisinya tak sebaik di pesisir timur. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi di daerah menjadi terhambat. Sudah bisa ditebak, tumbuhnya industri di pesisir timur itu selalu seiring dengan berkembangnya kota. Gemerlapan moder- nisasi membuat silau mata. Seperti kata Nurhadi, ciri kota yang maju adalah kemajemukan penduduknya. Lalu ada orang yang tak bisa menyesuaikan diri. Mereka inilah kemudian beraksi karena tidak terpe-nuhi kepuasan psikologisnya. Tingkat kriminalitas di kawasan ini memang terlihat agak menonjol ketimbang daerah lainnya. Dalam data statistik Pro- vinsi Aceh 1988, pada tahun 1987 tercatat ada 134 kasus pencurian dengan pemberatan di Kabupaten Aceh Utara dan 194 kasus di Aceh Timur. Bandingkan dengan Kabupaten Aceh Barat, yang hanya dijumpai 15 kasus, atau Aceh Selatan dengan 13 kasus. Juga soal penganiayaan, di Kabupaten Aceh Utara terdapat 95 kasus, dan Aceh Timur ada 83 kasus. Jumlah itu tak seberapa ketimbang di Kabupaten Aceh Tengah (3 kasus) atau Aceh Selatan (6 kasus). Munculnya penyimpangan sosial ini, menurut Ketua DPRD Tingkat I Aceh, Achmad Amin, tak bisa dilepaskan karena adanya ketimpangan pembangunan antara daerah Aceh belahan barat dan timur. Ketimpangan pembangunan ini, katanya, membuat Aceh ibarat kapal oleng. Sekitar 65% penduduk Aceh yang jumlahnya lebih 3 juta jiwa itu berdiam di pantai utara da timur. Sedangkan sisanya tersebar di pantai barat dan selatan dan di Acel bagian tengah. Tak heran kalau banyak pemuda tamatan SLTA di provinsi itu juga ikut tersedot ke Aceh bagian timur yang memang sudah ditetapkan sebagai daerah zone industri. Akibatnya, praktis semua tenaga terampil yang ada di Aceh berlomba-lomba ber- upaya memasuki sektor modern itu. Padahal, kata Amin, tentu tak semuanya bisa ditampung di sektor industri. Akibatnya, ada yang gelisah dan gampang terpengaruh oleh kelompok yang ingin adanya kerusuhan di Aceh. Karena itu, ia mengimbau Pemda Aceh, sudah selayaknya juga melirik ke Aceh belahan barat. "Sehingga tenaga kerja tak lagi terpusat di Aceh bagian timur," katanya mengeluh. Memang, menurut staf Bappeda Aceh, Muzakir Ismail, skenario pembangunan di Aceh direncanakan terbagi dua. Yaitu zone in- dustri di Kodya Sabang Kodya Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Serta zone pertanian dikembangkan di Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selat- an, Aceh Tengah, dan Aceh Tenggara. Sebagai perbandingan dari kedua zone pembangunan ini, kawasan industri luas wilayahnya sekitar 20 ribu km persegi, dengan penduduk 2,1 juta jiwa (atau kepadatan penduduknya 105 jiwa/km). Se- dangkan kawasan pertanian dihuni oleh sekitar satu juta jiwa di atas lahan lebih dari 36 ribu km persegi (atau kepadatannya cuma 29 jiwa/km). Ironisnya, pertanian di Aceh justru banyak dihasilkan di kawasan zone yang semula dikembangkan untuk industri. "Produsen beras terbesar di Aceh adalah Kabupaten Aceh Utara. Sedangkan beras asal Kabupaten Pidie adalah kualitas yang terbaik," ujar Muzakir. Hal ini, katanya lagi, menunjukkan bahwa lahan di zone pertanian belum dimanfaatkan secara maksimal. Sejumlah transmigran direncanakan bakal didatangkan ke Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Selatan. "Sebab, penduduk di daerah tersebut masih jarang," tambah Muzakir. Gemerlapnya pesisir timur Aceh itu memang berkaitan dengan berkembangnya industri gas alam pada 1970-an. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, pakar ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FE-UI, yang pernah melakukan penelitian zone industri di Lhokseumawe pada 1988 lalu, melihat adanya dampak perubahan ekonomi di sektor migas yang berjalan terlalu cepat. Akibatnya, muncul kantung-kantung sektor modern. Dan kantung sektor modern ini semakin berkem- bang pesat tanpa mengikutsertakan sektor tradisional. Padahal, ada peluang untuk mengikutsertakan sektor tradisional. Caranya dengan penyediaan bahan baku untuk sektor industri yang bisa disuplai oleh masyarakat setempat, seperti batu bata. Repotnya, kata Dorodjatun, biasanya terbentur pada soal mutu. "Tapi itu biasa diatasi dengan bantuan teknologi," katanya. Juga ada kiat lain, misalnya dengan cara memasok kebutuhan pangan sehari-hari, seperti ikan, sayur, dan buah-buahan. Kalau ketimpangan ini tak diatasi, "akan terus berlanjut menjadi bersifat struktural. Sektor modern terus berkembang, dan sektor tradisional semakin jauh tertinggal." Peluang inilah yang tampaknya mengun-dang munculnya benih-benih ketidakpuasan. Bahkan, lebih jauh dari itu, timbul sentimen kesenjangan sosial. Tak heran kalau masyarakat Aceh punya pengharap-an yang tinggi dengan munculnya industri. Repotnya, "Yang diharapkan mereka itu tak semuanya bisa terpenuhi," kata Prof. Dr. Bahrein T. Sugihen, Kepala Pusat Pengabdian Masyarakat Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Dari sejumlah industri besar di kawasan Aceh belahan timur itu, mungkin hanya PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang paling banyak menyerap tenaga kerja asal Aceh. Dari sekitar 1.300 karyawan di BUMN itu, 700 orang di antaranya adalah warga Aceh. Sedangkan industri kelas kakap lainnya boleh dibilang terbatas sekali dalam mempekerjakan tenaga lokal. Hal itu memang tak jauh berbeda dengan perkiraan Dr. Loekman Soetrisno. Munculnya pabrik-pabrik raksasa itu mau tak mau menimbulkan dampak pergolakan so-sial pada masyarakat Aceh. Hal itu, "Karena kecilnya kesempatan bagi orang Aceh untuk masuk ke dalam pabrik-pabrik modern itu," kata pakar sosiologi industri dari UGM Yogyakarta itu. Sifat industri yang ekstraktif ini menggunakan teknologi tinggi. Padahal, kualitas sumber daya manusia di sekitarnya tak mampu mendukung kebutuhan tenaga kerjanya. "Inilah yang menyebabkan timbulnya frustrasi relative depreviation. Yaitu manusia ingin mencapai keinginannya, tapi gagal meraihnya karena masalah-masalah struktural yang muncul," kata Loekman. Juga berdasarkan pengalaman Loekman di lapangan, para pegawai di industri besar itu biasanya hidup dengan pola yang tak jauh berbeda dengan masyarakat kelas atas di negara maju. Sedangkan penduduk di sekitar mereka tidak bisa secara langsung menikmati kekayaan yang disedot dari bumi Aceh. Ahmed K. Soeriawidjaja, Sri Pudyastuti (Jakarta), Wahyu Muryadi (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus