Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gpk aceh: kucing, ganja & teror ada apa di aceh

Gpk aceh untuk kesekian kali memakan korban. motifnya tindak kejahatan biasa. wawancara dengan r. pramono dan ibrahim hasan. ada ketimpangan kesejahteraan. aksi kerusuhan mudah meletup di pelbagai daerah.

30 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETEGANGAN itu hampir tidak terasa lagi. Enam pos pemeriksaan (check point) yang terdapat di se-panjang jalan raya yang menghubungkan Banda Aceh dengan perbatasan Provinsi Sumatera Utara, sejak 18 Juni lalu, sudah tak aktif lagi. Maka, masyarakat yang bepergian dengan mobil atau bis dari Aceh -- terutama menuju Medan atau kota lainnya di Sumatera Utara -- kini merasa lebih lega. Aceh kini terasa kembali normal. Sebelumnya, pos-pos yang dibikin apa-rat keamanan untuk memeriksa identitas orang-orang yang dicurigai -- misalnya dengan pemeriksaan KTP -- rupanya cu-kup mengesalkan masyarakat yang sedang bepergian. "Saya sampai enam kali turun naik bis untuk diperiksa. KTP terpaksa saya taruh di saku baju agar mudah mengambilnya. Kalau di saku belakang celana, selain sulit mengambilnya, bisa juga mencurigakan petugas," ujar Profesor Dr. Bahrein T. Sugihen, 54 tahun, Kepala Pusat Pengabdian Masyarakat Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Dua pekan lalu, ahli sosiologi itu mengunjungi familinya di Medan dengan bis. Pos-pos pemeriksaan itu muncul, menyusul mengganasnya suatu komplotan teror di Aceh, yang oleh aparat keamanan disebut sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Akibat ulah mereka, sejumlah korban telah jatuh di pihak aparat keamanan dan masyarakat sejak Mei lalu. Maka, pemeriksaan KTP dan tanda identitas lainnya itu dimaksudkan untuk mempersempit ruang gerak anggota GPK. Djamaluddin Wali, anggota Komisi I DPR, juga sempat mengalami pemeriksaan di Aceh, ketika ia mengunjungi daerah itu akhir Mei lalu. Ketika itu, ia menumpang bis cepat antarkota (yang berjalan siang-malam) dari Medan ke Banda Aceh. Check point itu diberi tanda-tanda yang jelas. Ada lampu petromaks di atas sebuah drum di jalan, serta tulisan yang jelas: Bakorstanasda. Para petugas di situ mengenakan pakaian seragam yang jelas, dilengkapi dengan tongkat berlampu untuk menghentikan kendaraan di malam hari. Penumpang turun satu per satu untuk memperlihatkan KTP atau surat jalan dari kepala desa. Selain itu, kopor dan tas penumpang juga digeledah. "Semua berjalan lancar, dan pemeriksaan itu dilakukan petugas dengan sopan. Saya juga turut diperiksa, kopor saya dibongkar," kata Djamaluddin Wali, anggota DPR yang membidangi Hankam dan Kamtibmas itu. Apakah penghapusan check point itu merupakan petunjuk bahwa keamanan cendrung bertambah baik di Aceh? Tampaknya begitu. Sejumlah teror intimidasi, dan pengacauan yang dilakukan GPK sejak Mei lalu ternyata bukan gerakan politis seperti banyak diduga. "Akhirnya disimpulkan bahwa mereka adalah kelompok kriminal murni, artinya, kelompok yang semata-mata melakukan tindak kriminal, kata Brigjen. Nurhadi Purwosaputro, Kepala Pusat Penerangan ABRI, kepada wartawan TEMPO Diah Purnomowati, Sabtu pekan lalu. Semula ada juga yang menduga bahwa munculnya GPK itu disebabkan berbagai masalah: kesenjangan sosial, ketidakpuasan masyarakat setempat karena Aceh tertinggal dengan daerah lainnya, dan berbagai masalah sejenis. Tapi itu dibantah Nurhadi. "Soal kesenjangan sosial di mana pun bisa terjadi. Ternyata, setelah dianalisa, yang benar bukan itu penyebab timbulnya GPK ini," katanya. Menurut perwira tinggi Mabes ABRI itu penyebab munculnya GPK ini karena adanya beberapa orang yang melakukan penyimpangan sosial, sehingga ia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lantas mereka merekrut orang-orang yang punya pikiran sama, terutama dari daerah perkotaan yang maju -- seperti kawasan Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, yang belakangan maju pesat sebagai sentra industri terpenbng di Aceh -- dengan ciri-ciri penduduk yang sudah majemuk. Sampai sejauh ini, dalam pemantauan ABRI, kelompok kriminal itu beraksi di tiga kecamatan: Tiro (Kabupaten Pidie) Kota Makmur (Kabupaten Aceh Utara), dan Langsa (Kabupaten Aceh Timur). Gerakan ini bermula dari Kecamatan Tiro, maka Brigjen. Nurhadi berkata, "Mungkin lebih tepat kalau mereka disebut sebagai Kelompok Kriminal Kota Tiro." Bila diingat Provinsi Aceh terdiri atas delapan kabupaten, dua kota madya, dengan 113 kecamatan, maka pengacauan yang dilakukan kelompok ini belum menimbulkan situasi gawat. Suasana di Banda Aceh, ibu kota provinsi itu, misalnya, biasa-biasa saja, tak ada tanda-tanda bahwa masyarakat setem- pat sedang dilanda kecemasan. Seperti diamati wartawan TEMPO Wahyu Muryadi dan Sarluhut Napitupulu, awal pekan ini, kehidupan malam pun berlangsung biasa saja di sana. Fauzi M. Syam, tukang becak yang biasa mangkal sampai jauh malam di depan Hotel Sultan Banda Aceh, berkata, "Situasi keamanan di sini amat stabil." Banyak masyarakat di kota itu percaya bahwa GPK itu memang bukan gerakan politik, melainkan kriminal. "Itu kejahatan biasa. Mereka itu 30-an orang yang sakit hati, motifnya ingin balas dendam," kata Syaiful, Ketua HMI Aceh. Keterangan Brigjen. Nurhadi mungkin lebih memperjelas soal. Mereka, kelompok orang yang beraksi di tiga kecamatan (di tiga kabupaten) tadi, tak jelas betul siapa pimpinannya, dan mereka tidak terorgasasi dengan rapi. Tapi ada nama yang dipanggil Robert, yang sudah dipecat dari ABRI beberapa tahun yang lalu, karena desersi dan melakukan berbagai keja- hatan. Konon, nama asli Robert adalah Dhar-ma Bakti, berusia sekitar 30 tahun, lahir di Banda Aceh. Ayahnya pribumi setempat tapi ibunya berasal dari Tapanuli Selatan Sumatera Utara. Lelaki lajang ini pernah bertugas di sebuah kesatuan di Lhokseu- mawe. Tapi ia dikenal sebagai orang yang sering berkelahi, pemabuk, dan suka mengganggu wanita. Ia melarikan diri dari kesatuannya, tentu saja dipecat. Konon, setelah itu ia pernah terlibat perampokan. Mereka tak semua orang Aceh, tapi bercampur dengan orang dari daerah lainnya. Misalnya, ada yang bernama Timbul S. Dari nama itu, tampaknya bisa ditebak ia berasal dari Sumatera Utara. Karena di antara mereka ada yang eks ABRI, tak aneh kalau kelompok ini mahir menggunakan senjata api. Tapi kenapa sasaran teror mereka terutama anggota ABRI? "Di Jakarta ini pun ada polisi atau anggota ABRI lainnya dibunuh oleh orang-orang kriminal. Pokoknya, siapa saja yang menghalangi kegiatan mereka mencari nafkah dengan tidak halal, mereka habisi," kata Nurhadi. Kelompok penjahat itu dalam aksinya melakukan cara hit and run, sergap lalu lari. Gebrakan paling baru yang mereka lakukan, seperti diketahui dari keterangan pers Pendam I Bukit yang disampaikan Mayor S. Bangun kepada wartawan, 18 Juni lalu, adalah penembakan terhadap tiga warga Matang Kuli, kota kecil berpenghuni 100-an kk di Kabupaten Aceh Utara. Sekitar pukul 01.30 dini hari 17 Juni yang lalu, dua pegawai kantor camat setempat, Syamsul, 29 tahun, dan Ibrahim 30 tahun? serta seorang penduduk desa Usman, 28 tahun, berada di kantor Polsek Matang Kuli, menonton televisi yang me- nyiarkan pertandingan perebutan Piala Dunia, Inggris lawan Belanda. Pada saat itu di kantor polisi itu cuma tinggal tiga pecandu sepak bola itu. Tiba-tiba sebuah mobil sedan warna hijau ber- henti dan terdengar rentetan tembakan terarah pada tiga orang di kantor polisi itu. Penembak itu -- tak jelas berapa orang -- melarikan diri dengan mobil tadi, yang sampai kini nomor polisinya belum bisa diidentifikasi. Syamsul meninggal dunia di tempat itu juga, karena kehabisan darah dari luka tembak yang dideritanya. Dua temannya juga terluka, tapi bisa tertolong dan kini berada di rumah sakit. Tak semua korban menyerah begitu saja. Tatkala pada 31 Mei silam 35 anggota GPK mengancam akan membunuh dan membakar rumah warga transmigran di proyek Rambonglup, Kecamatan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, 60 kk yang ada di sana melawan, dipimpin oleh kecik (kepala desa). "Ternyata, dengan semangat persatuan warga masyarakat dan ketegasan sikap membela kebenaran itulah, GPK lari kocar-kacir," begitu siaran pers tadi. Tapi sejumlah rakyat dan anggota ABRI jadi korban. Misalnya, 6 Juni lalu, tiga anggota ABRI gugur, ketika dihadang oleh GPK, di Kecamatan Simpang Ulin, Aceh Timur. Sebelumnya, 28 Mei 1990, dua prajurit ABRI mengalami nasib yang sama, ketika sejumlah GPK menyerbu Posko Bakti ABRI di Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara. Ketika itu ABRI dan rakyat sedang bergotong-royong memperbaiki saluran irigasi di desa itu. Dua pelajar SMP juga kena terjang peluru yang berhamburan dari senjata panjang para penyerbu, seorang tewas, yang lain luka parah. Seorang kopral polisi tewaspula tertembak saat kawanan GPK menyerbu dan membakar kantor Polsek Syamtalira Arun, Aceh Utara, April lalu. Para korban lain umumnya penduduk sipil biasa, yang tak jelas kenapa mereka jadi korban. Memang tak semua korban penembakan itu meninggal dunia. Wartawan TEMPO Monaris Simangunsong -- yang menyertai Pangdam I Bukit Barisan Brigjen. H.R. Pramono ke Rumah Sakit Putri Hijau Medan, 23 Juni lalu -- sempat mewawancarai dua korban keganasan GPK yang sedang dirawat di rumah sakit milik Kodam itu. Daini Puteh, 42 tahun, pedagang dari Aceh Utara, saat ditemui tampak sudah berangsur sembuh. "Keadaan saya sudah membaik Pak," katanya kepada Brigjen. H.R. Pramono, sembari memperlihatkan luka tembak yang dideritanya. "Lihatlah, GPK menghajar rakyat," kata Pangdam kepada TEMPO. Menurut penuturan Daini Puteh, pada 21 Juni yang lalu, ia menerima dua tamu berpakaian preman -- mengaku anggota Kodim Aceh Utara -- di rumahnya. Ketika Daini menanyakan identitas tamunya lebih jelas, salah seorang di antaranya berkata. "Kalau kamu tak percaya, lihat ini." Tamu itu mengeluarkan pistol Colt dari balik bajunya, dan menembakkannya ke arah Daini Puteh. Berondongan peluru dari jarak cuma dua meter itu mengakibatkan Daini tersungkur bermandi darah, sedangkan kedua tamu melarikan diri. Sebutir peluru merobek pinggangnya, yang lain bersarang di dadanya. Korban lainnya yang tampak juga sudah mulai sehat di rumah sakit itu adalah M. Mohammad, 44 tahun, anggota DPRD Aceh Utara dari FKP. Mohammad diberondong dua anggota GPK ketika akan pulang ke rumahnya di Lhok Seumawe dengan mengendarai sepeda motor, 26 Mei yang lalu. "Cuma satu peluru yang meng- enai saya, meledak di lengan ini, Pak," kata Mohammad. Karena luka di lengannya cukup parah, Muhammad masih harus berbaring di sana. "Heran saya, kenapa saya jadi sasaran, padahal saya tak pernah punya persoalan dengan GPK itu," katanya kepada TEMPO. Begitulah, agaknya hampir semua korban tak tahu kenapa mereka jadi sasaran. Agaknya, seperti dikatakan Ka Puspen ABRI tadi, GPK itu sengaja ingin menyebar teror. Menurut Nurhadi, kelompok kriminal ini jauh berbeda dengan berbagai gerakan di Aceh selama ini. DI/TII misalnya, muncul dengan cita-cita negara Islam, GPK Hasan Tiro menggunakan motivasi kedaerahan. "Sedangkan kelompok ini banyak bukan orang daerah itu," katanya. Nurhadi membantah pula seolah-olah GPK ini telah mendapat latihan di Libya. "Ini kan usaha mereka supaya kelihatan besar. Kucing, tapi supaya kelihatan seperti harimau, maka mereka menggunakan mantel macam-macam -- supaya orang jadi takut," katanya. Nurhadi membenarkan bahwa dulu memang ada beberapa pemuda dari daerah itu pergi belajar ke Libya. "Tapi sejauh ini, mereka yang pulang sudah melapor, dan mengajar agama," katanya. Dengan persenjataan yang minim, jumlah anggota yang kecil, menurut Nurhadi, GPK itu bisa melarikan diri karena berada di wilayah yang berhutan. Selain itu, kelompok ini berusaha menakut-nakuti rakyat agar tak memberi informasi -- perihal mereka -- kepada aparat keamanan. "Macam-macam intimidasi mereka lakukan, misalnya dengan mengirim surat ancaman, dan sebagainya. Cara mereka melakukan agitasi sepertinya mereka punya sistem yang lebih baik dari yang dulu-dulu," ujar Ramli Ridwan, Bupati Aceh Utara. Boleh jadi berkat kelihaian mereka menebar isu, atau karena teror yang mereka lakukan cukup banyak jumlahnya di Aceh Utara, kawasan sentra industri Aceh itu, di masyarakat setempat memang sering terdengar desas-desus seakan-akan GPK ber-hasil melakukan pembunuhan di berbagai tempat, yang setelah dicek ternyata tak seluruhnya benar. Kehidupan di Lhok Seumawe tetap biasa, tapi bila malam, jalan-jalan di ibu kota Kabupaten Aceh Utara itu memang terasa cepat sepi. Kedai makanan dan minuman, masih ada yang buka sampai pukul 23.00, tapi pembeli hampir tak ada. "Di desa-desa pun, masalah pemerintahan dan perekonomian tak terganggu. Paling masyarakat saja yang takut bepergian pada malam hari," ujar Bupati Ramli Ridwan. Sementara itu, selama 9 hari, sampai Sabtu pekan lalu, 10 tokoh ulama dan adat Aceh mengadakan safari dakwah ke daerah-daerah rawan di tiga kabupaten tadi. Mereka sempat mengadakan pertemuan dengan masyarakat desa di 41 lokasi. Di sana, mereka mengajak rakyat bertukar pikiran, terutama tentang kemajuan pembangunan yang sudah dicapai Aceh sekarang, di bidang budaya, adat, agama, atau pembangunan fisik. "Waktu awal meletusnya DI/TII, cuma ada satu SMA Negeri dan dua SMA swasta di Aceh. Sekarang, di tiap kecamatan, setidaknya ada satu SMA negeri, satu madrasyah Aliyah, dan di Banda Aceh ada Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry," kata A. Hasjmy, 76 tahun. Ketua MUI Aceh, yang memimpin safari itu. Dari hasil dialog itu, kata Hasjmy, "Semua rakyat Aceh sekarang ingin hidup rukun damai. Mereka sudah bosan, tak mau ribut-ribut lagi," katanya. Apalagi para GPK itu, seperti dikatakan Hasjmy, "Terdiri dari orang sakit hati, ada juga perampok dari Jakarta dan Medan, yang menumpang nama gerakan Aceh Merdeka." Para tokoh Aceh yang lain juga tak mendukung GPK ini. Haji Hasan Aly, 74 tahun, bekas Perdana Menteri DI/TII, yang kini menjadi pengusaha di Banda Aceh, meragukan GPK ini suatu gerakan politis. "Kalau gerakan politis, kenapa yang dibunuh anak-anak kecil dan prajurit kecil?" katanya. Ia juga tak sependapat kalau GPK itu disangkut-sangkutkan dengan Islam. "Ka-lau kami DI/TII dulu memang bermotifkan Islam, tapi kalau yang ini saya kira ndak ada. Motif ini sekarang lemah sekali. Perkembangan Islam sekarang di Aceh kan bagus," katanya. Tokoh yang lain, Kolonel (Purn.) T. Ali Hasyim, tak percaya soal kesenjangan sosial menjadi motivasi gerakan itu. "Kalau pun kesenjangan itu ada, orang Aceh paling-paling bersedih, tidak sampai akan menimbulkan gejolak," kata eks Wakil Kepala Dinas Pembinaan Mental Mabes Polri yang pensiun dua tahun lalu. Sebagai Ketua Tenaga Pembangunan (TP) Iskandar Muda -- organisasi eks tentara pelajar Aceh -- bersama pengurus yang lain, 12 Mei lalu, Ali Hasyim menemui Direktur Bimas Polri Brigjen. Latif Muin, untuk mendiskusikan soal pembinaan Kamtibmas di Aceh. Mereka memberi beberapa saran: masa-lah ganja di Aceh jangan dibesar-besarkan, masalah Aceh Merdeka jangan digunakan jadi macam-macam isu, pendekatan terhadap masyarakat Aceh harus dengan jalur agama, dan keberadaan industri di Aceh harus menjadi nilai tambah bagi masyarakat Aceh. "Kalau soal ganja dibesar-besarkan terus, kami khawatir Aceh sebagai serambi Mekkah akan dipojokkan jadi serambi ganja," kata Ali Hasyim, anggota pengurus DPP GUPPI dan DPP Dewan Masjid itu. Bagi masyarakat Aceh, menurut Ali Hasyim, ganja sudah lama dikenal sebaai tanaman perdu yang tumbuh sendiri, tak ditanam. Daun yang bisa bikin teler itu dijual di pasar-pasar seperti daun salam, penyedap makanan. Sekarang ganja dila- rang, ia tak keberatan. Tapi ia mensinyalir penangkapan ganja di Aceh dibesar-besarkan. Dalam kasus GPK ini, disebut pula ganja sebagai salah satu motivasi gerakan. Konon, gerakan itu dibiayai oleh Mafia ganja, yang merasa lahannya terancam oleh operasi Polri. "Masalahnya sedang kami pelajari. Soal itu memang mencuriga- kan," ujar Nurhadi. Namun, betapapun kecilnya kekuatan GPK di sana, menurut Pangab Jenderal Try Sutrisno, ABRI bersama rakyat akan menghancurkan mereka sampai tuntas, dalam waktu singkat. "Pokoknya, mereka gerombolan yang sangat rendah dan kecil yang mengganggu keamanan pembangunan. Jadi, rakyat harus tetap waspada," katanya. Menurut rencana, 3 Juli mendatang Jenderal Try akan ke Lhok Seumawe, untuk mengikuti salat Idul Adha. Amran Nasution, Mukhlizardy Mukhtar, Irwan E. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus