DARI luar, gedung Akademi Vacana Mandira di Jalan Kramat VI
Jakarta kelihatan seperti rumah tinggal biasa. Memiliki tia
ruan kuliah dan beberapa ruang praktek, akademi itu kini
mendidik 35 mahasiswa.
Dalam musim para lulusan SMA mencari pendidikan yang lebih
tinggi kini, akademi itu awal Juli ini menerima 17 calon
mahasiswa. Masih ada pendaftaran gelombang kedua yang dimulai
pekan lalu, yang diharapkan menambah jumlah itu. Tapi
berdasarkan pengalaman tahun-tahun yang lalu, banyak calon yang
gagal dalam tes psikologi.
Akademi itu berdiri tahun 1973. Hingga kini ia telah meluluskan
59 ahli penyembuh anak penderita kelainan tidak bisa atau tidak
lancar bicara.
Pembentukan akademi itu merupakan hasil kerjasama Yayasan Bina
Wicara, salah satu proyek Dewan Nasional Indonesia untuk
kesejahteraan sosial-salah seorang pimpinannya Ny. A.H. Nasunon
-- dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Tujuannya ialah
mencetak ahli dalam bidang speech therapy.
Sebagian besar mahasiswanya ialah perawat yang dikirim oleh
rumah sakit, menurut Ny. R. Subeno, direktris akademi itu.
Syarat bagi calon mahasiswa ialah berijazah Sekolah Lanjutan
Atas (SLA) dan lulus ujian masuk. Uang kuliah sebesar Rp 5.000
sebulan. Pada umumnya, lulusan akademi ini bekerja di rumah
sakit yang memiliki unit rehabilitasi, Sekolah Luar Biasa (SLB),
Yayasan Penderita Anak-anak Cacat (YP AC) dan klinik bina
wicara.
Walau menggondol ijazah setingkat sarjana muda, lulusan Akademi
Vacana Mandira tidak berhak menyandang gelar. "Statusnya masih
swasta dan belum diakui pemerintah," kata sang direktris.
Julukan mentereng yang bisa dipakai ialah speechtheraphist,
ahli bina wicara.
Selalu diajarkannya agar mahasiswa tidak mengkhayal bakal
mendapat banyak duit setelah lulus. "Soalnya, kerjanya lebih
banyak segi sosialnya," kata Katarina, 20 tahun, mahasiswi
akademi itu yang sudah mulai ikut praktek.
Mata kuliah pokok ialah soal penyembuhan kelainan suara (speech
pathology) yang diberikan oleh lima dosen lulusan akademi itu
sendiri. Masing-masing mengajarkan soal kelainan suara,
tunarungu, gagap dan kelainan otak (cerebral palsy). Masih ada
10 dosen lagi seperti dokter ahli telinga, hidung dan
tenggorokan (THT), ahli saraf, plus beberapa ahli lain di bidang
bahasa, suara, orthopaedagogik, laryngologi dan ilmu jiwa.
Akademi ini konon termasuk paling besar di Asia Tenggara. "Di
Indonesia, ahli speech therapy baru lulusan akademi ini," kata
I. Pranindyo, 30 tahun, yang kini mengajar speech pathology.
Pada awalnya akademi itu masih perlu mendatangkan beberapa ahli
serupa dari luar negeri, antara lain dari Negeri Belanda dan
India untuk mengajar di sana.
Bahan kuliah untuk kurikulum selama 3 tahun disusun oleh dosen
sendiri berdasarkan bacaan perpustakaan. Bahan juga dikumpulkan
dari pengamatan mahasiswa selama praktek (lihat "Dokter" Yang
Terus Mengoceh) di klinik akademi itu.
Setelah naik tingkat II, mahasiswa diwajibkan menjadi pembantu
ahli bina wicara yang tengah berpraktek. Sedang mahasiswa
tingkat III mendapat kesempatan membuka praktek. Uang praktek
seluruhnya masuk kas klinik akademi. Pelajaran yang diberikan
merupakan perpaduan antara teori dan praktek itu. "Lulusan
akademi itu, harus mampu menyembuhkan pasien sehingga mampu
berbicara dengan baik," kata Pranindyo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini