IBRAHIM Hasan, 54 tahun, sudah hampir empat tahun menjabat Gubernur Aceh. Selama ini, intelektual yang mengantungi ge- lar profesor ekonomi dari UI itu mengaku lebih banyak menghabiskan waktunya di lapangan. "Tujuannya agar jangan lagi terjadi penggergajian informasi dari dan kepada masyarakat," katanya kepada TEMPO pertengahan Mei silam, dalam sebuah perjalanan ke desa-desa di Aceh Utara. Ia memang dikenal suka beranjangsana ke pelosok-pelosok. Selama delapan bulan pertama menjabat gubernur, misalnya, ia sudah mendatangi 80 dari 136 kecamatan yang ada di Aceh. Selama itu pula -- hingga kini kadang masih dilakukan -- setiap minggu ia menjadi khatib salat Jumat di berbagai masjid. Dia memang datang dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya, almarhum Haji Mohammad Hasan, adalah seorang pendukung Masyumi. Sedangkan kakeknya dari garis ibu dikenal sebagai pendiri pesantren di Gigieng, Simpang Tiga, Sigli. Mungkin itu sebabnya ia juga dikenal sebagai juru dakwah yang me- mikat. Meningkatnya pembangunan di Aceh yang diiringi pula dengan meningkatnya kriminalitas akhir-akhir ini, mendorong TEMPO untuk beberapa kali menemui Gubernur Ibrahim Hasan bulan lalu. Berikut petikan wawancara itu: Kenapa praktek kriminalitas di Aceh belakangan semakin meningkat? Bahkan sampai menimbulkan korban jiwa? Wah, itu terlalu dibesar-besarkan. Aceh sekarang ini ibarat gadis cantik yang terus merias diri. Pembangunan berjalan pesat, ada LNG, ada Pupuk Iskandar Muda. Jadi, wajar bila banyak yang mengincarnya. Masalahnya, yang datang ke Aceh itu kan ada yang baik, ada yang nakal. Artinya, di antaranya ada yang bertindak dengan cara kekerasan untuk memenuhi keinginannya. Yang jelas, bukan merupakan gerakan politik. Cuma kriminalitas belaka. Jadi, bukan gerakan politik? Apa, sih, ukuran kejahatan politik itu? Apa karena mereka menggunakan senjata api? Kalau itu ukurannya, mengapa kejahatan bersenjata api di Medan, Jakarta, dan lainnya itu tak disebut gerakan politik? Sekali lagi, itu kriminalitas belaka. Mereka itu cuma mengeruhkan suasana dengan menggunakan isu tersebut. Tapi mereka itu tak sadar, orang Aceh tidak bodoh. Orang Aceh sudah capek berperang. Dari jauh orang Aceh sudah mencium, apakah itu gerakan politik atau kejahatan biasa. Lalu, bagaimana upaya Anda selanjutnya? Begini, pembangunan di Aceh berjalan pesat seperti juga di kota-kota besar lainnya. Maka, angka kriminalitas juga cenderung meningkat. Jadi, masalah ini sebenarnya bukan soal Aceh saja. Ini masalah di mana-mana, kok. Antisipasinya, kita harus menutup kesenjangan sosial yang timbul dalam pembangunan di Aceh. Dengan memperhatikan kehidupan mereka dan bagaimana kondisi mereka. Bagaimana ceritanya, kok Aceh tahun ini bisa mendapat DIP (Daftar Isian Proyek) yang empat kali lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya? Aceh bisa memperoleh kenaikan itu tak lain karena proyek-proyek yang kami ajukan sangat relevan dengan yang diprogramkan pemerintah pusat. Prioritas negara cocok dengan kepentingan daerah. Apalagi kebetulan Aceh muncul saat daerah lain sudah jenuh. Selain itu, keberhasilan tersebut bisa tercapai karena saya sendiri ikut kerja keras. Misalnya, jika rencana proyek yang kami usulkan terhambat di suatu departemen, saya sendiri langsung menemui menteri atau pejabat yang bersangkutan. Kalau Pemerintah tak punya dana yang cukup, saya juga tak segan menghubungi pihak luar negeri untuk minta bantuan dana. Itu makanya hampir dua pertiga dari DIP itu, dananya bersumber dari loan negara lain. Dengan dana ini, apa rencana Pemda Aceh? Yang jadi prioritas dalam pembangunan di Aceh saat ini adalah proyek yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Yakni, irigasi dan transportasi. Untuk irigasi Krueng Aceh yang kini sedang dikerjakan, misalnya, diperlukan dana Rp 360 milyar. Irigasi Langkahan membutuhkan Rp 130 milyar, Krueng Baro Rp 130 milyar. Selain itu, dana tersebut nantinya akan digunakan untuk sarana perhubungan ke daerah-daerah terpencil. Fasilitas untuk kedua sektor ini di Aceh memang masih sangat terbatas. Padahal, orang Aceh adalah orang yang sibuk di pertanian. Menurut pepatah Aceh, "Panglima yang harkat adalah bekerja di sawah". Sayangnya, keterbatasan sarana tersebut menyebabkan rakyat tak bisa bekerja secara full. Mereka masih panen setahun sekali. Padahal, hampir seluruh wilayah Aceh, kecuali Aceh Utara yang menjadi zone industri, akan dikembangkan menjadi zone pertanian. Dan Aceh Utara diprogramkan menjadi ayah ang- kat dalam proyek-proyek pertanian tersebut. Apa pendapat Anda tentang hasil penelitian Mubyarto dari UGM, yang menyimpulkan bahwa pendapatan per kapita di Aceh menurun, karena masyarakatnya meninggalkan pola agraris? Saya kurang sependapat dengan hasil penelitian itu, yang menggunakan sumber data lima tahun yang lalu. Saya undang dia untuk melakukan penelitian ulang di Aceh. Sebab, tingkat pertumbuhan ekonomi Aceh kini relatif tinggi, mencapai 6 persen setahun. Itu bisa ditunjukkan dari perolehan PBB di Aceh, yang tahun lalu mencapai Rp 37 milyar. Atau naik 97,1 persen dibandingkan tiga tahun lalu. Kalau pendapatan per kapita menurun, masa rakyat bisa membayar PBB begitu banyak? Problematik yang yang dihadapi petani Aceh hanyalah soal fasilitas pertanian yang masih sangat kurang. Apa itu ada kaitannya dengan meningkatnya kriminalitas di Aceh akhir-akhir ini? Pembangunan yang sudah berjalan di Aceh memang juga menimbulkan gejala pertumbuhan kota besar yang tak bisa dihindari. Ini tentu menimbulkan kesenjangan. Hal itu pulalah yang menyebabkan naiknya kriminalitas di Aceh. Tapi ini bukan masalah politis. Gangguan bermotif politis umumnya berlangsung di gunung-gunung. Sedangkan gangguan kriminalitas korbannya adalah rakyat. Cuma, cara Aceh memang nampak lebih keras. Nah, karena itulah kami berusaha bagaimana membangun dalam suasana kebencian. Irwan E. Siregar (Lhokseumawe) dan Affan Bey Hutasuhut (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini